Bisnis Indonesia | 25 Juli 2024
Riezka Yunita – Praktisi Perpajakan Pratama Indomitra Konsultan
Bisnis, JAKARTA — Baru-baru ini, Komisi Yudisial menetapkan tiga Calon Hakim Agung (CHA) Tata Usaha Negara khusus pajak yang lolos seleksi. Diana Malemita Ginting, L. Y. Hari Sih Advianto, dan Tri Hidayat Wahyudi adalah CHA yang lanjut ke tahap fit and proper test di Komisi III DPR. CHA yang lolos di tahap ini akan disetujui sebagai hakim agung melalui rapat paripurna DPR.
Kehadiran hakim agung baru tersebut diharapkan dapat membawa perubahan positif bagi performa pengadilan pajak yang saat ini hanya memiliki produktivitas sebesar 60,81%. Angka ini mengindikasikan bahwa dari total perkara sengketa pajak, hanya separuh lebih yang dapat diselesaikan oleh hakim pengadilan pajak.
Padahal, rasio produktivitas pengadilan-pengadilan lain di lingkungan Mahkamah Agung (MA), seperti peradilan umum, agama, dan militer, berada di atas 90%. Dengan begitu, terdapat tuntutan bagi pengadilan pajak untuk mengejar ketertinggalan ini.
Beban kinerja hakim agaknya menjadi musabab persoalan di atas. Berdasarkan laporan tahunan MA, total sengketa pajak di 2023 adalah 16.223 perkara. Sementara, hakim pengadilan pajak yang tersedia hanya 72. Artinya, 1 hakim pengadilan pajak menangani 225 kasus sengketa. Rasio ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peradilan umum (1:32), agama (1:7), dan militer (1:16).
Penambahan jumlah hakim ditengarai menjadi solusi. Gagasan ini juga sempat disampaikan oleh salah satu CHA. Namun, proses perekrutan hakim pengadilan pajak tidaklah mudah, mengingat profesi ini memerlukan kualifikasi yang sangat spesifik.
Di sisi lain, penambahan jumlah sengketa pajak tiap tahun begitu pesat. Secara rata-rata, ada sekitar 14.000 perkara yang masuk ke pengadilan pajak dalam 5 tahun berturut-turut. Dengan demikian, penambahan jumlah hakim tak serta-merta mengerek performa pengadilan pajak ke level yang diharapkan.
Di titik ini, peningkatan produktivitas pengadilan pajak melalui pencegahan kasus sengketa patut diupayakan. Langkah ini juga akan lebih substantif mengingat rendahnya sengketa pajak dapat mencerminkan sistem perpajakan nasional yang berkualitas.
MITIGASI SENGKETA
Dari sisi pemerintah, upaya mitigasi sengketa pajak telah diwujudkan melalui penerapan advance ruling. Sistem ini memfasilitasi Wajib Pajak (WP) untuk berkonsultasi dan meminta jawaban atas permasalahan pemenuhan kewajiban dan hak perpajakannya kepada otoritas pajak.
Hal ini tentunya sejalan dengan prinsip ultimum remedium. Artinya, WP dicegah untuk ‘kalah’ dari otoritas pajak dalam upaya administratif, sehingga tidak perlu berperkara di pengadilan pajak.
Namun, dalam praktiknya, WP kerap kali dihadapkan dengan sekelumit birokrasi dan rentetan administratif yang tidak mudah. Kepastian waktu penyelesaian ruling tersebut pun kejar-kejaran dengan aktivitas ekonomi WP yang terus berjalan. Sedangkan, telat bayar dan telat lapor adalah ‘maut’. Singkatnya, pelaksanaan advance ruling bisa dibilang belum optimal.
Dengan konfigurasi problematika di atas, upaya minimalisasi potensi sengketa dari sisi WP memainkan peran krusial. Hal ini terutama relevan bagi WP badan (perusahaan) yang merupakan kontributor terbesar penerimaan negara, namun secara paradoks menjadi dalang utama dari menumpuknya berkas sengketa di pengadilan pajak (Lindsey et al., 2023).
