Pandemi COVID-19 telah meningkatkan ketidakpastian pada hampir seluruh aspek kehidupan, terutama pada kesehatan dan bisnis. Semua lapisan masyarakat harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang disebabkan oleh pandemi, seperti menjaga jarak yang berdampak pada turunnya aktivitas ekonomi. Bisnis dan pemerintah, termasuk regulasi perpajakan, harus bersikap responsif dan adaptif. Hal ini menekankan pentingnya regulasi perpajakan yang harus responsif dalam menghadapi ketidakpastian. Menurut Adiyanta (2020), reformasi kebijakan perpajakan yang berkelanjutan diperlukan untuk menyederhanakan sistem perpajakan dan menciptakan keseimbangan antara pemerintah, masyarakat, dan ekonomi.
Pada akhirnya, ketidakpastian ini mendorong pemerintah Indonesia melakukan reformasi kebijakan perpajakan mendasar dengan mengesahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU HPP bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, mendukung pemulihan ekonomi, mewujudkan sistem perpajakan yang adil dan pasti, serta meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) secara sukarela.
UU HPP menandai era baru reformasi perpajakan, salah satunya adalah pengaturan ulang perlakuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan. UU HPP mengkategorikan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima dari WP atau pemerintah sebagai objek pajak penghasilan. Pengaturan ini mengubah pandangan sebagian kalangan, termasuk fiskus pajak dan WP. Sebelum UU HPP, natura dan/atau kenikmatan yang diterima pegawai dianggap sebagai non taxable income, sehingga pengeluaran pemberi kerja untuk natura dan/atau kenikmatan digolongkan sebagai non deductible expense.
Akan tetapi, ada beberapa pengecualian, seperti natura yang dapat dikenakan pajak bila pemberi kerja adalah WP dengan tarif PPh final atau pemberian natura sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 167/PMK.03/2018. Pengecualian ini mendorong tax planning yang merugikan negara dari segi penerimaan pajak (Dewanto & Wijaya, 2018). Selain itu, biaya upah dalam bentuk natura secara substansial merupakan biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan (Richter, 2006). Oleh karena itu, biaya natura dan/atau kenikmatan seharusnya dapat digolongkan sebagai deductible expense sesuai Pasal 6 ayat 1 UU PPh.
Pengaturan ulang objek natura sebagai objek PPh didorong oleh perilaku perusahaan yang memanfaatkan celah pajak dalam UU No. 36 Tahun 2008 (sebelum direvisi menjadi UU HPP). Perbedaan tarif PPh Pasal 21 dan tarif PPh Badan mendorong perilaku melakukan penghindaran pajak secara legal (tax avoidance).
Penghindaran Pajak Pada Imbalan Natura
Sebelum UU HPP, natura dan/atau kenikmatan merupakan salah satu instrumen tax avoidance bagi WP. Penghindaran pajak melalui natura dan/atau kenikmatan berfokus pada perbedaan tarif PPh wajib pajak orang pribadi dan badan. Prinsip pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan adalah beban pajak ditanggung oleh penerima. Prinsip ini dimanfaatkan WP untuk efisiensi pajak, mengurangi potensi penerimaan pajak. Skema efisiensi pajak melalui natura dan/atau kenikmatan sebelum UU HPP terbagi menjadi dua alternatif.
Alternatif pertama berlaku bagi pegawai dengan penghasilan dari pemberi kerja dikenakan tarif PPh progresif paling tinggi 15%. Imbalan dalam bentuk natura lebih menguntungkan perusahaan daripada imbalan tunai karena dikenakan tarif lebih rendah dari PPh badan 22%. Perusahaan dapat mengakui natura sebagai deductible expense, mengurangi PPh Badan yang harus dibayar (potential tax loss) karena selisih tarif PPh badan dan orang pribadi.
Alternatif kedua berlaku bagi pegawai dengan penghasilan dari perusahaan yang menggunakan tarif progresif lebih dari 15% (tarif PPh wajib pajak orang pribadi 15%-30%). Opsi ini memberlakukan natura sebagai non-taxable bagi pegawai dan non-deductible bagi perusahaan. Perusahaan sering memberikan natura kepada pegawai top level, seperti tunjangan rumah dan kendaraan. Skema ini membebankan tunjangan yang diterima pegawai top level kepada perusahaan untuk kepentingan pribadi mereka, mengurangi nilai PPh 21 yang harus dibayar pegawai top level dan mengalihkan beban pajak ke perusahaan, memengaruhi redistribusi pajak.
UU HPP mengatur ulang PPh atas natura dan/atau kenikmatan, menutup celah tax avoidance. UU HPP menetapkan natura dan/atau kenikmatan sebagai taxable-deductible, mencegah tax avoidance dan meningkatkan pemerataan serta keadilan. Perubahan ini mengurangi proporsi biaya yang dapat dibebankan secara fiskal oleh perusahaan, meningkatkan PPh Badan dan mengurangi nilai PPh wajib pajak orang pribadi penerima natura dan/atau kenikmatan.
Regulasi sebelum UU HPP terkait natura dan/atau kenikmatan menimbulkan distorsi ekonomi dengan membebankan pajak pada perusahaan. UU HPP mengatur natura dan/atau kenikmatan sebagai taxable-deductible, mengoptimalkan perpajakan terutama dari PPh wajib pajak orang pribadi. Pemajakan natura dan/atau kenikmatan mengeruk potensi penerimaan pajak besar dari pegawai top level tanpa memberatkan pegawai low level. UU HPP fokus pada taxable income daripada deductibility, mengurangi distorsi ekonomi.
Dalam pengawasan, pengaturan ulang PPh natura dan/atau kenikmatan dalam objek pemotongan PPh Pasal 21 mempermudah pengawasan dan kepatuhan WP dan perusahaan. Mengawasi laporan SPT PPh 21 oleh pemberi kerja lebih efektif daripada mengawasi laporan SPT PPh wajib pajak orang pribadi pegawai. Mengawasi laporan pajak satu pemberi kerja yang mempekerjakan 1.000 pegawai lebih efisien daripada mengawasi 1.000 laporan pajak pegawai.