detiknews | 12 April 2023
Gustofan Mahmud (Analis Kebijakan Ekonomi Pratama Institute for Fiscal & Governance Studies dan dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Swadaya)
Vidy Aryo Fajar (praktisi perbankan, alumnus FE UI)
Jakarta – Pemerintah dan DPR telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) pada penutupan tahun lalu. Regulasi baru ini merevisi beberapa klausul yang berlaku di sektor keuangan, termasuk UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Dari himpunan revisi yang ada, yang paling menarik perhatian akademisi dan praktisi perbankan adalah terkait pengaturan tenggat pemisahan (spin-off) Unit Usaha Syariah (UUS) dari bank induknya/Bank Umum Konvensional (BUK) agar menjadi Bank Umum Syariah (BUS) yang utuh (full-fledged).
Sebelum adanya revisi tersebut, ketentuan terkait spin-off diatur dalam Pasal 68 ayat 1 UU Perbankan Syariah. Pada pasal itu UUS wajib spin-off ketika asetnya mencapai 50% atau lebih dari total asset induknya dan/atau 15 tahun setelah berlakunya regulasi tersebut, tepatnya pada pertengahan 2023.
Dengan berlakunya UU P2SK, semua ketentuan terkait spin-off nantinya akan difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan OJK (POJK). UUS hanya wajib spin-off apabila memenuhi persyaratan dari OJK. OJK hanya diberi waktu enam bulan, setelah P2SK berlaku, untuk mengeluarkan POJK baru ini.
Revisi kebijakan spin-off tentunya mengundang beragam respons. Sebagian pihak skeptis dengan revisi ini dan sebagian lainnya mendukung. Pihak yang skeptis adalah mereka yang pro spin-off sementara yang mendukung adalah yang kontra spin-off. Baik pro maupun kontra, keduanya memiliki landasan argumentasi ilmiahnya masing-masing. OJK perlu mempertimbangkan ini agar kebijakan yang dirilis dapat lebih akurat dan substantif.
Pro Spin-Off
Bagi yang pro spin-off, UUS dan BUK harus dipisah dalam rangka purifikasi perbankan syariah. Purifikasi adalah kegiatan menjunjung kepatuhan syariah (sharia compliance), yang dalam konteks ini berarti menghindari adanya pencampuran dana yang dihimpun secara terpisah dari aktivitas syariah dan non-syariah.
Poin ini bisa jadi relevan mengingat transaksi antara UUS dan BUK melalui Rekening Antar Kantor (RAK) sering mengabaikan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini tentunya membuka peluang ketidak-tepatan syariah, atau paling tidak ketidakselarasan syariah. Dengan kata lain, UUS yang masih menyatu dengan BUK dinilai rentan untuk melanggar prinsip kehati-hatian dalam bertransaksi secara syariah.
Selain purifikasi, penguatan peran perbankan syariah dalam intermediasi dan pengembangan keuangan merupakan alasan mendasar lainnya bagi mereka yang pro spin-off. Dengan menjadi bank syariah yang full-fledged, lembaga keuangan syariah dapat memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam operasionalnya.
Hal itu memungkinkan perbankan syariah untuk tumbuh lebih cepat, yang pada gilirannya memperluas pangsa pasar (market share) mereka. Dengan begitu, perbankan syariah nasional diharapkan dapat segera keluar dari “5% trap“, yakni market share yang tertahan di kisaran 5% dari total industri perbankan.
Argumentasi di atas ada benarnya. UUS milik BUK dengan aset besar (200 – 300 triliun) saja berjalan terseok-seok untuk sekadar mencapai market share 30% dari aset induknya. Padahal mereka telah memanfaatkan seluruh jaringan kantor dan menikmati 21 keistimewaan yang tidak dimiliki BUS selama hampir 25 tahun.
Sementara itu, BUS dengan aset sekecil apapun memiliki market share syariah 100% tanpa menikmati privilese tersebut, meskipun secara nominal aset mereka relatif lebih kecil dibandingkan UUS milik BUK besar. Namun, membandingkan aset keduanya secara nominal bisa dibilang sesat logika. Karena memang sudah dari sono-nya UUS punya aset besar berkat bank induknya.
Pertumbuhan UUS yang kurang maksimal ini disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya adalah kurangnya fitur produk, banyaknya kebijakan kantor pusat UUS yang kurang kondusif, sinergi dengan bank induk yang jauh dari harapan, dan hubungan kerja dengan bank induknya yang kurang saling mendukung.
Dengan konfigurasi problematika UUS di atas, kebutuhan untuk spin-off tampak semakin mendesak dan harus dipersiapkan secara lebih dini guna mendorong pengembangan perbankan syariah.
Kontra Spin-Off
Namun, keputusan untuk men-spin-off UUS agaknya tertantang dengan persoalan efisiensi. Menurut pihak yang kontra, UUS jauh lebih efisien ketimbang BUS. Ini wajar mengingat UUS beroperasi dengan menggunakan infrastruktur bank induknya. Artinya, inefisiensi operasional meningkat apabila UUS berdiri sendiri sebagai entitas yang baru.
Tesis di atas tidak mengada-ada. Studi empiris menemukan bahwa cost to income ratio (CIR) UUS meningkat pasca spin-off, yang mengindikasikan adanya penurunan efisiensi (Trinugroho et al., 2020).
Lebih lanjut, hal ini berimplikasi pada buruknya kinerja UUS yang berlangsung selama bertahun-tahun pasca spin-off. Walhasil, UUS yang baru “disapih” mustahil untuk mencapai skala ekonomi yang setara dengan BUK bahkan jika mereka memperoleh laba. Hal ini menciptakan kesulitan bagi mereka, terutama yang bermodal “fakir”, untuk bersaing di kancah perbankan nasional.
Data Return on Asset (ROA) yang biasa digunakan sebagai ukuran kinerja perbankan menjadi justifikasi dugaan di atas. Empat dari lima UUS yang telah spin-off lebih dari 10 tahun memiliki ROA yang lebih buruk dari rata-rata industri. Fakta ini jelas kontras dengan spirit “peningkatan kinerja” yang diusung oleh pro spin-off.
Di titik ini, aksioma size does matter lagi-lagi menjadi benang merah industri perbankan. Menurut Naseri et al. (2019) dalam artikel bertajuk Too Small to Succeed versus Too Big to Fail: How Much Does Size Matter in Banking, bank baru mulai menunjukkan skala ekonomi ketika asetnya sudah USD 2 miliar atau ekuivalen dengan Rp 30 triliun jika mengacu pada kurs Rp 15.000. Bank dengan aset di bawah ambang batas itu dinilai terlalu kecil untuk bersaing atau berkontribusi bagi perekonomian nasional.
Di sisi lain, data menunjukkan bahwa dari 20 UUS yang ada hanya tiga yang memiliki aset di atas Rp 30 triliun. Sementara sisanya, harus banting tulang untuk mencapai ambang batas itu. Bahkan 11 UUS lainnya yang berasal dari bank daerah masih memiliki aset di bawah Rp 3 triliun. Dengan begitu, spin-off yang dilakukan sedini mungkin justru akan mematikan eksistensi UUS.
Selain inefisiensi dan degradasi kinerja, risiko pembiayaan kemungkinan besar juga akan meningkat setelah UUS dispin-off menjadi BUS. Ini terbukti dari rata-rata non-performing financing (NPF) UUS yang lebih rendah (2,83%) dibanding BUS (3,77%) dalam lima tahun terakhir. Selain itu, dari lima UUS yang telah spin-off menjadi BUS empat di antaranya memiliki NPF di atas rata-rata industri perbankan. Kompleksnya kontrak pinjaman di BUS diduga menjadi biang keladi dari tingginya risiko pembiayaan ini.
