Gill (2007) pertama kali memperkenalkan konsep middle-income trap (MIT), dan mencatat bahwa penyebab utama yang menghambat negara-negara berpendapatan menengah beralih menjadi negara berpendapatan tinggi adalah pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Secara definisi, maka Indonesia masihlah masuk dalam kelompok negara yang terjebak dalam penghasilan menengah.
Menurut World Bank, suatu negara dapat terlepas dari MIT jika Produk Domestik Bruto (PDB) per kapitanya lebih dari US$13.845 (Rp216 juta), artinya minimal penghasilan seseorang mencapai Rp18 juta/bulan. Sementara hingga 2023, PDB perkapita Indonesia baru menyentuh US$4.783 (Rp71 juta), artinya rata-rata penduduk Indonesia dianggap memiliki pendapatan Rp5,9 juta/bulan.
Berbeda dari PDB/kapita, BPS mencatat rata-rata upah minimum pekerja Indonesia hanya sebesar US$189 setara Rp 2,94 juta. Besaran upah ini tergolong lebih rendah dari Malaysia (US$359), juga Kamboja (US$194). Nasib pekerja formal juga tidak lebih baik. Faktanya, kebanyakan dari mereka menerima gaji setara upah minimum provinsi sebagai upah maksimum yang bisa mereka dapatkan tanpa adanya kenaikan gaji secara berkala. Fakta-fakta inilah yang mempersulit upaya Indonesia keluar dari jurang MIT.
Selama 30 tahun Indonesia terjebak dalam MIT. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama dua dekade terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah menyentuh 7 persen. Lalu, mampukah Indonesia merdeka dari jerat MIT?
Keterserapan Tenaga Kerja di Sektor Informal
Secercah harapan muncul sejak 2015 Indonesia memasuki era bonus demografi yang diperkirakan terjadi sampai 2030-an. Pada 2022 BPS mencatat 69% (190,98 juta jiwa) dari total masyarakat Indonesia (275,77 juta jiwa) merupakan golongan masyarakat usia produktif kerja (14-64 tahun). Mengingat bonus demografi berpotensi meningkatkan jumlah tenaga kerja, produktivitas suatu negara akan naik, kemudian ekonomi kian tumbuh. Pertumbuhan ekonomi akan mendorong kenaikan upah rata-rata masyarakat, dan Indonesia siap keluar dari jeratan middle-income trap. Dengan demikian, asumsinya bonus demografi dapat menjadi momentum bagi Indonesia keluar dari MIT, namun, ironisnya tak seutopis itu.
Faktanya, mayoritas pekerja produktif Indonesia malah terserap ke sektor informal dengan gaji di bawah standar minimum, tanpa perlindungan sosial, dan sulit untuk dipajaki. BPS mencatat, sepanjang 2023 tenaga kerja yang bekerja di sektor informal mencapai 83,34 juta orang atau 60,12% dari total angkatan kerja nasional 2023 (146,62 juta). Kenyataan ini diperburuk dengan rilis laporan World Bank (2023) berjudul Indonesia Economic Prospects, yang menjelaskan selama periode 2019-2022 prevalensi pekerjaan layak dengan standar kelas menengah turun signifikan, dari 14% menjadi 9%.
Keterserapan mayoritas tenaga kerja ke sektor informal, menjadi bukti jika kualitas tenaga kerja Indonesia masih belum mampu menjawab tantangan industri, terutama di sektor-sektor bernilai tambah tinggi. BPS mencatat tenaga kerja Indonesia didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (40%), bandingkanlah dengan lulusan Sarjana yang hanya 9,31%.
Minimnya kualitas tenaga kerja yang memenuhi kualifikasi industri mempengaruhi produktivitas kerja mereka, yang dalam jangka panjang berpotensi menghambat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang membutuhkan keterampilan khusus. Akibatnya semakin sedikit pekerja Indonesia yang berkesempatan mendapatkan upah tinggi, dikarenakan keengganan sektor industri bernilai tambah tinggi untuk berinvestasi di Indonesia.
Dominasi Industri Bernilai Tambah Rendah
Untuk bertransisi menjadi high income country, Indonesia perlu fokus pada pengembangan industri bernilai tambah tinggi. Bagaimana dengan Indonesia? Harus diakui kontribusi industri pengolahan seperti makanan dan tekstil yang notabene bernilai tambah rendah, menjadi penyumbang terbesar PDB Indonesia. Laporan BPS menunjukan sepanjang 2023, kontribusinya terhadap nilai perekonomian Indonesia berdasarkan PDB Atas Dasar Harga Berlaku mencapai Rp3.900,1 triliun dan menjadi salah satu kontributor terbesar bagi perekonomian Indonesia (18,67%).
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, industri pengolahan sektor manufaktur seperti industri makanan dan tekstil juga mendominasi dengan menyerap hampir 19 juta tenaga kerja (BPS 2022). Kendati demikian, dua industri ini sangat rentan tertekan oleh krisis ekonomi. Hal ini dibuktikan ketika masa pandemi Covid-19 melanda, banyak industri makanan dan tekstil yang bertumbangan. BPS melaporkan bahwa laju pertumbuhan lapangan usaha industri (2020), industri tekstil mencatatkan penurunan yang signifikan hingga -8,8% dari 15,35% pada 2019. Industri makanan juga mengalami penurunan signifikan dari 7,78% pada 2019 menjadi 1,58% pada 2020. Akibatnya nyaris 3,4 juta karyawan di industri tekstil dan pakaian jadi, terkena PHK.
