Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Kamis, 22 Mei 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Krisis Iklim Adalah Cermin Moral di Tengah Kapitalisme Hijau

Nisa'ul HaqbyNisa'ul Haq
22 Mei 2025
in Artikel, ESG
Reading Time: 3 mins read
132 1
A A
0
152
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Krisis iklim tidak hanya mencerminkan ketidakstabilan ekosistem global, tetapi juga mengungkap kegagalan moral dalam sistem sosial dan ekonomi kita saat ini. Di tengah gencarnya narasi kapitalisme hijau, yang menjanjikan pertumbuhan berkelanjutan melalui inovasi ramah lingkungan, krisis ini menunjukkan bahwa solusi teknologi tanpa disertai perubahan nilai dan struktur hanya akan menjadi lapisan yang terlihat cantik di permukaan.

Dalam konteks ini, krisis iklim bukan lagi hanya soal angka, suhu, atau emisi. Hal ini menjadi cermin moral yang memaksa kita bertanya ulang, siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan sistem seperti apa yang selama ini kita pelihara atas nama kemajuan?

Dimensi Moral dalam Krisis Iklim

Laporan IPCC pada 2023 menegaskan bahwa pemanasan global telah mencapai 1,1°C di atas level pra-industri dan akan melampaui 1,5°C dalam dekade ini jika tidak ada pengurangan emisi besar-besaran secara cepat dan menyeluruh.

Namun krisis ini tidak bisa sepenuhnya dipahami hanya melalui grafik dan angka. Masyarakat di garis depan perubahan iklim—petani kecil, masyarakat adat, dan penghuni wilayah pesisir—mengalami langsung trauma fisik dan sosial akibat banjir, kekeringan, dan bencana alam ekstrem. Sayangnya, pengalaman mereka kemungkinan besar tak terdengar dalam forum pengambil kebijakan global yang justru lebih didominasi oleh negara-negara maju dan industri besar, walaupun mereka seringkali menyebut-nyebutkan bahwa perserikatannya telah mewakili suara masyarakat.

Lebih ironis, tanggung jawab iklim kerap dialihkan ke individu melalui kampanye “jejak karbon pribadi”, yang awalnya dipopulerkan oleh perusahaan minyak BP pada 2004. Kampanye ini terbukti merupakan strategi greenwashing untuk memindahkan beban tanggung jawab dari korporasi kepada konsumen.Padahal, laporan CDP 2017 mencatat bahwa hanya 100 perusahaan bertanggung jawab atas lebih dari 70% emisi industri global sejak 1988—termasuk ExxonMobil, Shell, Chevron, dan BP itu sendiri. Mengapa setiap individu kini harus menanggung akibat dari kerusakan yang justru diakibatkan oleh segelintir individu yang memiliki kekuasaan dan kendali atas sumber daya? Apakah ini bisa dianggap adil? Dengan demikian, krisis iklim bukan semata persoalan konsumsi, tetapi juga persoalan ketimpangan kekuasaan dan kegagalan etika dalam tata kelola global.

Dari Greenwashing ke Transformasi Sistemik

Narasi kapitalisme hijau menjanjikan bahwa inovasi akan menyelamatkan kita: kendaraan listrik, bioenergi, dan kemasan ramah lingkungan. Namun dalam banyak kasus, inovasi itu digunakan untuk mempertahankan sistem yang sama—bukan untuk mengubahnya.

Greenwashing menjadi taktik utama banyak korporasi, dengan mengadopsi simbol-simbol “hijau” tanpa mengubah proses produksi yang eksploitatif. Perubahan kemasan, offset karbon, atau pemasangan panel surya simbolis tak menyentuh akar masalah: struktur ekonomi berbasis pertumbuhan tak terbatas di planet yang terbatas.

Lebih mengejutkan lagi, menurut laporan IMF tahun 2023, subsidi eksplisit dan implisit untuk bahan bakar fosil global mencapai USD 7 triliun—hampir 7,1% dari PDB global. Sebagian besar berasal dari harga energi yang tidak mencerminkan biaya lingkungan dan sosialnya.

