Pada 22 April 2024 Putusan Mahkamah Konstitusi telah resmi melegitimasi kemenangan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih dalam Pilpres 2024. Salah satu janji yang dikemukakan oleh mereka adalah memisahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara (BOPN) yang bersifat otonom. Pembentukan BOPN juga masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah untuk tahun 2025.
Salah satu tujuan dibentuknya BOPN adalah untuk meningkatkan penerimaan perpajakan serta untuk mencapai target peningkatan tax ratio sebesar 10-12% pada 2025. Adapun tugas utama BOPN yaitu sebagai state revenue collection yang secara tugas masih terkait dengan Kementerian Keuangan, namun secara struktur langsung di bawah presiden.
Wacana pemisahan DJP dari Kemenkeu melalui pembentukan Badan Penerimaan (BPN) Negara telah muncul sejak Oktober 2014, namun urung terlaksana karena pembentukannya membutuhkan perubahan terhadap beberapa undang-undang.
Pada 2016 narasi pemisahan DJP dari Kemenkeu kembali munyeruak. Melalui Naskah Akademik RUU KUP 2016, pemerintah ingin memisahkan DJP dengan Kemnkeu melalui pembentukan BPN yang bersifat semi-autonomous body. Secara undang-undang kehadiran BPN dimungkinkan karena telah sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 17 UUD 1945.
Problematika Pembentukan BOPN
Dalam jurnal “Impact of Semi-Autonomous Revenue Authority on Tax Revenue and Bouyancy: Evidence from Pakistan,” terbitan Jorurnal of Finance & Economics Research, mencatat bahwa pembentukan Federal Board of Revenue (FBR) yang merupakan badan penerimaan pajak otomon di Pakistan, kehadirannya justru tidak berdampak signifikan terhadap kenaikan tax ratio. Penyebabnya adalah karena kurangnya pendekatan manajemen yang efisien, sistem tata kelola yang lemah, keterlibatan politik yang terlalu besar, dan yang paling penting adalah kasus korupsi. Untuk itu, jika pembentukan BOPN diyakini dapat meningkatkan tax ratio dalam waktu dekat, faktanya belum tentu demikian.
Kompleksitas persoalan juga terjadi di ranah administrasi. Jika pada praktiknya pembentukan BOPN yang secara tugas dan fungsi tidak berbeda dengan DJP, maka hanya akan menimbulkan pembengkakan biaya dan cenderung membuang-buang waktu. Ada sekitar 40.000 lebih pegawai DJP DJBC yang harus dikonsolidasikan ke BOPN, tentunya hal tersebut berakibat pada besarnya ongkos dan waktu yang dibutuhkan. UU perpajakan juga harus diubah kembali setelah kali terakhir direvisi di Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpapajakan. Undang-Undang Keuangan Negara pun juga harus diamandemen.
Selanjutnya, jika BOPN difungsikan secara otonom tanpa pembatasan kewenangan yang jelas, maka BOPN akan cenderung agresif dalam perannya menjalankan kewenangan untuk mengumpulkan penerimaan negara. Sebagai contoh di Amerika Serikat (AS), Internal Revenue Service (IRS) bertindak agresif dalam mengumpulkan pajak. Melalui Internal Revenue Code Section 7602, IRS sering menggunakan kode tersebut sebagai prosedur dalam memperoleh data/informasi wajib pajak dalam bentuk apapun dari bank.
Jika agresifitas IRS ditiru, dalam waktu dekat akan memunculkan kekhawatiran bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Kendati demikian, di satu sisi banyak yang menganggap Internal Revenue Code Section 7602 sebagai kebijakan yang agresif, namun di sisi lain kebijakan ini rupanya mampu menaikan tax compliance wajib pajak AS, serta mampu meminimalisasi praktik tax evasion.
Tanpa adanya pengawasan yang ketat, pembentukan lembaga baru dengan kewenangan sebesar BOPN juga rentan menjadi ladang korupsi baru. Dalam buku Internal Revenue Service (IRS) Historical Study: IRS Historical Fact Book: A Chronology 1646-1992, tercatat pada tahun 1952 didapati bahwa mayoritas karyawan IRS tersandung kasus korupsi dan penghindaran pajak serta penyuapan yang mengakibatkan kerugian besar bagi AS. Akibatnya Henry S Truman (presiden AS saat itu) melakukan reorganisasi besar-besaran serta melakukan perombakan sistem pemungutan pajak oleh IRS, seperti mendesentralisasikan banyak fungsi pemungutan pajak ke kantor distrik yang menggantikan fungsi kantor penagihan.
