Beberapa waktu lalu aksi boikot pajak menjadi tren di kalangan pegiat media sosial. Warganet Indonesia geram atas perilaku anak pejabat pajak yang terlibat kasus penganiayaan pada anak di bawah umur, hingga menyebabkan kritis. Kemarahan masyarakat bukan hanya terletak pada tindakan penganiayaan, namun juga pada prilaku hedonisme sang anak yang gemar memamerkan harta benda bernilai miliaran rupiah ke media sosial. Sebagian warganet lantas kecewa dan menganggap pajak yang mereka bayarkan digunakan hanya untuk mendukung gaya hidup foya-foya para pejabat pajak.
Di sisi lain, pemerintah menyatakan bahwa per awal 2025 mendatang, tarif Pajak Pertambahan Nilai akan naik menjadi 12%. Opini kontra ramai menyambut kebijakan tersebut. Para pengamat menyatakan jika kenaikan PPN tersebut berpotensi menaikkan harga kebutuhan masyarakat yang dampaknya akan sangat dirasakan oleh masyarakat golongan menengah ke bawah.
Meskipun terdapat banyak peristiwa yang membuat masyarakat semakin antipati dengan pajak, namun kita tidak dapat menampik fakta bahwa banyak golongan masyarakat yang terbantu dari pajak yang kita bayarkan.
Definisi Pajak
Dalam bukunya Taxation: Philosophical Perspectives (2018) Martin O’Neill dan Shepley Orr pada bagian pendahuluan menyatakan bahwa perpajakan “irreducibly normative matter, and one which implicates a number of our concerns of social justice. When we think about issues of social justice in practice, we cannot avoid thinking at the same time about tax” (halaman 2). Melalui pernyataan tersebut, Martin O’Neill dan Shepley Orr hendak menyampaikan bahwa pajak merupakan landasan pemikiran yang harus hadir dan tidak dapat dihindarkan dalam diskusi-diskusi mengenai kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial.
Sementara itu, menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pajak memiliki pengertian sebagai “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dari definisi pajak menurut UU KUP, dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan bentuk kontribusi warga negara yang bersifat memaksa tanpa adanya imbalan, yang nantinya pajak tersebut digunakan untuk keperluan negara untuk tujuan memakmurkan masyarakat. Untuk itu definisi menurut UU KUP telah memberikan pencerahan pada kita selaku wajib pajak, jika kita merupakan bagian dari upaya memakmurkan masyarakat.
Definisi pajak dalam UU KUP juga meberikan penyadaran pada kita bahwa dengan penghasilan atau tambahan harta yang kita miliki dan telah mencapai batas minimum untuk dikenakan pajak, maka kita memang akan dipaksa untuk membayar pajak tanpa adanya imbalan apapun. Kendati demikian kita telah menjadi bagian dari upaya memakmurkan masyarakat yang belum sejahtera dan memerlukan sentuhan kebermanfaatan dari pajak yang kita bayarkan.
Empat Nilai Filosofis dalam Pajak
Dari dua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa pajak memiliki banyak nilai dasar sekaligus menjadi spirit dari cita-cita memakmurkan masyarakat. Penting bagi siapa pun untuk mengetahui nilai-nilai filosofis yang menjadi dasar dari sistem perpajakan yang telah eksis hingga hari ini. Agar nilai-nilai filosofis ini tidak terlupakan, kami merangkumnya dalam Empat nilai filosofis perpajakan.
-
Filosofi Keadilan
Salah satu filosofi utama yang menjadi landasan dari esensi perpajakan ialah keadilan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah sistem pajak yang diterapkan adil bagi semua warga negara? Konsep keadilan dalam pajak dapat dibagi menjadi beberapa aspek, seperti keadilan distributif (distributive justice), keadilan proporsional ataupun progresif (proportional or progressive justice), dan keadilan komutatif (commutative justice). Diskusi tentang siapa yang seharusnya membayar pajak, berapa besaran pajak yang harus mereka bayar, dan bagaimana pajak tersebut harus didistribusikan adalah beberapa diskusi yang dibahas dalam pendekatan keadilan ini.
Di Indonesia beberapa sistem perpajakannya mengadopsi sistem progressive justice. Sederhananya, progressive justice adalah ketika pembebanan pajak yang lebih tinggi akan dibebankan pada pendapatan yang juga lebih tinggi. Sebagai contoh sistem Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh) yang menerapkan sistem progresif dengan kisaran tarif dari 5% hingga yang tertinggi 35%.
Meskipun dalam banyak hal Indonesia menganut nilai keadilan progresif, namun demikian dalam beberapa jenis pajak, Indonesia tetap menganut sistem keadilan proporsional. Sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah contohnya. Keadilan Proporsional merupakan sistem di mana pajak akan dipungut dengan jumlah yang sama pada semua orang terlepas dari kemampuan ekonomi seseorang.
Sementara itu dalam filosofi keadilan pajak juga akan memunculkan istilah seperti commutative justice dan juga distributive justice. Pengertian dari commutative justice adalah perlakuan terhadap seseorang dengan tidak melihat jasa-jasa yang telah diberikan. Secara praktik, Indonesia juga menganut nilai-nilai commutative justice. Hal tersebut sesuai dengan definisi pajak yang tertera dalam UU No.28 Tahun 2007 (UU KUP), di mana meskipun kita membayar pajak, kita tidak mendapatkan imbalan dalam bentuk apa pun.
-
Filosofi Kebermanfaatan
Filosofi ini menekankan pada manfaat yang diberikan oleh pajak kepada masyarakat atau negara secara keseluruhan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pajak yang dibayarkan dialokasikan untuk membiayai layanan publik yang memberikan manfaat kepada seluruh masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan perlindungan sosial.
Dengan kata lain, filosofi kebermanfaat menekankan pada efisiensi penggunaan dan efektivitas pengalokasian pajak, serta kebijakan fiskal lainnya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
-
Filosofi Kepatuhan
Filosofi ini menyoroti pentingnya menekankan nilai-nilai kepatuhan terhadap aturan pajak dalam menjaga integritas sistem pajak, serta dalam upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana sistem pajak dapat dirancang sedemikian rupa sehingga mendorong kepatuhan wajib pajak tanpa memberatkan mereka secara berlebihan.
Hal ini melibatkan pertimbangan etika dan moral tentang tanggung jawab individu untuk membayar pajak sesuai dengan ketetapan hukum. Diskusi mengenai filosofi kepatuhan dapat melahirkan diskusi lainnya seperti diskusi mengenai tax avoidance serta tax evasion.
-
Filosofi Pertanggungjawaban
Filosofi ini menekankan arti penting mengenai tanggung jawab pemerintah dalam mengelola dana pajak yag kita bayarkan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana pemerintah menggunakan pendapatan pajak dengan menekankan nilai-nilai transparansi, dan akuntabilitas. Konsep akuntabilitas dan transparansi menjadi penting dalam pendekatan ini, sehingga masyarakat dapat memahami bagaimana uang pajak mereka digunakan untuk keperluan apa, serta masyarakat dapat mengawasi penggunaannya. Dengan demikian, masyarakat dapat memilki kepercayaan terhadap pajak yang mereka bayarkan pada pemerintah.
Dalam praktiknya, sistem pajak sering kali mencerminkan kombinasi dari beberapa pendekatan filosofis ini. Tujuannya untuk mencapai keseimbangan antara keadilan, kemanfaatan, kepatuhan, dan pertanggungjawaban, sehingga melahirkan sistem yang ideal serta mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pajak yang harus mereka bayarkan.
Sumber:
UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan