Perkembangan teknologi sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan kini memudahkan kegiatan manusia dalam bidang informasi. Perkembangan teknologi pada akhirnya membuat pergeseran dan perubahan kebiasaan manusia bekerja. Seiring dengan perkembangan teknologi digital, setiap orang dapat melakukan pekerjaan dalam jaringan dengan hanya menggunakan gawai di tempat yang kondusif tanpa perlu keluar rumah. Tren bekerja di rumah atau tempat lainnya sering disebut dengan Work from Anywhere (WFA). Sejak adanya Pandemi Covid-19, tren WFA masih sangat diminati oleh banyak orang karena memberikan kebebasan bagi pekerja untuk bekerja di mana saja tanpa terikat dengan tempat. Pemberi kerja (perusahaan) pun cenderung berorientasi pada hasil pekerjaan sehingga tidak berfokus pada tempat karyawan harus bekerja. Terlebih lagi, cara ini dianggap lebih efiesien dalam hal penghematan beberapa aspek biaya bagi perusahaan.
Fenomena WFA ini memberikan peluang bagi pengembara digital (Digital Nomad). Seperti kata Rachael A. Woldoff dan Robert C. Litchfield (2021) di dalam bukunya berjudul: Digital Nomads: In Search of Freedom, Community, and Meaningful Work in the New Economy, Digital Nomad adalah pekerja berpengetahuan yang secara aktif mencari gaya hidup yang bebas, menggunakan teknologi untuk melakukan pekerjaan mereka dengan metode WFA, melakukan perjalanan jauh, bahkan berpindah-pindah sesering mereka inginkan.
Lebih lanjut, Woldoff dan Litchfield (2021) di dalam bukunya mengatakan bahwa Pandemi Covid-19 membuat dunia profesional semakin terbuka luas bagi pengembara digital, karena pekerjaan yang ebelumnya harus dilaksanakan di kantor menjadi terpaksa dilakukan secara jarak jauh meskipun itu berarti dari luar negeri. Hal ini berarti pengembara digital bisa mendapatkan penghasilan dari pekerjaan bebas dari mana saja bahkan saat bepergian ke lokasi tertentu yang mereka sukai menggunakan teknologi informasi nirkabel.
Sehubungan dengan trending WFA, pengembara digital dapat bekerja di mana pun mereka mau menggunakan teknologi informasi nirkabel. Seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi, banyak pasar tenaga kerja yang menyediakan proyek dan posisi bagi mereka yang memenuhi syarat dan tertarik pada subjek tertentu. Entitas yang menyediakan tenaga kerja atau proyek akan membayar individu yang berhasil menyelesaikannya (Cook, D., 2022).
Pada 2021 seorang turis asing, Kristen Gray, yang pada awalnya hanya berniat berlibur di Bali Indonesia yang terkenal dengan suasana yang indah, ramah, dan tentram. Kondisi di Indonesia membuatnya sangat nyaman, berbeda jauh dengan negara asalnya, Amerika, yang penuh dengan kompetisi dan penat dengan aktivitas ekonomi. Terlebih lagi, biaya hidup di Indonesia relatif murah. Hal demikian membuatnya semakin ingin tinggal lebih lama bahkan mencari penghasilan.
Pada April 2023, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan agar pengunjung asing dikenai pajak untuk meningkatkan kualitas pengunjung. Usulan ini muncul saat publik berfokus pada berbagai pelanggaran yang dilakukan wisatawan internasional.
Menko Kemaritiman menyatakan bahwa negara dengan pariwisata berkualitas mendapat keuntungan ekonomi lebih baik dari pengeluaran tinggi oleh pengunjung asing, terkait dengan studi Travel & Tourism Development Index 2021. Meskipun belum ada kebijakan komprehensif tentang “pajak turis asing”, beberapa perubahan pun terjadi dalam industri pariwisata terkait dengan masalah perpajakan.
Menurut survei yang sama, industri pariwisata mengalami perubahan signifikan karena tren digital nomad, yang memanfaatkan teknologi untuk bekerja tanpa terikat dengan lokasi domisili atau tempat tinggal.
Digital nomad sering beralasan tidak perlu membayar pajak karena tidak menerima penghasilan dalam bentuk rupiah. Hal ini memicu perdebatan tentang kewajaran pemungutan pajak penghasilan (PPh) bagi digital nomad. Adam Smith dalam The Four Maxim Taxation menyatakan bahwa pengumpulan pajak harus adil dan tanpa bias.
Ketentuan Perpajakan Terhadap Subjek Pajak Penghasilan Orang Pribadi
Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 2021 jo. Peraturan Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2022 (UU PPh), penghasilan seseorang yang berdomisili di Indonesia bisa dikenai pajak penghasilan (PPh) jika memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN). Persyaratan subjektif mencakup definisi hukum subjek pajak, sedangkan persyaratan objektif mencakup penghasilan yang merupakan objek pajak yang sah.
Status subjek pajak bagi pengembara digital bisa sebagai SPDN atau Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) tergantung pada pemenuhan persyaratan subjektif dan objektif. Seorang digital nomad bisa diklasifikasikan sebagai SPDN jika memenuhi persyaratan subjektif dan objektif SPDN sesuai peraturan domestik Indonesia. Menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh, syarat subjektif SPDN mencakup:
1. Bertempat tinggal di Indonesia;
2. Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan;
3. Berada di Indonesia dan berniat tinggal sepanjang tahun pajak.
Digital nomad bisa diklasifikasikan sebagai SPLN jika memenuhi persyaratan subjektif menurut Pasal 2 ayat (4) UU PPh, yaitu:
1. Tidak bertempat tinggal di Indonesia;
2. Berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam 12 bulan;
3. Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan serta memenuhi persyaratan:
a. Tempat tinggal;
b. Pusat kegiatan utama;
c. Tempat menjalankan kebiasaan;
d. Status subjek pajak; dan/atau
e. Persyaratan tertentu lainnya.
Syarat objektif SPDN dan SPLN adalah mendapatkan penghasilan dari Indonesia atau luar Indonesia, sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PPh:
1. Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak;
2. Baik dari Indonesia maupun luar Indonesia;
3. Untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak, dalam bentuk apa pun.
Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah digital nomad yang berlibur di Indonesia sambil bekerja secara freelance termasuk SPLN atau SPDN.
Jika seorang digital nomad memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagai SPDN atau SPLN, mereka perlu mengikuti ketentuan perpajakan atas penghasilan yang diperoleh sesuai UU PPh.
Jika diklasifikasikan sebagai SPLN, digital nomad bisa memilih mengikuti prosedur pajak domestik atau memanfaatkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Menurut Pasal 2 PER-25/2018, Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang menerima penghasilan dari Indonesia bisa memanfaatkan P3B jika memenuhi ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan asas lex specialis derogate legi generali, ketentuan P3B harus diperhatikan saat mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima subjek pajak lintas negara. Jika seorang digital nomad memanfaatkan fasilitas P3B Indonesia dengan negara mitra, kewajiban mengikuti ketentuan perpajakan domestik gugur.
Sebagai contoh, perjanjian pajak antara Indonesia dan Amerika Serikat mempertimbangkan faktor:
1. Tempat tinggal tetap;
2. Tempat melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk urusan pribadi dan profesional;
3. Tempat menjalankan kebiasaan/hobi.
Jika orang tersebut bertempat tinggal atau tinggal di Indonesia, ketentuan P3B Indonesia-Amerika Serikat bisa digunakan untuk mengklasifikasikan pekerja tersebut sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia.