Intan Pratiwi
Accounting Policy Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies
Perhatian terhadap ESG (Environmental, Social, and Governance) di Indonesia semakin meningkat sejak Indonesia menyatakan komitmennya untuk mencapai Sustainable Development Goals pada 2023. Dalam rangka menindaklanjuti komitmen tersebut, pemerintah telah menerbitkan sejumlah peraturan. Salah satunya terkait dengan ESG. Akan tetapi peraturan terkait ESG masih belum diatur secara khusus. Meskipun demikian sudah banyak perusahaan yang menerapkan praktik ESG secara sukarela. Salah satu praktik terbaik adalah PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) yang belum lama ini meraih peringkat pertama ESG Rating Dunia pada 2024. Pencapaian PGE ini tidak terlepas dari hasil kerja sama antara sub-holding dan fungsi sustainability.
Pada dasarnya, mayoritas perusahaan telah menerapkan konsep keberlanjutan yang tercermin dalam sustainability report. Namun, belum semua mengarah pada konsep ESG. Saat ini, Indonesia belum memiliki standar baku berkenaan dengan komponen ESG yang dimasukkan ke dalam laporan. Pada praktiknya, perusahaan hanya akan memasukkan komponen yang paling menguntungkan untuk menarik investor dan sebagai bentuk transparansi terhadap publik.
Kebingungan antara ESG dan Sustainability
Kepedulian terhadap ESG dan sustainability semakin meningkat sehingga bermunculan istilah yang berbeda yang memiliki konsep yang berkaitan. Istilah ESG dan sustainability seringkali digunakan secara bergantian (interchangeably). Praktik di Indonesia yang cukup familiar adalah sustainability reporting, akan tetapi masih banyak yang menggunakan istilah ESG reporting. Pengungkapan ESG dalam sustainability reporting tidak menjadikan sustainability reporting sama dengan ESG reporting. ESG adalah istilah yang digunakan perusahaan dalam laporan keberlanjutan untuk menarik investor. Perbedaan yang cukup signifikan antara ESG dan sustainability yaitu ESG berfokus pada komponen Environmental, Social, dan Governance sedangkan sustainability berfokus pada aspek Economic, Environmental, dan Social. Ketiga komponen ESG menjadi acuan perusahaan untuk menjalankan rencana aksi yang kemudian dituangkan dalam laporan keberlanjutan (sustainability report).
Dalam istilah akuntansi dikenal tahapan pengakuan, pengukuran, pengungkapan, dan pelaporan. Jika pengungkapan ESG masuk ke dalam pelaporan keberlanjutan (sustainability reporting) maka seharusnya tidak diperlukan lagi istilah pelaporan ESG (ESG reporting). Karena hal ini hanya akan menyebabkan pengulangan dan tumpang tindih. Akan tetapi, jika suatu saat akan diatur secara khusus terkait ESG mungkin hal ini menjadi penting. Dengan aturan khusus yang mengatur ESG kemungkinan akan ada laporan ESG tersendiri yang tidak masuk kedalam laporan keberlanjutan.
Wilayah abu-abu
ESG dianggap sebagai praktik yang ramah lingkungan dengan konsep hijau akan tetapi praktiknya masih terlalu abu-abu. Dalam koridor hukum apabila masih terdapat ketidakjelasan yang menimbulkan kebingungan maka hal ini dikatakan grey area (di wilayah abu-abu). Belum adanya peraturan yang mengikat terkait ESG, maka akan menimbulkan grey area. Hal ini membuat laporan yang disusun berbeda-beda antar perusahaan.
Meskipun ESG belum diatur secara khusus, akan tetapi komponen ESG sudah diadopsi dan tersebar di beberapa peraturan. Misalnya terkait environmental (E) diatur dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur komponen social (S). Serta komponen governance (G) yang diatur dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas. Upaya pemerintah dalam hal ini adalah permulaan yang baik bagi penerapan ESG di Indonesia.
Peraturan khusus ESG
Praktik pengungkapan ESG di Indonesia saat ini masih masuk dalam ruang lingkup POJK 51/POJK.03/2017 akan tetapi peraturan ini cenderung membahas laporan keberlanjutan daripada laporan ESG itu sendiri. Pelaksanaan ESG saat ini belum optimal, karena minimnya dukungan pemerintah selaku pembuat kebijakan sehingga membuat penerapan ESG menjadi terhambat. Jika pemerintah dapat membuat peraturan yang mengatur dan mengikat terkait ESG, maka kepatuhan perusahaan untuk fokus pada penerapan ESG akan meningkat. Pengaturan ESG saat ini masih terbatas, meskipun komponen ESG dipisah namun belum diatur secara menyeluruh.
Maka dari itu diperlukannya perluasan peraturan terkait ESG. Peraturan yang berlaku saat ini juga masih bersifat sektoral, POJK 51 hanya wajib untuk lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik. Artinya sektor usaha private mungkin belum menerapkan ESG. Kemudian, peraturan yang saat ini berlaku seperti POJK/SEOJK masih sangat general. Maka diperlukan penyempurnaan POJK/SEOJK yang berlaku saat ini, baik melalui revisi terhadap peraturan yang sudah ada maupun melalui penerbitan peraturan baru yang lebih spesifik.