Sayangnya kontribusi besar dari sektor industri pengolahan seperti makanan dan tekstil, menjadi bukti jika mayoritas industri kita digerakkan oleh sektor industri bernilai tambah rendah. Indonesia Harus belajar dari Brazil yang sejak 1960-an hingga hari ini masih terjebak dalam pendapatan menengah, sekaligus gagal memaksimalkan momentum bonus demografi yang telah terjadi sejak 1970.
Kesalahan terbesar Brazil adalah kegagalan mereka dalam bertransisi dari industri pengolahan bernilai tambah rendah, menuju industri bernilai tambah tinggi yang berorientasi pada kegiatan ekspor. Akibatnya Brazil sangat bergantung pada industri pengolahan bernilai tambah rendah untuk menyerap tenaga kerja. Walaupun hasil industri pengolahan menjadi komoditas ekspor Brazil, nyatanya sektor ini cenderung bergantung pada tenaga kerja dengan upah rendah. Akibatnya rata-rata upah pekerja di Brazil cenderung stagnan, dan hasilnya Brazil gagal memaksimalkan momentum bonus demografi.
Mengapa memfokuskan pengembangan pada industri bernilai tambah tinggi menjadi penting? Jawabannya karena Korea Selatan (Korsel) berhasil menjadi negara high-income country karenanya. Enam dekade lalu pertumbuhan ekonomi Korsel masih di bawah Indonesia, namun dalam dua dekade terakhir, mereka menjelma sebagai negara high-income country. Apa yang Korsel lakukan? Pemerintah Korsel secara jor-joran mengalokasikan penerimaan pajaknya untuk aktivitas penanaman modal asing pada sektor manufaktur, dengan harapan akan terjadi transfer teknologi, yang pada akhirnya dapat memunculkan inovasi untuk mendukung modernisasi industri Korsel.
Selain itu, investasi besar-besaran pada sektor pendidikan menjadikan Korsel memiliki kualitas SDM yang mampu menjawab tantangan industri-industri besar dunia bernilai tambah tinggi, yang berorientasi pada riset, dan pengembangan inovasi teknologi mutakhir. Upaya yang ditempuh Korsel tidaklah instan. Hingga 2001, PDB Korsel masih di angka US$504 miliar yang kemudian menjadi US$1,64 triliun pada 2019.
Solusi Berupa Kolaborasi
Dalam laporan terbitan Asian Development Bank (ADB) berjudul “Escaping the Middle-Income Trap: Innovate or Perish” (2017), menjelaskan bahwa terhentinya pengembangan inovasi, industrialisasi yang terlalu cepat, serta rendahnya investasi pada peningkatan kemampuan tenaga kerja, menjadi penyebab utama suatu negara terjebak dalam pendapatan menengah.
Sejauh ini semua parameter yang disebutkan ADB tengah dialami Indonesia. Meskipun kontribusi sektor jasa Indonesia mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir, masih terlalu dini untuk menyebut Indonesia tengah menuju fase deindustrialisasi, mengapa? Berdasarkan struktur ekonomi Indonesia, dominansi sektor jasa terhadap PDB mencapai 54,4%. Angka tersebut didominasi oleh kontribusi sektor jasa transportasi dan pergudangan yang notabene masih kurang memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi. Pada Triwulan III-2023 sektor jasa transportasi hanya berkontribusi 0,61% (yoy) pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Jalan terjal tentu menanti kepemerintahan berikutnya. Persoalan MIT bukanlah wacana ekonomi belaka, melainkan realita yang perlu ditangani segera. Pengembangan SDM berkualitas tinggi yang mampu menjawab tantangan industri, jelas menjadi kebijakan yang perlu diutamakan, mengingat hanya dengan SDM yang mumpuni lah persoalan ini menemukan jalan keluarnya.
Bonus demografi bisa menjadi simalakama jika tidak diimbangi dengan upaya meningkatkan kualitas angkatan kerja. Pada 1987 Korsel menghadapi bonus demografi dan mereka berhasil memaksimalkan momentum super langka tersebut dengan baik. Saat ini, kita memiliki modal bonus demografi yang sama dengan Korsel, lantas mampukah Indonesia memaksimalkan momentum ini seperti Korsel? Ataukah berujung seperti Brazil?
Dengan demikian, pertanyaan “Mampukah Indonesia merdeka dari middle income trap?” tidak hanya berujung menjadi tanda tanya, tetapi merupakan tantangan yang membutuhkan dedikasi, inovasi, dan kerja keras dari semua pihak, tak terkecuali kolaborasi pihak swasta dan pemerintahan. Dengan visi yang jelas, kebijakan yang terarah, dan konsistensi tindakan konkret, Indonesia dapat bertumbuh menjadi ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan, serta membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali.