Jeratan Pengangguran di Kalangan Generasi Muda

Dalam pidatonya terakhirnya (16/08/2024), Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa selama 10 tahun kepemimpinannya tingkat pengangguran telah ditekan hingga ke titik terendahnya, dari sebelumnya 5,7% menjadi 4,8% di tahun 2024.

Ketika Presiden meyakinkan publik bahwa Indonesia telah menekan angka pengangguran, kementerian ketenagakerjaan malah merilis data pekerja yang ter-PHK selama periode Januari-Juni 2024 hingga mencapai 32.064 orang. Angka PHK naik dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang (21,4%). Bahkan Beberapa provinsi  mengalami kenaikan kasus PHK hingga 1000% seperti di Jakarta dan Bangka Belitung. Di Jakarta, sejak Januari-Juni 2024 sebanyak 7.469 orang ter-PHK. Jumlah tersebut bertambah 6.786 orang atau 994% atau hampir 1.000% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Kontras ini terasa semakin nyata manakaa IMF mengatakan angka pengangguran Indonesia masih menjadi yang tertinggi di kawasan ASEAN. Dalam laporan IMF berjudul World Economic Outlook April 20224, menyatakan tingkat pengangguran Indonesia mencapai 5,2%. Kendati mengalami penurunan dari tahun sebelumnya (5,3%), Indonesia masih menjadi negara dengan tingkat penangguran tertinggi di ASEAN, di atas Filipina (5,1%), Malaysia (3,52%), Vietnam (2,1%), dan Singapura (1,9%).

Underemployment Didominasi Gen-Z

Berdasarkan rilis data Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul Angkatan Kerja Menurut Golongan Umur 2024, terdapat 149,3 juta angkatan kerja di Indonesia, atau setara 80% dari jumlah penduduk di Indonesia. 39,65 juta diantaranya adalah para Gen-Z rentan umur 15-26 tahun, serta 4,95 juta diantaranya berstatus not in employment, education, and training/NEET. Berdasarkan data tersebut, maka Gen-Z menyumbang sekitar 68% jumlah pengangguran, artinya dua dari tiga anak muda di bawah 30 tahun yang tengah berada di usia produktif menganggur.

Situasi ini diperburuk oleh fakta bahwa banyak dari mereka yang terjebak dalam situasi underemployment. Mengapa demikian? Jika definisi pengangguran disesuaikan dengan ketentuan UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa batas minimum jam kerja dalam satu hari adalah 7 jam atau 35 jam per minggu, maka 31% masyarakat Indonesia masuk kategori pengangguran. Selama ini pemerintah tampaknya keliru mendefinisikan kelompok pengangguran. Sekelompok orang yang dalam seminggu bekerja minimal 1 jam, baik dibayar maupun tidak dianggap bukan pengangguran.

Kekeliruan tersebut membuktikan bahwa pemerintah mengabaikan kelompok underemployment dan menganggap mereka bagian dari kelompok pekerja. Pemerintah juga seolah mengabaikan konsep pekerjaan layak dimana jumlah jam kerja, kualitas pekerjaan, termasuk upah dan kondisi kerja, yang padahal keseluruhan faktor tersebut menjadi bagian terpenting bagi pekerja.

Abainya pemerintah terhadap kelompok uderemployment serta kurangnya upaya penyediaan pekerjaan layak, mengakibatkan mayoritas angkatan kerja terserap ke sektor informal ataupun ke sektor indutri bernilai tambah rendah. BPS mecatat, sepanjang 2023 dari total angkatan kerja nasional  (146,62 juta), 83,34 juta orang diantaranya (60,12%) terserap ke sektor informal. Kenyataan ini diperteruk dengan laporan World Bank (2023) berjudul Indonesia Economic Prospects, yang menjelaskan selama periode 2019-2022 prevalensi pekerjaan layak dengan standar kelas menengah turun signifikan, dari 14% menjadi 9%.

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan tentu tidak boleh hanya diam saja. Sebagai kelompok penyumbang terbanyak generasi Indonesia hari ini, pemerintah perlu bertindak cepat dan tepat, dengan menggulirkan kebijakan yang benar-benar menyentuh akar permasalahan, bukan hanya berfokus pada angka statistik semata. Ketika masalah ini tidak diianggap sebagai prioritas, maka Indonesia berisiko menghadapi ledakan pengangguran yang lebih besar, disertai dengan meningkatnya ketidakstabilan ekonomi serta ketidakpuasan sosial.

Pendidikan Vokasi Apakah Solusi Mengentaskan Pengangguran?

Sebagian menuding tingginya angka pengangguran kelompok muda akibat kegagalan kebijakan pendidikan dan skill mismatch sehingga menciptakan kesenjangan antara pendidikan dengan kebutuhan dunia industri. Berdasar pada masalah tersebut pendidikan vokasi hadir sebagai harapan, mengingat cita-citaya yang selaras dengan upaya pengentasan angka pengangguran, serta dianggap mampu meminimalisasi risiko skill mismatch. Namun sekali lagi harapan terkadang berkebalikan dengan kenyataan.

