Pemerintah terakhir kali menetapkan kenaikan besaran tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2022 lalu sebesar 12% dan berlaku untuk dua tahun. Tidak lama setelah tulisan ini selesai dibuat, pemerintah resmi menatapkan kebijakan dengan tidak menaikkan tarif cukai untuk 2025, alias masih menggunakan tarif lama.
Alasan utama tidak dinaikkannya tarif CHT adalah kecenderungan konsumen untuk beralih dari rokok golongan 1 ke rokok yang lebih murah karena tekanan harga (downgrading). Faktanya kebijakan menaikkan tarif CHT masih belum mampu menurunkan prevalensi angka perokok yang justru mendorong konsumen untuk memilih produk rokok yang lebih murah, seperti rokok golongan 2 atau 3 bahkan tidak sedikit yang beralih pada rokok ilegal.
Sesuai fungsinya, cukai merupakan pungutan yang dikenakan terhadap barang-barang yang dianggap memiliki dampak negatif bagi masyarakat, tak terkecuali rokok. Untuk itu, kenaikan CHT yang seolah jadi agenda rutinan ini, selain dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah meraup penerimaan di sektor cukai, juga bisa diartikan sebagai upaya untuk menekan laju perokok di Indonesia yang terus melonjak di tiap tahunnya.
Alarm Tanda Bahaya
Ketika Kenaikan tarif CHT dianggap solusi, hal demikian rupanya belum berbanding lurus dengan penurunan prevalensi perokok. Hasil Survei kesehatan Indonesia mencatat diperkirakan ada 70 juta perokok aktif di Indonesia. Mirisnya 7,4% di antaranya berusia 10-18 tahun. Kenaikannya justru menjadi alarm bahaya bagi masa depan industri hasil tembakau (IHT) dan penerimaan cukai, mengapa?
Ketika CHT naik, harga jual eceran (HJE) rokok per batang maupun per bungkus turut naik. Tingginya harga rokok di pasaran berakibat pada penurunan daya beli konsumen. Hal tersebut akan semakin memperparah peredaran rokok ilegal di masyarakat, karena masyarkat yang kadung kecanduan akan mencari alternatif seperti rokok ilegal yang jauh lebih murah. Sepanjang 2023, potensi kerugian negara akibat peredaran rokok ilegal mencapai Rp40 triliun.
Tingginya harga rokok juga berdampak pada 6 juta buruh yang menggantungkan hidup pada industri rokok. Mayoritas dari mereka, terserap ke industri rokok sigaret kretek tangan (SKT) yang padat karya. Efek dominonya, kenaikan CHT juga berimbas pada industri rokok SKT, terlebih rokok SKT menjadi penyumbang keuntungan terbesar bagi mayoritas produsen rokok. Imbasnya produsen akan menekan biaya produksi sebesar-besarnya, termasuk menjadikan PHK sebagai opsi.
Di Indonesia, tembakau kadung melekat dengan rokok karena minimnya produk yang dihasilkan dari komoditas olahan tembakau. Dampaknya, serapan tembakau oleh industri rokok juga akan berkurang dan efek dominonya harga tembakau akan jatuh akibat menurunnya permintaan terhadap tembakau. 3 juta petani yang menggantungkan hidup pada tembaku turut terdampak.
Petani tak punya pilihan selain menjual tembakaunya di kisaran harga minimum akibat terdesak dalam posisi tawar yang lemah. Jika petani nekad menjual tembakaunya di kisaran harga tinggi, skenarionya ada dua, industri rokok akan memasok tembakau impor yang lebih murah dan akan berimbas pada jatuhnya harga tembakau lokal, atau industri rokok akan mengurangi kuantitas produksi secara maksimum demi menekan tingginya cost bahan baku.
Suka atau tidak, rokok turut menyokong aktivitas perekonomian di sektor akar rumput, dengan menjadi salah satu komoditas utama yang diperdagangkan di pasar akar rumput. Dari pedagang asongan, warung kelontong, hingga warung kecil, begitu mudah rokok diperdagangkan. Bila tidak percaya, tanyakan saja asusmsi ini pada Menteri Keuangan yang berujar bahawa rokok menjadi konsumsi terbesar masyarakat setelah beras.
