Kabarbursa.com | 11 November 2024
KABARBURSA.COM – Pemerintah dihadapkan pada kemungkinan melesetnya target penerimaan pajak 2024 yang diperkirakan hanya tercapai sebesar Rp1.921,9 triliun, lebih rendah dari target awal yang mencapai Rp1.988,9 triliun.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan bahwa jika target penerimaan pajak tidak tercapai, pemerintah mungkin harus mencari sumber pendanaan alternatif, salah satunya dengan menerbitkan surat utang yang dijual kepada publik atau investor.
“Karena sumber utama penerimaan dalam APBN itu pajak, jika target pajak tidak tercapai, pemerintah kemungkinan besar akan membuka opsi pinjaman. Salah satunya melalui penerbitan surat utang yang dijual kepada publik,” kata Prianto kepada Kabar Bursa, Senin, 11 November 2024.
Tak hanya itu, Prianto juga menyoroti potensi gangguan pada realisasi proyek-proyek infrastruktur yang telah direncanakan oleh pemerintah jika target pajak tidak tercapai. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah mungkin terpaksa menunda atau menjadwal ulang beberapa proyek strategis demi menyesuaikan anggaran dengan keterbatasan penerimaan.
“Dampak lainnya adalah penundaan atau penjadwalan kembali proyek-proyek pembangunan infrastruktur. Sebagai konsekuensinya, pemerintah juga harus mengatur kembali pos-pos pengeluaran dalam APBN untuk memastikan belanja prioritas tetap berjalan meskipun dana yang tersedia lebih terbatas,” ujarnya.
Penurunan ini akan mengganggu neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mengandalkan pendapatan pajak sebagai salah satu sumber utama penerimaan.
“Artinya, akan ada penyesuaian belanja negara untuk mengimbangi neraca APBN tersebut. Alternatif lainnya, negara perlu mencari komponen penerimaan substitusi untuk mengurangi defisit APBN,” terang Adrianto kepada Kabar Bursa.
Adrianto menambahkan, karena pajak adalah komponen utama penerimaan negara dalam APBN, penurunan penerimaan pajak otomatis akan memengaruhi jumlah dana yang dapat dialokasikan untuk belanja negara.
“Jika penerimaan pajak mengalami kontraksi, otomatis akan berdampak pada dana yang dapat digunakan untuk belanja negara, termasuk untuk membiayai berbagai program dan proyek pemerintah,” ujar Adrianto.
Efisiensi Penegakan Hukum dan Pengembangan Coretax
Lanjut Adrianto Dwi Nugroho menyatakan pentingnya penegakan hukum yang efisien dalam rangka mencapai target penerimaan pajak. Adrianto menyarankan agar penegakan hukum administratif lebih diutamakan daripada hukum pidana, karena dinilai lebih cepat dan efisien.
“Penegakan hukum harus mengedepankan aspek efisiensi. Utamakan penegakan hukum administratif daripada hukum pidana,” ujar Andrianto.
Andrianto menjelaskan bahwa penegakan hukum pidana cenderung memakan waktu lama karena mengutamakan pembuktian materiil, yang hasilnya tidak bisa langsung dikategorikan sebagai penerimaan pajak, melainkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebaliknya, hukum administratif lebih efisien karena pembuktian yang dilakukan bersifat formil dan dapat diproses lebih cepat.
“Penegakan hukum administratif mengutamakan pembuktian formil, sehingga prosesnya dapat diukur dalam waktu yang lebih singkat, dan penerimaan yang dihasilkan langsung dikategorikan sebagai penerimaan pajak,” jelas Andrianto.
Andrianto juga menyoroti pentingnya pengembangan sistem Coretax yang sedang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Menurutnya, sistem ini perlu diperluas untuk mencakup basis data yang lebih luas dan menjangkau lebih banyak wajib pajak, sehingga dapat lebih efektif dalam mengoptimalkan penerimaan pajak.
“Untuk mendukung penegakan hukum, Coretax yang sedang dikembangkan DJP harus terus diperluas sehingga mampu melingkupi basis data yang lebih luas dan menjangkau jumlah wajib pajak yang lebih banyak,” katanya.
Andrianto berharap bahwa pengembangan lebih lanjut dari sistem ini dapat menggantikan self-assessment system yang telah diterapkan sejak reformasi perpajakan. Dengan menggantinya dengan sistem official assessment, diharapkan dapat mempersempit celah bagi wajib pajak yang berusaha menghindari kewajiban perpajakannya.
“Ke depannya, ketika Coretax telah mendekati sempurna, sistem self-assessment yang selama ini berlaku bisa digantikan dengan official assessment system. Hal ini akan mempersempit celah bagi wajib pajak untuk menghindari kewajiban pajak,” ujar Andrianto.
Selain itu, Andrianto juga menyarankan peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menurutnya, kebijakan pembebasan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) perlu dievaluasi, karena seringkali menjadi celah bagi pengusaha untuk mendapatkan keuntungan lebih besar tanpa membayar pajak yang sesuai.
“Dengan peningkatan tarif PPN dapat meningkatkan kepatuhan pembayaran pejak para pengusaha. Sementara kebijakan tersebut tidak akan serta merta mengurangi konsumsi, karena pasar akan meregulasi dirinya sendiri hingga mencapai keseimbangan harga,” terang Andrianto.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai bahwa peningkatan penerimaan pajak dapat dilakukan melalui dua pendekatan utama: intensifikasi dan ekstensifikasi.
“Secara prinsip, penerimaan pajak dapat ditingkatkan dengan dua cara, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi,” kata Prianto Budi.
Prianto menjelaskan bahwa intensifikasi dilakukan dengan menggali potensi pajak melalui proses data matching, yaitu mencocokkan data yang diperoleh dengan laporan pajak yang disampaikan oleh wajib pajak. Proses ini bisa menghasilkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan (SP2DK) yang dapat mempercepat identifikasi kewajiban pajak.
“Proses data matching ini menghasilkan SP2DK, yang memungkinkan DJP mengidentifikasi potensi pajak yang belum dipenuhi,” ujar Prianto.
Selain intensifikasi, ekstensifikasi juga menjadi strategi penting untuk memperluas basis pajak. Prianto menyarankan agar KPP Pratama lebih aktif dalam mengidentifikasi individu dan badan yang belum terdaftar sebagai wajib pajak, termasuk mereka yang terlibat dalam ekonomi gelap (underground economy).
“Ekstensifikasi dilakukan dengan menyisir orang pribadi dan badan yang belum menjadi wajib pajak, termasuk transaksi dalam underground economy. KPP Pratama diharapkan dapat lebih aktif dalam menjalankan ekstensifikasi ini,” pungkasnya. (*)
Artikel ini telah dimuat pada Kabarbursa.com dengan judul “Target Penerimaan Pajak tak Tercapai, Pemerintah Terbitkan Surat Utang lagi” selengkapnya di sini
https://www.kabarbursa.com/makro/98838/target-penerimaan-pajak-tak-tercapai-pemerintah-terbitkan-surat-utang-lagi/3