Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan bahwa masih ada sejumlah perusahaan sawit yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Padahal, setiap perusahaan wajib memiliki NPWP untuk mengatur perpajakan mereka.
Luhut menjelaskan bahwa pemerintah terus mendorong digitalisasi secara bertahap di berbagai sektor komoditas, termasuk batu bara, nikel, timah, dan kelapa sawit. Langkah ini diambil agar penerimaan negara dapat dioptimalkan.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi menjelaskan bahwa penerimaan PPh badan yg cenderung menurun tidak dapat diatasi secara cepat dengan cara menaikkan jumlah Wajib Pajak atau tarif pajaknya.
Meningkatkan jumlah Wajib Pajak akan tergantung pada hasil ekstensifikasi Wajib Pajak dan biasanya cara demikian menyasar usaha menengah, kecil dan besar yg belum masuk ke sistem perpajakan.
Jika dilihat dari skala usaha menengah dan besar, secara umum mereka sudah memiliki NPWP ketika memulai usaha, apalagi aktivitas usahanya menggunakan bentuk badan. Adapun upaya untuk meningkatkan tarif pajak harus melalui revisi UU PPh atau UU PPN. Hal demikian juga tidak gampang krn hrs melalui proses legislasi di DPR.
Dengan demikian, cara yg paling efisien adalah dengan intensifikasi objek pajak untuk tahun pajak 2019-2023. KPP selama ini sudah melakukan cara tersebut dengan penerbitan surat cita berupa SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan). Langkah lanjutannya adalah pemeriksaan utk menguji kepatuhan WP.
Dua cara di atas harus melalui proses interaksi dg Wajib Pajak. Selain itu, Wajib Pajak juga dapat memberikan penjelasan sesuai bukti transaksi yg mereka miliki. Kalo masih kurang yakin, Wajib Pajak juga dapat memanfaatkan jasa konsultan pajak.
Cara integrasi NIK dan NPWP akan lebih fokus pada ekstensifikasi dan intensifikasi WP dalam negeri orang pribadi (WPDN OP). sehingga, integrasi dua data tersebut, KPP dapat melakukan pengawasan kepatuhan WPDN OP secara lebih efektif.
Integrasi NIK dan NPWP bertujuan untuk menyederhanakan administrasi perpajakan dan memastikan kepatuhan wajib pajak. Dalam konteks tersebut, konsep data matching memainkan peran kunci dalam memastikan keberhasilan integrasi tersebut.
Menggabungkan konsep data matching dengan CRM sangat erat kaitannya dengan konsep pemeriksaan pajak. “Pemeriksaan pajak” atau “tax audit” berasal dari dua kata: pemeriksaan atau audit, dan pajak atau tax.
Aktivitas audit sudah ada sejak peradaban kuno di China, Romawi, dan Yunani, di mana auditor bekerja untuk penguasa. Auditor mendengar pernyataan publik dari Wajib Pajak, seperti petani, tentang hasil usaha mereka dan kewajiban pajak yang harus dibayar.
Di Mesir Kuno, auditor juga bertugas memeriksa kecurangan: satu auditor menghitung barang sebelum disimpan di gudang, sementara auditor lainnya memeriksa barang yang sudah disimpan (Anandarajan & Kleinman, 2015, hal. 5). Jika ada selisih yang tidak dapat dijelaskan oleh kedua auditor, mereka dihukum dan dijadikan persembahan kepada dewa (hal. 5).
Dari ilustrasi ini, audit juga terkait dengan konsep “data matching” karena auditor akan membandingkan satu data atau informasi dengan data atau informasi lainnya.
Compliance Risk Management
DJP menerapkan manajemen risiko yang dikenal sebagai Compliance Risk Management (CRM) untuk membuat skala prioritas. DJP telah menerbitkan SE-39/PJ/2021 untuk menerapkan CRM. Compliance Risk Management (CRM) adalah proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak yang dilakukan secara terstruktur, terukur, objektif, dan berulang untuk mendukung pengambilan keputusan terbaik oleh DJP. Proses ini meliputi tahapan persiapan, penetapan konteks, analisis risiko, strategi mitigasi risiko dengan menentukan pilihan perlakuan (treatment), serta monitoring dan evaluasi risiko kepatuhan.
Gambar. Compliance Risk Management
Sumber: Guiding Note – Compliance Risk Management: Managing and Improving Tax Compliance (OECD, 2004, hal. 8)
Sesuai dengan piramida kepatuhan, strategi CRM DJP disesuaikan dengan perilaku kepatuhan Wajib Pajak:
- Jika Wajib Pajak dinilai patuh (willing to do the right thing), KPP akan memberikan kemudahan seperti pengurangan angsuran PPh, pemberian fasilitas pajak, atau restitusi pendahuluan.
- Jika Wajib Pajak berusaha untuk patuh pajak tetapi tidak selalu berhasil (try to but don’t always succeed), KPP akan memberikan konsultasi melalui Account Representative (AR) untuk membantu mereka mematuhi.
- Jika Wajib Pajak terindikasi tidak ingin patuh (don’t want to comply, but will if we pay attention), AR di KPP akan segera mengirimkan SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan) sebagai efek kejut.
- Jika Wajib Pajak dianggap sudah memutuskan untuk tidak patuh (have decided not to comply), DJP akan segera melakukan penegakan hukum pajak berupa pemeriksaan atau bahkan penyidikan.