Tengkes (stunting) merupakan isu global yang serius. Hampir 3,1 juta kematian anak di negara-negara berkembang disebabkan oleh permasalahan gizi ini (Black et al., 2013). Para ahli gizi bahkan mengklaim kondisi malnutrisi ini sebagai determinan utama dari gangguan perkembangan koginitif pada anak usia dini, penurunan prestasi sekolah di masa kanak-kanak, dan produktivitas kerja yang rendah di masa dewasa (Choudhury & Headey, 2018).
Dengan kata lain, tengkes membawa efek buruk bagi proses pembangunan ekonomi karena terkait erat dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Oleh karena itu, tengkes tidak boleh dipandang sebagai sekedar masalah kesehatan, melainkan juga menyangkut masalah sosial.
Meskipun tedapat penurunan yang signifikan, prevalensi tengkes, terutama di negara-negara berkembang, masih pada tingkat yang mengkhawatirkan menurut klasifikasi internasional. Pasalnya, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organizaation/WHO) menetapkan standar prevalensi tengkes global harus di angka kurang dari 20%.
Di sisi lain, laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) bertajuk “The State of Food Security and Nutrition in the World 2022” mengungkapkan bahwa seperlima (22%) anak usia bawah lima tahun (balita) di negara-negara berkembang terkena tengkes pada 2020. Hal ini diperparah dengan pagebluk COVID-19 yang memberikan tambahan 2,6 juta anak penderita stunting pada 2022 (Brenton et al., 2022).
Indonesia sebetulnya memiliki angka tengkes yang lebih baik dari rata-rata negara-negara berkembang. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, angka tengkes di Indonesia pada 2022 mengalami penurunan sebesar 2,8 poin persentase, yakni dari 24,4% pada 2021 menjadi 21,6% pada 2022.
Mengingat target prevalensi stunting nasional pada tahun ini sebesar 14%, sebagaimana termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, maka realisasi penurunan tahunan kasus kekurangan gizi kronis ini minimal 3,8 persen pada 2023 dan 2024.
Percepatan penurunan tengkes yang disebutkan di atas merupakan program prioritas nasional yang selaras dengan target poin kedua dari Terget Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), yakni mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan nutrisi, serta mendorong pertanian berkelanjutan. Oleh karena itu, wajar apabila para calon pemimpin yang kita pilih pada valentine (14/2/2024) lalu menawarkan sejumlah program untuk mengatasi masalah tengkes di Indonesia.
Pasangan Anies-Muhaimin (AMIN) misalnya, mengkampanyekan kolaborasi lintas sektor guna menjamin ketersediaan pangan, pencegahan infeksi, dan perbaikan lingkungan. Program semacam ini sebenarnya sudah dijalankan di musim kedua pemerintahan Jokowi yang ditujukan untuk mengejar penurunan prevalensi stunting ke angka 14% di 2024.
Dibandingkan dengan AMIN yang hanya membawa inovasi tambahan (incremental innovation), pasangan Prabowo-Gibran mengusung inovasi radikal (radical innovation), khususnya dalam konteks Indonesia, yakni program pemberian makan siang dan susu gratis harian di sekolah dan pesantren. Pasangan calon (Paslon) 02 ini tampaknya terinspirasi oleh Program Makan Siang Sekolah Nasional (National School Lunch Program/NSLP) yang diselenggarakan di Amerika Serikat sejak 1946.
Pasangan Ganjar-Mahfud memiliki target penurunan prevalensi stunting yang ambisius, yakni di bawah 9%. Untuk mencapai target ini, Ganjar-Mahfud berencana untuk meningkatkan layanan kesehatan dan perbaikan gizi pada ibu hamil, anak usia 1 – 1.000 hari, dan anak hingga usia lima tahun.
Meskipun strategi penurunan stunting yang diusulkan oleh setiap kandidat pemimpin berbeda-beda, terdapat kesamaan fundamental di antara ketiganya. Hal ini terkait dengan penggunaan pengeluaran publik (public expenditure) sebagai mekanisme utama untuk meredistribusi sumber daya dalam rangka memperbaiki permasalahan sosial yang ada.
