Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa penerapan Core Tax Administration System (CTAS) pada tahun ini diharapkan dapat meningkatkan rasio pajak hingga 1,5% terhadap PDB. Sistem perpajakan canggih ini dijadwalkan untuk diluncurkan pada Desember 2024. Menurut Sri Mulyani, CTAS memiliki potensi untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, yang pada gilirannya akan meningkatkan rasio pajak bagi negara.Namun demikian, Sri Mulyani juga berpendapat bahwa perbaikan dalam regulasi dan kebijakan perpajakan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan rasio pajak.
Mengelola keuangan negara adalah tugas yang penuh tantangan, dan kepatuhan wajib pajak menjadi salah satu pilar utama dalam memastikan keberhasilan sistem perpajakan. Tingkat kepatuhan ini tidak hanya mencerminkan sejauh mana masyarakat memahami pentingnya pajak, tetapi juga menggambarkan kualitas hubungan antara masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu, memahami faktor-faktor yang mendorong kepatuhan atau bahkan ketidakpatuhan wajib pajak sangat penting untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil dan berkelanjutan.
Pertanyaannya, mengapa ada sebagian orang yang dengan kesadaran penuh melaporkan dan membayar pajak tepat waktu, sementara yang lain perlu diingatkan dengan ancaman sanksi? Fenomena ini memperlihatkan adanya dua bentuk kepatuhan pajak: kepatuhan sukarela dan kepatuhan terpaksa. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi apa yang memotivasi kedua jenis kepatuhan tersebut dan mengapa pemahaman akan perbedaannya sangat penting untuk menjaga keberlangsungan sistem perpajakan yang efektif.
Kepatuhan wajib pajak dapat diartikan sebagai kesediaan (sukarela) wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan yang berlaku tanpa perlu adanya intervensi seperti pemeriksaan, penyidikan, atau sanksi hukum dan administrasi (Gunadi, 2005). Sejalan dengan ini, Nurmantu dalam Devano dan Rahayu (2006) juga menjelaskan bahwa wajib pajak dapat dikatakan patuh apabila ia mampu memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya dan menggunakan hak-hak perpajakan dengan benar.
Kepatuhan Sukarela dan Kepatuhan Terpaksa
Dalam konteks ini, kepatuhan sukarela terjadi ketika wajib pajak dengan kesadaran penuh melaporkan dan membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa adanya tekanan atau paksaan dari otoritas pajak. Kepatuhan ini biasanya muncul dari pemahaman tentang pentingnya pajak dalam pembangunan negara serta rasa tanggung jawab sebagai warga negara. Faktor-faktor seperti transparansi pemerintah dalam pengelolaan dana pajak, kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan, serta kesadaran bahwa pajak yang mereka bayar akan memberikan manfaat kembali kepada masyarakat turut mempengaruhi tingkat kepatuhan sukarela.
Sebaliknya, kepatuhan terpaksa terjadi ketika wajib pajak mematuhi kewajiban mereka karena adanya ancaman sanksi atau tindakan hukum dari otoritas pajak. Ini bisa mencakup denda, bunga, atau bahkan tuntutan pidana bagi mereka yang melanggar ketentuan pajak. Kepatuhan terpaksa seringkali muncul ketika wajib pajak merasa ada risiko yang terlalu besar jika mereka menghindari kewajiban pajak. Pendekatan ini sering digunakan untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat mematuhi aturan perpajakan, terutama mereka yang mungkin mencoba menghindar dari kewajiban tersebut.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai otoritas perpajakan di Indonesia berharap bahwa wajib pajak memiliki kepatuhan yang bersifat sukarela, bukan terpaksa. Kepatuhan sukarela memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap penerimaan pajak dan mengurangi potensi sengketa antara DJP dan wajib pajak di kemudian hari. Meski demikian, menurut penelitian Allingham dan Sandmo (1972), tidak ada orang yang secara ikhlas ingin membayar pajak. Kebanyakan orang cenderung menghindari pajak untuk menghindari risiko, mulai dari tahap pendaftaran hingga pembayaran.
Kepatuhan Formal dan Materiil
Selanjutnya, penting untuk memahami bahwa ada dua jenis kepatuhan perpajakan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan materiil. Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010), kepatuhan formal merujuk pada kewajiban wajib pajak untuk memenuhi syarat formal perpajakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Sementara itu, kepatuhan materiil adalah kondisi di mana wajib pajak telah memenuhi ketentuan substansi perpajakan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang perpajakan, seperti pelaporan SPT Tahunan sebelum atau pada tanggal yang ditentukan.
Dalam menentukan tingkat kepatuhan wajib pajak, Nasucha (2004) mengidentifikasi tiga indikator utama: pertama, kepatuhan seseorang atau badan usaha dalam mendaftar sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP; kedua, kepatuhan dalam membayar pajak yang terutang dengan benar dan tepat waktu; dan ketiga, kepatuhan dalam melaporkan SPT Masa dan SPT Tahunan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Terakhir, penting untuk diingat bahwa ketidakpatuhan pajak tidak selalu berarti pelanggaran yang disengaja. Menurut Jackson dan Milliron (1986), kegagalan seseorang atau badan usaha untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya sering kali disebabkan oleh pemahaman yang rumit atau interpretasi yang berbeda terhadap peraturan perpajakan. Hal ini menunjukkan pentingnya edukasi yang lebih baik dan penjelasan yang jelas untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.