Jika subsidi ini tidak segera dialihkan ke energi bersih, solusi iklim hanya akan menjadi slogan kosong. Oleh karena itu, solusi terkait hal ini setidaknya perlu mencakup:

  • Reformasi fiskal dan pajak karbon yang memaksa pelaku industri membayar kerusakan yang mereka timbulkan
  • Investasi publik pada sistem energi terbarukan, transportasi massal, dan ketahanan pangan komunitas
  • Perubahan budaya konsumsi yang mengedepankan keseimbangan dan keadilan, bukan hanya efisiensi

Yang kita butuhkan hari ini bukan sekadar produk baru, melainkan sistem insentif baru—yang benar-benar menempatkan regenerasi di atas eksploitasi, dan solidaritas di atas akumulasi. Krisis iklim bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal nilai dan arah. Krisis ini merupakan cermin moral yang memantulkan siapa kita sebenarnya, dan menguji jenis peradaban seperti apa yang ingin kita wariskan ke generasi berikutnya.

Tanpa keberanian untuk mengakui bahwa sistem yang ada telah gagal, dan tanpa kemauan untuk meninggalkan kenyamanan palsu dari solusi setengah hati, retorika hijau akan tetap menjadi sekadar kampanye kosong di tengah laju kerusakan yang yang semakin nyata. Bukan teknologi yang kita kurang, melainkan arah—dan arah itu hanya akan muncul ketika nilai-nilai kemanusiaan, bukan laba, menjadi dasar dari setiap pengambilan keputusan.


Informasi Jasa Pratama Institute

Penerapan ESG dilaporkan dalam laporan keberlanjutan perusahaan yang wajib dibuat setiap tahunnya. Jika Anda ingin memastikan laporan keberlanjutan perusahaan Anda disusun secara profesional dan menarik, kami di Pratama Institute hadir untuk membantu Anda. Dengan pengalaman dan keahlian dalam penyusunan laporan tahunan dan/atau laporan keberlanjutan yang sesuai dengan standar terbaik, kami menghadirkan dokumen yang informatif sehingga bisa mencerminkan identitas perusahaan Anda. Hubungi kami untuk solusi laporan keberlanjutan yang ciamik!

Tags: ESGKebijakanKonsultan ESGKonsultan Sustainability ReportPendampingan ESGsosialSustainability Report
Share61Tweet38Send
Previous Post

7 Pekerjaan Rumah Pimpinan Baru Ditjen Pajak

Next Post

Menimbang Insentif Fiskal Pajak Hiburan

Nisa'ul Haq

Nisa'ul Haq

Related Posts

Sumber: Freepik
Analisis

Menimbang Insentif Fiskal Pajak Hiburan

22 Mei 2025
Ilustrasi juru mudi kapal
Analisis

7 Pekerjaan Rumah Pimpinan Baru Ditjen Pajak

22 Mei 2025
Kantor DJP. Sumber: Metro TV
Analisis

Penerimaan Pajak di Bawah Kepemimpinan Baru

21 Mei 2025
Sumber: Freepik
Analisis

Setelah Retribusi, Saatnya Kualitas Layanan Dibenahi

20 Mei 2025
Artikel

Penerapan ESG dalam Dunia Usaha Indonesia: Meningkatkan Nilai atau Beban Tambahan?

20 Mei 2025
Alert to Greenwashing - concept with text against a woodland and magnifying glass
Artikel

Mengungkap Praktik Greenwashing: Kasus Coca-Cola dan Tantangan Implementasi ESG

20 Mei 2025
Next Post
Sumber: Freepik

Menimbang Insentif Fiskal Pajak Hiburan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1463 shares
    Share 585 Tweet 366
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    932 shares
    Share 373 Tweet 233
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    908 shares
    Share 363 Tweet 227
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    754 shares
    Share 302 Tweet 189
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    722 shares
    Share 289 Tweet 181
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.