Pajak sering kali dianggap sebagai instrumen yang netral dan diperlukan dalam pembangunan negara. Namun, benarkah negara selalu menggunakan pajak hanya untuk membiayai layanan publik?
Dalam sebuah bab yang provokatif berjudul “Taxation and Social Engineering” dari buku The Philosophy of Taxation and Public Finance, ekonom dan filsuf kebijakan publik Robert W. McGee mengajak kita menggugat peran pajak terutama pajak konsumsi dalam bentuk cukai (excise tax). Cukai kerap dijadikan alat untuk memaksa perubahan perilaku masyarakat.
Apakah tindakan tersebut sah secara hukum? Efektif secara ekonomi? Etis secara moral? Atau justru, sebaliknya, merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan negara atas warganya? Dalam bab 10 tersebut, McGee mengajak kita menyelami dimensi legal, ekonomi, dan etika dari penggunaan pajak, khususnya cukai, sebagai alat rekayasa sosial.
McGee membuka pembahasannya dengan gagasan provokatif bahwa semua jenis pajak, termasuk cukai, pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap hak milik. Mengapa? Karena negara mengambil sebagian harta warga tanpa persetujuan langsung dari pemiliknya.
Namun, McGee tidak berfokus pada debat klasik mengenai legitimasi pajak, melainkan pada isu yang lebih subtil namun berdampak luas, yaitu penggunaan pajak untuk mengubah perilaku masyarakat. Pajak yang ideal, menurutnya, seharusnya hanya berfungsi untuk mengumpulkan pendapatan negara, bukan untuk mengarahkan atau menghukum perilaku warga negara.
Dalam kerangka hukum, McGee menyoroti dua filosofi besar pemerintahan. Pertama, pemerintahan sebagai pelayan rakyat. Kedua, pemerintahan sebagai penguasa atas rakyat.
Penggunaan cukai untuk mengatur perilaku, misalnya melarang konsumsi rokok, menurut McGee mencerminkan filosofi kedua, yakni negara sebagai “ayah yang tahu yang terbaik” untuk anak-anaknya. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip pemerintahan demokratis yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Ketika negara mulai menentukan perilaku mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan lewat instrumen pajak, maka hukum kehilangan netralitasnya dan pemerintah melampaui batas perannya.
Secara ekonomi, efektivitas pajak sebagai alat rekayasa sosial juga dipertanyakan. McGee menunjukkan bahwa produk-produk seperti alkohol dan rokok memiliki kurva permintaan yang inelastis. Artinya, meskipun harga naik karena dikenakan pajak tinggi, konsumsi produk tersebut tidak turun secara signifikan.
Kebijakan pengenaan cukai bahkan bisa menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Konsumen mungkin beralih ke produk yang lebih kuat atau lebih berbahaya karena pertimbangan harga, sehingga tujuan untuk mengurangi risiko kesehatan justru tidak tercapai. Hal ini mengindikasikan bahwa pajak sebagai instrumen perubahan perilaku bukan hanya tidak efisien, namun juga kontraproduktif.
Aspek etika yang dikaji McGee lebih menggugah lagi. Ia menggunakan pendekatan hak (rights-based ethics) dan menyimpulkan bahwa pengenaan cukai melanggar prinsip non-agresi. Prinsip ini menyatakan bahwa tidak seorang pun atau sekelompok orang boleh menggunakan kekerasan terhadap orang lain atau harta benda mereka.
Dalam konteks ini, pajak dianggap sebagai bentuk paksaan oleh negara. Bahkan jika paksaan itu dimaksudkan untuk kebaikan individu itu sendiri, tetap saja tidak etis karena negara tidak berhak memaksa seseorang melindungi dirinya sendiri dengan cara tertentu.
Mengonsumsi rokok atau minuman berpemanis bukanlah kejahatan terhadap hak orang lain. Karena itu, menghukum perilaku tersebut melalui pajak dinilai tidak sah secara moral.
Kritik McGee sejalan dengan berbagai pandangan kontemporer yang menyoroti perluasan peran negara dalam kehidupan pribadi warganya. Misalnya, dalam diskursus kebijakan publik, sering kali ditemukan dikotomi antara paternalism (pemerintah yang mengatur demi kebaikan warga) dan libertarianism (kebebasan individu sebagai prinsip utama).
Indonesia, seperti halnya banyak negara lain, menerapkan cukai atas rokok dan alkohol dengan alasan melindungi kesehatan publik. Namun, perlu dicermati apakah instrumen pajak/cukai adalah sarana terbaik untuk mencapai tujuan tersebut, atau justru menciptakan ketimpangan dan diskriminasi terselubung terhadap kelompok tertentu.
Data dari WHO dan Bank Dunia menunjukkan bahwa kebijakan cukai memang dapat mengurangi prevalensi merokok atau konsumsi alkohol di tingkat populasi. Namun, efektivitas ini sangat tergantung pada konteks sosial, ekonomi, dan alternatif kebijakan yang tersedia.
Program edukasi kesehatan, pelarangan iklan, dan layanan rehabilitasi sering kali lebih berdampak positif tanpa menimbulkan distorsi ekonomi atau pelanggaran etika seperti yang disorot McGee. Oleh karena itu, pembuat kebijakan harus berhati-hati agar niat baik untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat tidak berubah menjadi instrumen represi terselubung.
Menariknya, kritik McGee terhadap pajak sebagai alat rekayasa sosial tidak berarti ia menolak pajak secara total. Ia mengakui bahwa dalam situasi tertentu, pajak bisa menjadi mekanisme yang sah untuk membiayai layanan publik.
Namun, batasnya jelas: pajak tidak boleh digunakan untuk menghukum perilaku yang tidak melanggar hak orang lain. Negara harus hadir sebagai fasilitator, bukan pengendali perilaku warganya. Pajak seharusnya menjadi cerminan dari kedaulatan rakyat, bukan instrumen dominasi negara atas individu.
Membaca McGee, kita diajak untuk tidak hanya melihat pajak sebagai angka di laporan keuangan atau pungutan rutin yang harus dibayar, tetapi juga sebagai manifestasi dari hubungan antara warga negara dan pemerintah.
Di tengah semangat reformasi perpajakan dan digitalisasi administrasi pajak di Indonesia, pemikiran McGee menjadi relevan untuk memastikan bahwa keadilan dan etika tidak tergerus oleh efisiensi semata. Kita perlu terus bertanya: apakah kebijakan pajak kita benar-benar mencerminkan penghormatan terhadap hak warga negara, atau hanya menyamarkan kontrol dengan dalih perlindungan?
Di akhir renungan ini, satu hal yang patut kita garis bawahi, bahwa pajak bukan sekadar alat untuk mengumpulkan uang, tetapi juga cermin dari filosofi kekuasaan dan nilai-nilai yang dijunjung oleh sebuah bangsa.
Mari terus membangun kesadaran kritis agar sistem perpajakan kita bisa adil secara moral. Karena pada akhirnya, kebijakan pajak yang baik bukan yang memaksa warganya menjadi ‘baik’ menurut versi negara, tetapi yang menghargai kebebasan warganya untuk memilih menjadi baik, dengan sadar dan bertanggung jawab.