Ambiguitas Kebijakan
Pada 2018, Kementerian Perindustrian mengeluarkan industri rokok dari kelompok Daftar Negatif Investasi (DNI) yang ditujukan guna memberikan akses bagi investor asing yang hendak berinvestasi ke sektor industri rokok. Hal ini tentunya menjadi ambigu dan kontra produktif dengan upaya pemerintah untuk meminimalisasi dampak destruktif dari rokok.
Ketika industri rokok nasional mendapatkan gelontoran dana investasi asing, kenaikan kuantitas produksi rokok jadi keniscayaan. Pemasaran dan promosi rokok akan semakin masif dan agresif, efeknya jumlah perokok akan semakin bertambah. Selanjutnya dikelurkannya industri rokok dari DNI membuka peluang bagi perusahaan asing untuk mengakuisisi industri rokok lokal, yang berpotensi menyebabkan aliran modal/devisa keluar negeri. Akhirnya Indonesia hanya akan menanggung dampak negatifnya, sementara keuntungan ekonominya justru mengalir ke luar negeri.
Selain itu, adanya alokasi dana bagi hasil (DBH) CHT yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, juga mengindikasikan komitmen pemerintah yang setengah hati dalam menekan jumlah perokok. Mengapa?
Sebanyak 20% DBH dari CHT, dialokasikan untuk tujuan peningkatan kualitas bahan baku rokok, hingga memberi pendampingan pelatihan profesi dan bantuan modal usaha untuk industri rokok berskala kecil menengah, dan 30% di antaranya digunakan untuk pemberian bantuan pada mereka yang terdampak kenaikan CHT. Hal ini tentunya mencerminkan dualitas sikap pemerintah yang satu sisi menaikkan tarif CHT setiap tahunnya, namun di sisi lain berharap industri rokok terus menyumbang devisa dengan membentuk iklim bisnis dan investasi yang ramah bagi industri rokok.
Di lain hal anggaran kesehatan Indonesia di 2024 juga tergolong jadi yang terendah yaitu sebesar Rp187 triliun (8,7%) dari total APBN 2024. Bila dibandingkan dengan beberapa negara dengan Produk Domestik Bruto yang rendah, Indonesia cenderung perhitungan soal kesehatan masyarakatnya. Agak naif rasanya jika kenaikan CHT jadi solusi tunggal dan final guna menekan angka perokok nasional, sementara biaya penanganan dan pencegahan yang ditujukan untuk menekan angka perokok saja masih sangat rendah. Padahal 40% dari DBH CHT dialokasikan untuk kesehatan.
Merokok Bukan Sekadar Masalah Sosial
Meskipun pada akhirnya CHT tidak jadi naik, bukan berarti pemerintah dapat lepas tangan dari upaya menurunkan prevalensi angka perokok. Harus diakui menaikan tarif cukai memang masih menjadi kebijakan yang cukup ampuh setidaknya untuk menekan laju pertumbuhan angka perokok remaja dan anak. Namun demikian, penting untuk memahami bahwa perilaku merokok bukan hanya tentang masalah sosial atau ekonomi semata, yang pegendaliannya hanya terbatas pada kedua variabel tersebut. Lebih dari itu, merokok juga merupakan masalah psikologis yang membutuhkan pendekatan baru dan penanganan lebih komprehensif.
Alih-alih terus mengandalkan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT), atau memperluas area bebas asap rokok yang terbukti tidak secara signifikan menurunkan jumlah perokok, pemerintah sebaiknya memperluas intervensi melalui layanan kesehatan publik, seperti konseling dan pengobatan gratis bagi perokok. Kebanyakan dari perokok ingin berhenti, namun ketiadaan dukungan secara psikologis, membuat mereka seolah sulit untuk berhenti.
Selanjutnya, pemerintah dapat meniru apa yang dilakukan oleh Swedia dan Jepang yang rutin menggencarkan kampanye pada masyarakatnya untuk mengalihkan konsumsi tembakau pada produk alternatif tembakau lainnya selain rokok, di antaranya seperti kantung nikotin yang berdasarkan penelitian di Jepang, terbukti berisiko lebih rendah dari produk olahan tembakau seperti rokok.