Sentralitas Perpajakan untuk Kebijakan Sosial
Jika kita usut kebelakang, mayoritas kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial di Indonesia memang cenderung mengandalkan mekanisme public expenditure. Praktisi kebijakan sosial, termasuk tiga kandidat pemilihan presiden di atas, sering mengabaikan peran sentral perpajakan dalam proses redistribusi sumber daya. Hal ini menyebabkan distorsi sistematis terhadap pemahaman kita mengenai karakter proses redistribusi dan konsekuensinya.
Misalnya, seperti yang ditunjukkan oleh Kantor Statistik Nasional (Office of National Statistics/ONS) di dalam artikel bertajuk “Effects of Taxes and Benefits on UK Household Income: Financial Year Ending 2018”, rumah tangga melewati berbagai tahapan dalam proses redistribusi sumber daya. Hal ini dimulai dari pendapatan asli yang mereka terima dari gaji. Pemerintah kemudian memberikan berbagai tunjangan dan layanan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rumah tangga. Namun, pajak langsung (direct taxes) dan tidak langsung (indirect taxes) yang dibayarkan oleh rumah tangga mendorong kembali kesejahteraan mereka ke posisi awal (Anyaegbu, 2011).
Dengan demikian, upaya peningkatan kesejahteraan sosial yang hanya dijalankan melalui mekanisme public expenditure akan ‘dibatalkan’ oleh perpajakan yang bekerja dalam arah yang berlawanan. Artikel ilmiah yang ditulis oleh Howard Reed dengan judul “The Distributional Impact of Tax and Social Security Reforms in the UK from 2010 to 2017” agaknya mendukung tesis tersebut. Di dalam artikel ini, ia menegaskan bahwa dampak kebijakan sosial hanya dapat dinilai secara komprehensif dengan menggabungkan perpajakan dan pengeluaran ke dalam analisis.
Berkaca pada studi empiris di atas, kita perlu mengkaji konsekuensi kebijakan penurunan stunting yang diusulkan oleh calon presiden (capres), khususnya pasangan Prabowo-Gibran yang saat ini mengantongi 50% lebih suara rakyat. Sebagaimana kita ketahui, program makan siang dan susu gratis digadang-gadang akan menelan biaya hingga Rp400 triliun. Prabowo-Gibran mengandalkan pajak sebagai sumber anggaran utama program tersebut. Oleh karena itu, tak heran jika capres ini membidik peningkatan rasio pajak hingga 23%.
Sementara, rasio pajak Indonesia saat ini berada di angka 13%, terpaut 10 poin persentase dari target Prabowo-Gibran. Hampir tidak ada opsi kebijakan yang bisa diambil untuk menutupi selisih negatif tersebut dalam jangka pendek. Kalaupun ada, yaitu dengan menaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), yang diakui secara luas sebagai instrumen penerimaan publik paling produktif. Masalahnya, PPN tidak mampu membedakan kategori subjek, yang berarti seluruh lapisan masyarakat, termasuk yang berpenghasilan rendah, terkena imbasnya.
Dengan kata lain, program penurunan stunting yang diusung paslon 02 berpotensi memunculkan persoalan baru, seperti penurunan daya beli dan pelebaran kesenjangan ekonomi. Padahal, keduanya merupakan determinan utama dari prevalensi stunting. Studi empiris yang ditulis oleh Ressa Andriyani Utami dan kawan-kawan bertajuk “Identifying Causal Risk Factors for Stunting in Children Under Five Years of Age in South Jakarta, Indonesia” mengungkapkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan di bawah upah minimum regional (UMR) memiliki peluang enam kali lebih besar untuk mengalami stunting pada balita dibandingkan dengan rumah tangga dengan pendapatan di atas UMR.
