Kontan.co.id | 23 Mei 2022
Pemerintah akan melakukan pengintegrasian nomor induk kependudukan (NIK) di KTP sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP) pada tahun 2023.
Meskipun NIK menjadi NPWP, namun pengenaan pajak hanya berlaku bagi pihak yang sudah bekerja atau memiliki penghasilan dengan besaran tertentu. Dengan kata lain, tidak semua warga yang sudah memiliki KTP dan berumur 17 tahun otomatis menjadi wajib pajak.
Berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), besaran penghasilan kena pajak (PKP) dikenakan untuk pihak dengan pendapatan Rp 60 juta per tahun atau di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun.
Sehingga masyarakat yang memiliki penghasilan Rp 4,5 juta ke bawah tidak wajib membayar pajak. Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Reasearch Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, secara historis umur penggunaan NPWP lebih lama NIK.
Namun, masifnya penggunaan NIK untuk berbagai persyaratan administrasi kependudukan dan perbankan membuat nilai kebermanfaatan NIK lebih besar dari NPWP. “Selain itu, basis data NIK juga lebih besar dari NPWP.
Pada akhirnya, nomor di NPWP menggunakan nomor di NIK,” ujar Prianto kepada Kontan.co.id, Minggu (22/5).
Menurutnya, dengan adanya integrasi data NIK menjadi NPWP ini akan mendorong keefektifan pengawasan kepatuhan wajib pajak yang berbasis data matching. Dengan data matching, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) membandingkan data dari laporan SPT dengan data dari berbagai pihak.
Sesuai dengan pasal 35 A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), diatur kewajiban pemberian data dan informasi dari ILAP (Instansi pemerintah, Lembaga, Asosiasi & Pihak lainnya) kepada DJP.
Namun, menurut Prianto, ketiadaan data NPWP di pasokan data dari ILAP menyebabkan implementasi data matching menjadi kurang efektif. Pasalnya, petugas KPP tidak bisa langsung menentukan potensi utang pajak dari pembandingan data tersebut.
Sehingga petugas KPP masih harus mencari informasi lainnya untuk memastikan kesesuaian data. “Dengan penyatuan nomor di NPWP dengan NIK, kantor pajak bisa langsung menetukan risiko ketidakpatuhan pajak dan langsung menindaklanjutinya dengan penerbitan SP2DK untuk langsung konfirmasi ke WP-nya,” kata Prianto.
Pengamat perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako mengatakan, pemerintah harus melakukan pengujian terkait keamananan data dalam kebijakan ini.
“Untuk keamanan data itu yang semestinya harus di uji. Kita punya big data, tapi sentra big datanya ada atau tidak?,” ujar Ronny.
Sementara itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, kebijakan ini memiliki manfaat terutama untuk penyederhanaan dan integrasi data. Selain itu, kebijakan ini juga menjadi pengenalan wajib pajak kepada remaja 17 tahun.
Namun, menurut Eko, yang menjadi kekurangannya adalah masih banyak masyarakat yang masih belum mengerti mengenai ketentuan pengenaan pajak bagi yang sudah memiliki KTP sehingga pemerintah perlu melakukan sosialiasasi.
“Kalau minusnya mungkin sosialisasi perlu diperbanyak, agar masyarakat tidak khawatir dan memahami bahwa punya NPWP tidak otomatis berkewajiban bayar pajak,” ujarnya.
Artikel ini telah tayang dilaman Kontan.co.id dengan tautan https://newssetup.kontan.co.id/news/plus-minus-integrasi-nik-sebagai-npwp pada 23 Mei 2022