Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) mewacanakan untuk menarik investasi keluarga ultrakaya melalui satuan tugas kantor keluarga (family office). Menurutnya family office merupakan salah satu upaya menarik kekayaan dari negara lain untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Implikasinya diharapkan bukan hanya meningkatkan peredaran modal dalam negeri, melainkan mampu menghadirkan potensi peningkatan PDB dan juga lapangan kerja dari investasi dan konsumsi lokal, dengan menawarkan insentif perpajakan sebagai daya tariknya. Namun apakah kebijakan ini tanpa celah?
Menkomarves menyebut populasi individu ultrakaya di Asia bertumbuh sebesar 38,3% selama periode 2023-2028. Untuk itu dirinya melihat kesempatan bagi Indonesia untuk dapat menarik pemasukan berupa investasi dari keluarga superkaya melalui family office.
Dalam laporan The Economist Intelligence Unit dan DBS Private Bank, saat ini diperkirakan ada 10.000 single-family office dan 5000 multy-family office di seluruh dunia. Masih dalam laporan sama, dalam satu dekade terakhir jumlah familly office meningkat sepuluh kali lipat, dengan pertumbuhan paling pesat terjadi di kawasan Asia-Pasifik, naik 44%.
Family Office Minim Daya Tarik
Terdapat dua syarat mutlak pendirian family office. Pertama, terjaminnya keamanan dan kerahasiaan data. Kedua, mampu menghadirkan keuntungan yang tinggi. Masalahnya baru-baru ini mencuat fakta bahwa Pusat Data Nasional telah diretas. Tentunya syarat pertama belum dapat dipenuhi Indonesia.
Syarat kedua juga belum terjamin. Menilik pada harapan pemerintah yaitu meningkatnya PDB dan juga bertambahnya lapangan kerja dari investasi dan konsumsi lokal, maka hal tersebut bertolak belakang dengan keinginan para kelompok ultrakaya. Mengapa demikian?
Hongkong dan Singapura menjadi destinasi terbesar untuk family office. Mayoritas dana yang dikelola oleh family office di Hongkong dan Singapura justru diinvestasikan pada sektor keuangan ketimbang sektor riil. Ini menjadi bukti bahwa sektor keuangan lebih dilirik ketimbang sektor riil.
Bagaimana dengan Indonesia? Saat ini dengan sumber daya dan kualifikasi mayoritas tenaga kerja, maka wajar jika pemerintah mengharapkan mayoritas investasi diarahkan ke sektor riil. Namun kenyataan seringkali berbeda. Banyak family office lebih memilih berinvestasi di sektor keuangan yang menawarkan likuiditas dan pengembalian yang lebih cepat ketimbang sektor riil. Sektor keuangan yang padat modal tentunya berbeda dengan sektor riil yang padat karya.
Ironisnya, Indonesia bukanlah destinasi ideal untuk berinvestasi di pasar keuangan. Sistem keuangan dan infrastruktur yang masih tertinggal, instabilitas regulasi, persoalan transparansi, tata kelola yang buruk, serta volatilitas pasar yang tinggi, menjadikan Indonesia kurang dilirik investor asing.
Bak simalakama pemerintah yang kebingungan untuk menarik dana dari kelompok ultrakaya, akhirnya mengorbankan instrumen penerimaan dari pajak melalui insentif yang mereka tawarkan. Meskipun mereka diwajibkan berinvestasi, dan investasinya akan dikenai pajak, namun apakah bisa seutopis itu?
Mengenakan pajak pada sektor keuangan bukanlah perkara mudah. Pasalnya, investasi di sektor keuangan cenderung bergantung pada fluktuasi pasar. Volatilitas inilah yang menyebabkan sulitnya menetapkan tarif dasar pajak yang ideal.
Walaupun family office berlokasi di Indonesia, namun tidak menjamin dana yang dikelola family office akan diinvestasikan secara utuh di Indonesia. Modal di sektor keuangan sangat mudah berpindah antar negara. Jika pemerintah mengenakan tarif pajak terlalu tinggi, investor akan cepat mengalihkan dana mereka ke negara dengan rezim pajak yang lebih menguntungkan.
Insentif Family Office Apakah Tidak Adil?