Kembali ke persoalan awal yang menjadi core value perbankan syariah. Menurut kontra spin-off, sisi kepatuhan syariah UUS sebenarnya aman-aman saja. Perlu diingat bahwa zaman now digitalisasi perbankan sudah sangat canggih, pencegahan akan terjadinya pencampuran antara dana syariah dan konvensional tentunya jauh lebih baik. Sehingga, alasan purifikasi yang diusung oleh pro spin-off menjadi kurang relevan.
Toh, lembaga standarisasi dunia seperti Accounting and Audting Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) dan Islamic Financial Services Board (IFSB) juga telah mengakui keabsahan bank Islam dengan model UUS. Kedua lembaga ini sering menjadi acuan bagi banyak negara dalam membuat regulasi terkait pelaporan dan pengawasan keuangan syariah. Di negara-negara Islam lainnya, UUS juga tetap diterapkan dan tidak ada kewajiban bagi mereka untuk spin-off.
Usulan Arah Kebijakan
Sampai di sini, efisiensi, kinerja/market share, risiko pembiayaan, dan kepatuhan syariah,merupakan isu-isu penting yang menjadi sorotan kedua kubu (pro dan kontra). Untuk itu, kami memberikan masukan kepada OJK terkait kebijakan spin-off UUS yang baru dengan mempertimbangkan isu-isu ini.
Pertama, OJK perlu merancang kebijakan yang memungkinkan UUS tetap dapat menggunakan fasilitas atau sistem dari induk perusahaan agar struktur biayanya tidak meningkat tajam setelah dispin-off.
Kedua, dalam rangka mendorong kinerja UUS, OJK perlu menetapkan target aset tertentu (baik nominal maupun persentase) yang harus dicapai UUS secara bertahap dari tahun ke tahun. Target yang dibuat hendaknya disesuaikan dengan kelas aset masing-masing UUS. Hal ini tampaknya lebih relevan dibanding mematok begitu saja ambang batas aset 50% dari sang induk. Faktanya, hingga saat ini belum ada UUS yang bisa mencapai ambang batas itu.
Ketiga, OJK perlu mengidentifikasi lebih lanjut penyebab tingginya risiko pembiayaan pasca UUS di-spin-off. Dengan begitu, upaya mitigasi risiko spin-off dapat diwujudkan dengan menetapkan kriteria-kriteria tertentu yang mengarah pada perubahan dan perbaikan pada faktor-faktor yang telah teridentifikasi.
Keempat, karena dari aspek syariah UUS tidak bermasalah, OJK sebaiknya mengkaji ulang relevansi kata “wajib spin-off” yang masih tertera dalam P2SK. Berkaca pada negara tetangga (Malaysia), UUS di sana melakukan spin-off karena sukarela bukan terpaksa dengan motivasi untuk memperoleh insentif. Oleh karena itu, kriteria-kriteria yang ditetapkan berdasarkan aspek finansial di atas seharusnya menjadi patokan bahwa UUS siap mandiri, dan dengan demikian “bisa” spin-off alih-alih “wajib” spin-off.
Terakhir, agar lebih substantif, di sisa waktu yang ada, kami sangat mendorong OJK untuk secara intensif melibatkan akademisi dan praktisi yang mewakili kedua kubu (pro dan kontra). Hal ini memungkinkan OJK untuk mengeksplorasi lebih jauh aspek-aspek relevan lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan baru ini.
Selain itu, mereka yang berkepentingan juga dapat memperoleh kejelasan atas segala pertimbangan yang digunakan untuk menetapkan kebijakan spin-off yang baru. Dengan begitu, legislator dan eksekutor dapat bergerak seirama dalam satu frekuensi untuk arsitektur perbankan syariah nasional yang lebih kuat.
Artikel ini telah tayang di detiknews dengan judul “Menanti Ketentuan Baru “Spin-Off” Unit Usaha Syariah” pada 12 April 2023, dengan tautan berikut: https://news.detik.com/kolom/d-6669216/menanti-ketentuan-baru-spin-off-unit-usaha-syariah.