Pasalnya, mereka yang hidup di bawah UMR cenderung tidak memiliki akses terhadap makanan bergizi dalam jumlah yang cukup karena harus membagi pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Sementara, dalam hal pencegahan stunting, makanan bergizi tidak hanya dibutuhkan pada jam makan siang, melainkan di setiap agenda makan, terutama pada anak usia 6 hingga 23 bulan (Dewey, 2016). Artinya, program makan siang dan susu gratis harian di sekolah dan pesantren bisa dibilang tidak tepat sasaran.
Keringanan Pajak Sebagai Solusi Alternatif
Kendati demikian, bukan berarti agenda makan siang gratis untuk anak-anak sekolah dibatalkan begitu saja. Toh, program semacam ini juga dilaksanakan di negara maju, seperti Amerika Serikat. Studi empiris yang dilakukan oleh Peter Hinrichs bertajuk “The Effects of the National School Lunch Program on Education and Health” membuktikan bahwa NSLP berkontribusi pada perbaikan nutrisi dan pencapaian pendidikan anak di Amerika Serikat. Artinya, potensinya dalam mendorong pembangunan ekonomi melalui peningkatan kualitas SDM cukup besar.
Hanya saja implementasi program unggulan Prabowo-Gibran perlu dilakukan secara bertahap agar tidak terlalu membebankan anggaran. Hal ini dapat dimulai dari wilayah yang paling membutuhkan dan secara akomodasi memungkinkan. Selain itu, yang perlu kita ingat adalah bahwa secara teoritis pemberian makan siang gratis merupakan jenis program yang boros (wasteful). Oleh karena itu, alih-alih mengandalkan pajak untuk pembiayaan, realokasi anggaran dari pengeluaran wasteful lainnya, seperti bantuan langsung tunai dan tunjangan pejabat dapat dipertimbangkan.
Soal upaya penurunan prevalensi stunting, ini justru dapat ditempuh dengan menerapkan apa yang disebut dengan belanja pajak sosial (social tax expenditure/STE). Kontras dengan public expenditure, STE berkaitan dengan transfer sumber daya yang dilakukan melalui mekanisme seperti keringanan pajak, kredit pajak, atau tunjangan pajak. STE secara eksplisit ditujukan untuk memberikan suatu bentuk kesejahteraan tertentu kepada masyarakat.
Studi empiris lintas negara yang dilakukan oleh Kafui Adjaye-Gbewonyo dan kawan-kawan bertajuk “Agricultural Trade Policies and Child Nutrition in Low-and Middle-Income Countries: A Cross-National Analysis” menunjukkan bahwa bantuan pemerintah berupa keringanan pajak pada produk-produk pertanian mampu meningkatkan status gizi anak, terutama bagi anak-anak yang berasal dari keluarga petani miskin.
Dalam konteks Indonesia, produk-produk pertanian sebenarnya telah menerima keringanan pajak berupa pembebasan PPN. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 99/PMK.010/2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Barang Kebutuhan Pokok yang Tidak Dikenai PPN. Namun, pembebasan PPN ini belum diperluas ke produk olahan hasil pertanian, khususnya untuk konsumsi anak usia 6 hingga 23 bulan.
Misalnya, produk susu yang dibebaskan dari PPN hanyalah susu murni. Sementara, susu bubuk tidak menerima fasilitas pajak tersebut. Padahal, studi empiris oleh Derek Headey berjudul “Can Dairy Help Solve the Malnutrition Crisis in Developing Countries? An Economic Analysis” menunjukkan bahwa mengonsumsi setidaknya dua makanan yang bersumber dari hewan (Animal-Sourced Food/ASF) per hari dapat menurunkan angka tengkes sebesar 5,7 poin persentase. Di antara berbagai jenis ASF, produk susu, termasuk susu bubuk, keju, dan yoghurt, memiliki korelasi negatif yang lebih kuat dengan stunting dibandingkan daging dan telur. Sementara, kebijakan perdagangan berupa keringangan pajak dapat menjadikan produk-produk ini lebih terjangkau dan lebih mudah diakses oleh masyarakat miskin.
Referensi:
FAO. (2022). The State of Food Security and Nutrition in the World 2022. Rome: FAO.