Perpajakan adalah salah satu instrumen penting bagi negara untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.Namun, di balik kebijakan ini, terdapat pertanyaan mendasar yang sering muncul apakah sistem perpajakan di Indonesia sudah berkeadilan? Lalu, apakah masyarakat berpenghasilan rendah merasakan manfaat yang seimbang dari pajak yang dibayarkan? Terakhir apakah keadilan pajak dapat diupayakan?
Diskursus ini menjadi menarik manakala pemerintah belakangan ini mengeluarkan sejumlah kebijakan yang dianggap sebagian kalangan tidak berpihak pada masyarakat kelas medioker, justru banyak kalangan yang mencibir arah kebijakan pajak hari ini yang cenderung berpihak pada golongan ekonomi atas.
Asumsi tersebut didasarkan pada keputusan pemerintah yang akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 mendatang, serta adanya kemungkinan digelarnya kembali karpet merah untung para pengemplang pajak melalui tax amnesty.
Dalam konteks ini, keadilan pajak menjadi perhatian, terutama karena dampaknya terhadap kelompok ekonomi menengah ke bawah yang sering kali lebih besar dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi.
Memahami Konsep Keadilan Pajak
Keadilan pajak adalah konsep yang menekankan pada distribusi beban pajak yang proporsional, di mana setiap individu berkontribusi sesuai dengan kemampuan ekonominya.
Pada prinsipnya, konsep ini bertujuan agar beban pajak tidak memberatkan satu kelompok masyarakat tertentu dan memastikan bahwa pajak yang dikumpulkan oleh negara digunakan untuk memperbaiki taraf hidup seluruh lapisan masyarakat. Terdapat dua jenis keadilan pajak sering dibicarakan, yaitu keadilan vertikal dan keadilan horizontal.
Pertama adalah keadilan vertikal. Prinsip ini menyatakan bahwa masyarakat yang berpenghasilan lebih tinggi seharusnya membayar pajak lebih banyak dibandingkan mereka yang berpenghasilan rendah. Sistem ini tercermin dalam skema pajak progresif, di mana tarif pajak naik seiring dengan meningkatnya pendapatan.
Ke dua adalah keadilan horizontal. Konsep ini menekankan bahwa masyarakat dengan tingkat penghasilan yang setara harus membayar jumlah pajak yang sama. Meskipun konsep ini ideal dalam teori, penerapannya dalam sistem perpajakan sering kali dihadapkan pada berbagai tantangan. Indonesia, sebagai negara dengan beragam tingkatan ekonomi masyarakat, menghadapi persoalan rumit dalam menerapkan keadilan pajak yang sesuai bagi semua golongan.
Tantangan Keadilan Pajak di Indonesia
Sistem perpajakan Indonesia memiliki tantangan yang kompleks, terutama dalam upaya menyeimbangkan kontribusi dari setiap kelompok ekonomi. Meskipun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang berkeadilan, seperti pengenaan pajak penghasilan yang bersifat progresif dan PPN yang diterapkan pada produk-produk tertentu, namun tetap saja dalam penerapannya menemui sejumlah permasalahan.
Sebagai contoh permasalahan ialah ketika pemerintah mewacanakan kenaikan tarif PPN menjadi 12%. PPN di Indonesia dikenakan pada berbagai produk dan jasa tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi konsumen. Hal ini berarti bahwa PPN bersifat regresif: kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah cenderung menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan dasar, sehingga proporsi PPN terhadap pengeluaran mereka lebih besar daripada kelompok berpenghasilan tinggi. Dalam jangka panjang, situasi ini berpotensi memperdalam ketimpangan ekonomi.
Selain itu, berbagai insentif pajak saat ini lebih banyak diberikan pada korporasi dan sektor industri dengan tujuan mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi. Masyarakat berpenghasilan rendah dan pelaku UMKM, yang sebenarnya membutuhkan dukungan lebih besar, sering kali kurang mendapatkan perhatian. Padahal, insentif untuk kelompok ini dapat berdampak langsung pada kesejahteraan mereka serta meningkatkan daya beli masyarakat.
Dampak Ketimpangan Pajak pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Ketimpangan dalam sistem perpajakan tidak hanya berdampak pada ekonomi makro, tetapi juga dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah.
Salah satu contohnya ialah, ketika beban PPN yang dikenakan pada produk-produk dasar dapat menyebabkan daya beli masyarakat menengah ke bawah menurun. Mereka terpaksa mengeluarkan sebagian besar pendapatan untuk kebutuhan pokok, yang berdampak pada rendahnya alokasi untuk pendidikan, kesehatan, atau tabungan. Hal ini menciptakan siklus yang sulit diputus, di mana masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Selanjutnya, ketimpangan pajak yang membebani masyarakat berpenghasilan rendah dapat membatasi akses mereka pada mobilitas sosial. Tanpa dukungan keuangan yang memadai, masyarakat berpenghasilan rendah sulit berinvestasi dalam pendidikan atau usaha kecil yang dapat meningkatkan status ekonomi mereka.
Pada akhirnya kebijakan pajak yang tidak memihak pada kepentingan kelas menengah ke bawah akan berakibat pada kesenjangan ekonomi yang semakin lebar. Ketimpangan dalam beban pajak yang tidak proporsional akan memperlebar kesenjangan antara kelompok ekonomi tinggi dan rendah. Dampak ini dapat memicu masalah sosial dan ekonomi yang lebih luas, termasuk menurunnya stabilitas ekonomi dan meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap pemerintah.
Langkah Menuju Sistem Pajak yang Lebih Berkeadilan
Pada akhirnya, keadilan pajak di Indonesia masih menjadi isu yang perlu perhatian serius. Meskipun sistem perpajakan Indonesia memiliki unsur progresifitas, penerapannya masih meninggalkan beberapa masalah yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah.
Langkah-langkah menuju sistem pajak yang lebih berkeadilan harus terus diperkuat agar dampak positif pajak dapat dirasakan secara merata dan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Dengan demikian, perpajakan tidak hanya menjadi sumber penerimaan negara, tetapi juga alat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Guna memenuhi harapan tersebut, pemerintah dapat mengupayakan beberapa pendekatan seperti melakukan penerapan rarif PPN multilayer. Seperti yang diterapkan di beberapa negara lain, pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan skema PPN bertingkat. Misalnya, kebutuhan pokok seperti makanan, obat-obatan, dan layanan dasar lainnya dapat dikenakan tarif PPN yang lebih rendah, sementara produk-produk mewah dikenakan tarif yang lebih tinggi. Skema ini dapat meringankan beban masyarakat berpenghasilan rendah sekaligus tetap menjaga penerimaan negara.
Selanjutnya, pemerintah dapat menggencarkan insentif pajak untuk UMKM dan masyarakat berpenghasilan rendah. Pemberian insentif pajak yang lebih luas bagi pelaku UMKM dan masyarakat berpenghasilan rendah dapat meningkatkan daya beli mereka dan mendorong pertumbuhan ekonomi dari bawah. Insentif ini bisa berupa pengurangan pajak, pembebasan pajak untuk penghasilan tertentu, atau program-program bantuan yang langsung berdampak pada mereka.
Terakhir pemerintah wajib mengupayakan penguatan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan pajak. Keadilan pajak tidak hanya tergantung pada bagaimana pajak dikumpulkan, tetapi juga pada bagaimana pajak tersebut digunakan. Masyarakat akan lebih menerima sistem perpajakan jika mereka merasa dana yang mereka bayarkan digunakan secara efektif untuk pembangunan yang bermanfaat bagi seluruh lapisan. Pemerintah perlu meningkatkan transparansi dalam pengelolaan pajak dan memastikan bahwa alokasi anggaran mencakup program-program yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat berpenghasilan rendah.