Meski pemerintah terus berupaya meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui program pendidikan vokasi sekaligus giat menyelenggarakan program pelatihan kerja, program-program tersebut nyatanya sering kali tidak sinkron dengan kebutuhan riil industri. Alih-alih menurunkan angka pengangguran, pendidikan vokasi justru menjadi penyumbang pengangguran terbesar. BPS mecatat sebanyak 1,8 juta lulusan sekolah vokasi setara SMK, 191 ribu lulusan Diploma, dan 872 ribu lulusan sarjana, menganggur. Masalah skill mismatch bukannya teratasi, malahan justru semakin sulit ditanggulangi.

Untuk itu peru adanya formulasi baru dalam mengentaskan persoalan pengangguran. Alih-alih masih berharap pada keajaiban pendidikan vokasi atau pelatihan umum, pemerintah dapat menggencarkan program pelatihan berbasis proyek yang melibatkan angkatan kerja secara langsung sebagai pihak yang terlibat dalam penyelesaian masalah kongkrit di industri. Selain itu kebijakan yang berorientasi pada pengembangan kualitas sumber daya manusia yang memiliki daya saing unggul di pasar industri atau tenaga kerja, mutlak menjadi kebijakan yang perlu diutamakan. Karenanya, pemerintah perlu membangun kemitraan strategis antara lembaga pendidikan (Universitas/sekolah vokasi), lembaga penelitian, dan industri guna menciptakan pemetaan kurikulum yang lebih relevan dengan kebutuhan pasar dan indsutri. Harapannya, angkatan kerja dapat memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan industri.

Menghadapi situasi pengangguran yang kian mengkhawatirkan, terutama di kalangan generasi muda, pemerintah sebagai pengatur kebijakan tidak boleh hanya berdiam diri. Tingginya angka pengangguran dan underemployment, serta rendahnya ketersediaan pekerjaan yang layak, tidak boleh lagi dimaknai sebagai deteran angka statistika tanpa makna. Kebuntuan pendidikan vokasi dan program pelatihan kerja dalam menjembatani kesenjangan antara keterampilan yang diajarkan dan kebutuhan pasar kerja, menjadi kondisi yang meperparah situasi. Skill mismatch juga tidak boleh dianggap sebagai permasalahan tunggal yang nampaknya menempatkan kelompok pekerja sebagai pesakitan tunggal.

Saat ini, persoalan pengangguran seolah menjadi tanggungjawab masyarakat. Padahal, persoalan pengangguran harusnya menjadi prioritas tanggungjawab negara. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan melakukan reformasi menyeluruh dalam kebijakan ketenagakerjaan dan pendidikan. Fokus harus beralih dari sekadar meningkatkan jumlah lulusan menjadi meningkatkan kualitas serta keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri. Kemitraan strategis antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan industri harus diperkuat untuk memastikan bahwa kurikulum pendidikan dan program pelatihan yang diselenggarakan benar-benar sesuai dengan tuntutan pasar tenaga kerja.

Selain itu, pemerintah perlu lebih proaktif dalam menciptakan lapangan kerja baru yang berbasis pada inovasi dan teknologi, sekaligus mendorong pengembangan sektor-sektor yang memiliki potensi besar untuk menyerap tenaga kerja, termasuk mendorong sektor ekonomi kreatif, industri berbasis teknologi mutakhir, serta usaha kecil dan menengah.

Lebih dari 8 juta orang menganggur, terlunta-lunta dijalanan mencari pekerjaan, sambil mendambakan akan adanya kebijakan yang berpihak pada mereka. Di tengah ketidakpastian hidup, mereka terus berjuang berharap pada keajaiban akan adanya pekerjaan layak untuk mereka, demi hidupnya cita-cita menjalani kehidupan yang layak untuk istri, anak, dan orang-orang yang mereka cintai.

153
SHARES
1.9k
VIEWS

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

Kirim Tulisan

Redaksi Pratama Institute menerima karya untuk kolom Opini

Setiap tulisan yang dikirim ke redaksi hendaknya diketik dengan spasi ganda, panjang tulisan antara 4000-6000 karakter (dengan spasi), disertai riwayat hidup (CV) singkat penulis dan file foto terbaru

Proses peninjauan artikel berlangsung selama 3 – 7 hari setelah artikel dikirimkan. Apabila lebih dari 1 minggu artikel yang diterima belum diterbitkan tanpa pemberitahuan lain dari redaksi, penulis berhak mengirim tulisan tersebut ke media lain.

Artikel dapat dikirim ke alamat email:
pratamainstitute@pratamaindomitra.co.id dengan subjek “Opini – Judul Tulisan

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Add New Playlist