Minimnya daya tarik yang ditawarkan, menyebabkan pemerintah menjatuhkan pilihan pada insentif pajak sebagai satu-satunya daya tarik. Dalam klausul yang ditawarkan, pemerintah akan memberikan pembebasan pajak bagi kelompok ultrakaya yang menjadikan Indonesia sebagai destinasi pendirian family office. Dibalik manfaat ekonomi yang besar, munculah pertanyaan menarik, ketika kebijakan pajak lebih menguntungkan orang kaya, siapa yang menanggung beban dari hilangnya penerimaan?
Fakta yang jarang disadari adalah sebagian besar perekonomian Indonesia justru digerakkan oleh konsumsi domestik. Masyarakat medioker dan akar rumput adalah kelompok utama yang terus menggerakkan roda ekonomi melalui pengeluaran harian mereka. Asumsi ini didukung dengan rilis data World Bank (2017) yang menyebut 45% konsumsi Indonesia berasal dari kelas bawah/menengah.
Sementara, kelompok ultrakaya cenderung menahan konsumsi mereka dan lebih memilih untuk menginvestasikan uang mereka di berbagai instrumen keuangan, yang sering kali tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian lokal. Pasifnya aktivitas ekonomi ini diperparah dengan rendahnya kontribusi mereka terhadap penerimaan pajak.
Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2022, menunjukan dari total wajib pajak orang pribadi (WPOP) yang terdaftar (66,35 juta), jumlah orang ultrakaya hanya 556 orang, sisanya 61,53 juta (92,74%) merupakan WPOP biasa. Dari angka ini dapat disimpulkan bahwa golongan medioker yang menanggung beban hilangnya potensi penerimaan.
London School of Economics menyatakan, suatu keluarga dapat memiliki family office ketika kekayaannya mencapai Rp4,1 Triliun. Bukankah lebih logis memungut pajak dari kantong mereka ketimbang dari kita yang mengandalkan gaji UMR untuk bertahan hidup?
Insentif yang ugal-ugalan dan hanya berpihak pada kelompok ultrakaya, justru akan semakin memperparah disparitas ekonomi antara si kaya dan si papa. Badan Pusat Statistik mencatat Maret 2022, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Ratio sebesar 0,384. Angka ini meningkat 0,003 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2021 (0,381).
World Inequality Report 2022 mencatat, selama periode 2001-2021 angka kesenjangan Indonesia tidak mengalami perubahan yang berarti. Selama periode tersebut, sebanyak 50% penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% kekayaan rumah tangga nasional. Kekayaan rumah tangga nasional dalam laporan ini didefinisikan sebagai jumlah kepemilikan individu terhadap aset finansial (saham/surat berharga lainnya) serta aset non finansial (seperti rumah).
Mengkaji Kembali Pemberian Insentif
Pajak adalah pilar utama yang menopang fondasi keadilan sosial. Fungsinya tidak hanya sebagai sumber pendapatan negara, namun sebagai instrumen yang dapat mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketika kebijakan pajak lebih berpihak pada golongan ultrakaya, peran pajak sebagai instrumen pengendalian kesenjangan ekonomi menjadi lemah. Hal ini mengancam tatanan sosial dan merugikan mayoritas masyarakat yang seharusnya dilindungi oleh sistem perpajakan yang adil.
Insentif pajak yang tidak tepat sasaran juga dapat mengurangi pendapatan negara yang seharusnya dialokasikan untuk menyediakan layanan publik dan membiayai program sosial. Dengan pendapatan yang berkurang, dikhawatirkan pemerintah terpaksa memotong anggaran untuk pelayanan esensial, yang dampaknya akan sangat dirasakan masyarakat miskin yang sangat bergantung pada layanan tersebut.
Selanjutnya, ketika orang kaya menerima insentif pajak yang besar, mereka mendapatkan keuntungan yang tidak sebanding dengan kontribusi mereka kepada masyarakat melalui pajak. Ini menciptakan perasaan ketidakadilan di kalangan masyarakat, yang dapat memicu ketidakpuasan sosial dan dapat mengurangi kepercayaan terhadap pemerintah.
Pemberian insentif pada kelompok ultrakaya yang menjadikan Indonesia sebagai destinasi Family office mereka, perlulah dikaji secara matang. Pajak seharusnya berperan penting dalam menanggulangi kesenjangan ekonomi dan membangun masyarakat yang lebih adil. Pemberian insentif pajak yang serampangan hanya akan memperlebar kesenjangan, dan merugikan mayoritas masyarakat.