Secara teoretis, sengketa pajak muncul karena perbedaan interpretasi aturan pajak antara perusahaan dan otoritas, keawaman perusahaan mengenai regulasi pajak, dan kesilapan administrasi pelaksanaan kewajiban perpajakan (Qadri et al., 2021).
Faktor-faktor ini menggarisbawahi pentingnya upaya pengintegrasian antara regulasi perpajakan dan proses bisnis perusahaan secara sistematis. Berkenaan dengan hal ini, penyusunan standar operasional prosedur khusus perpajakan (SOP pajak) sangat diperlukan.
Per definisi, SOP pajak merupakan panduan komprehensif dan sistematis mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan perusahaan. Hal ini meliputi prosedur pemotongan dan pemungutan, perhitungan, penyetoran, hingga pelaporan pajak.
Dokumen ini biasanya memuat prosedur akuntansi dan arus uang yang bersinggungan dengan pajak. Semua prosedur ini tentunya harus disesuaikan dengan tahapan proses bisnis masing-masing perusahaan.
Dengan adanya SOP pajak, perusahaan dapat mengambil keputusan yang tepat mengenai urusan perpajakan mereka. Hal ini akan mengantisipasi berbagai persoalan terkait pajak, sehingga memungkinkan perusahaan untuk terhindar dari sengketa.
Penghindaran terhadap sengketa juga akan menguntungkan perusahaan dalam hal penghematan biaya kepatuhan (compliance cost saving). Dengan begitu, perusahaan dapat mengalokasikan sumber daya yang tersedia ke kegiatan produktif, seperti investasi dan inovasi, yang mengeskalasi kinerja perusahaan.
Lagi pula, penyusunan SOP apapun, termasuk yang ‘ditempeli’ pajak, merupakan manifestasi dari tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance /GCG). Bukti empiris juga telah menyebutkan bahwa penerapan GCG diyakini dapat menumbuhkan kepercayaan konsumen dan reputasi perusahaan di mata para pemegang saham (Trong Tuan, 2014).
Poin-poin di atas agaknya menegaskan kembali urgensi penyusunan SOP pajak perusahaan. Namun demikian, hal ini bukan dilakukan tanpa tantangan. Ibarat pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Perusahaan harus bersedia mengeluarkan sumber daya untuk membentuk tim khusus dalam penyusunan SOP pajak. Tim ini tentunya terdiri dari personel dengan pengetahuan pajak (tax knowledge) yang baik dan memiliki kemampuan dalam menginterpretasikan regulasi pajak yang kompleks dengan akurat.
Selain itu, SOP pajak yang telah disusun harus segera disosialisasikan secara intensif kepada tiap divisi perusahaan, terutama yang bersinggungan dengan pajak. Pengawasan (monitoring) yang ketat selama pelaksanaan juga perlu dilakukan agar SOP pajak dapat diterapkan sebagaimana mestinya. Dengan begitu, implikasi positif dari penerapan SOP pajak dapat terealisasi.
Pada akhirnya, upaya mitigasi sengketa pajak melalui penyusunan SOP pajak tidak bisa begitu saja diserahkan kepada perusahaan. Karena pada hakikatnya, pajak merupakan ‘kontrak fiskal’ antara pemerintah dan WP. Oleh karena itu, otoritas pajak perlu merumuskan regulasi yang mendorong atau memandu perusahaan untuk mengintegrasikan regulasi pajak ke dalam proses bisnisnya.
Dengan begitu, SOP pajak perusahaan dapat berfungsi sebagai katalisator perbaikan iklim perpajakan nasional, peningkatan marwah pengadilan pajak, serta penguatan kapasitas fiskal negara. Setuju?
Artikel ini telah tayang di Bisnis Indonesia dengan judul “Cegah Sengketa Pajak dengan SOP Pajak”, Klik selengkapnya di sini:
https://bisnisindonesia.id/article/cegah-sengketa-pajak-dengan-sop-pajak