Pekerjaan Rumah
Terdapat beberapa pekerjaan rumah yang penting untuk segera dituntaskan, tiga diantaranya yang paling krusial adalah rendahnya tax ratio, rendahnya tax awareness dan tax compliance, serta masih sengkarutnya birokrasi perpajakan Indonesia.
Dalam laporan OECD berjudul Revenue Statistics in Asia and Pacific 2022 (25 Juli 2022), tax ratio Indonesia berada di urutan ketiga terbawah dari 28 negara Asia Pasifik pada 2022. Capaian tax ratio Indonesia pada 2023 hanya sebesar 10,21%. Sebagai negara dengan potensi pajak domestic bruto yang besar, rendahnya tax ratio tentu menjadi pekerjaan rumah yang kolosal dan berkepanjangan.
Berbagai cara telah dilakukan, dari menyesuaikan kebijakan, hingga mereformasi undang-undang perpajakan, namun tidak membawa dampak signifikan pada tax ratio. Di tengah kebuntuan upaya menaikan tax ratio, isu pembentukan Badan Penerimaan Negara (BOPN) yang terpisah dari Kemenkeu kembali menyeruak dan dianggap sebagai upaya yang patut dicoba.
Selajutnya, bukti rendahnya tax awareness masyarakat ialah terselenggaranya tax amnesty hingga dua kali, serta masifnya keikutsertaan masyarakat golongan ekonomi atas. Menteri Keuangan menyatakan wajib pajak dengan harta Rp1 miliyar hingga Rp100 miliyar menjadi mayoritas peserta yang mengikuti tax amnesty. Tingkat kepatuhan pajak juga masih rendah, dibuktikan dengan data wajib pajak yang melapor SPT pada 2022 hanya mencapai 83,2%.
Keterbatasan ruang gerak DJP yang hanya memiliki kewenangan membuat peraturan perpajakan sebatas aturan pelaksanaan, menjadi pemantik dari sengkarutnya birokrasi perpajakan. Sebagai contoh, aturan dan pelaksanaan terkait subjek, objek, dan tarif, harus dilakukan bersama-sama dengan Badan Kebijakan Fiskal dengan pihak lainnya. Artinya, setiap inisiatif pembuatan dan/atau perubahan aturan perpajakan akan memerlukan proses birokrasi yang panjang dan memakan waktu lama sebelum aturan tersebut dilaksanakan, sementara itu, dunia usaha bergerak sangat cepat dan dinamis.
Kompleksitas persoalan menuntut pemerintah yang baru untuk menemukan formulasi yang tepat dalam meningkatkan penerimaan negara. Terlebih nasib fiskal sebuah negara sangat bergantung pada efisiensi dan efektivitas pemungutan hingga pengelolaan pendapatan negara, serta pada seberapa patuhnya warga negara dalam membayar pajak.
Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan jika kedepannya BOPN jadi dibentuk, diantaranya BOPN harus berperan aktif terhadap peningkatan literasi pajak di kalangan Masyarakat, dengan harapan dapat meningkatkan tax awareness. Setelah itu pembentukan BOPN sebaiknya diiringi dengan reformasi kebijakan perpajakan yang berorientasi pada simplisitas aturan perpajakan. Simplisitas ini diharapkan dapat menurunkan tingginya biaya kepatuhan pajak dan meningkatkan tax compliance wajib pajak.
Selanjutnya pada awal pembentukannya, regulator harus meyakinkan publik mengenai pentingnya pembentukan BOPN sebagai suatu terobosan baru dalam meningkatkan tax ratio. regulator juga harus mencari dukungan dari berbagai pihak terutama dukungan dari pelaku bisnis, tak terkecuali wajib pajak, agar kehadiran BOPN dianggap krusial bagi penerimaan negara.
Walaupun tidak ada garansi bahwa kehadiran BOPN dapat menaikkan tax ratio Indonesia dalam waktu dekat, namun pembentukan BOPN layak menjadi alternatif atau solusi yang dapat diharapkan turut mendongkrak tax ratio, menaikkan tax awareness, serta meningkatkan penerimaan pajak.