Dr. Prianto Budi S., Ak., CA., MBA
Dosen, Dep. Ilmu Administrasi Fiskal, FIA UI dan Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute
Gustofan Mahmud, S.Pd, M.Sc.
Peneliti di Pratama-Kreston Tax Research Institute
Kinerja perpajakan di Asia Tenggara terbilang cukup rendah karena dalam satu dekade terakhir hanya mencapai sekitar 13% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Di sisi lain, Bank Dunia menyarankan bahwa “titik kritis” penerimaan pajak suatu negara adalah 15% dari PDB. Penerimaan pajak di atas ambang batas ini disebut sebagai elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Untuk itu, penelitian ini ditujukan untuk menganalisis faktor-faktor makroekonomi yang menentukan kinerja perpajakan di enam negara Asia Tenggara selama tahun 2008 – 2019. penelitian ini menemukan pengaruh positif dan signifikan dari pendapatan per kapita, manufaktur, dan keterbukaan perdagangan terhadap rasio pajak (tax ratio). Sebaliknya, inflasi dianggap sebagai determinan yang berlebihan karena pengaruhnya yang tidak signifikan terhadap tax ratio.
Selain itu, berbeda dengan penelitian sebelumnya, penulis juga mengklasifikasikan negara ke dalam tiga kelompok berbeda berdasarkan median pendapatan pajak aktual seluruh negara sampel (13.291) dan indeks upaya pajak satu (1). Dengan begitu, muncul tiga kelompok negara. Kelompok pertama adalah negara-negara dengan upaya pajak tinggi tetapi penerimaan pajak aktual rendah (Indonesia dan Filipina). Kelompok kedua adalah negara-negara dengan upaya pajak rendah tetapi pemungutan pajak riil tinggi (Singapura). Kelompok ketiga adalah negara-negara dengan upaya pajak dan penerimaan aktual yang tinggi (Malaysia, Thailand, dan Kamboja).
Hasil penelitian ini mengarah pada sejumlah implikasi kebijakan. Pertama, penerimaan negara yang ada harus dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik guna mendorong peningkatan pendapatan, sehingga meningkatkan penerimaan pajak. Kedua, agenda pembangunan harus diprioritaskan untuk transformasi struktural ekonomi menuju industri, mengingat efek positif yang signifikan dari manufaktur terhadap tax ratio.
Ketiga, kebijakan terkait liberalisasi perdagangan perlu ditingkatkan untuk meningkatkan volume transaksi. Keempat, inflasi perlu dijaga di level yang aman guna mengurangi ketidakpastian dan menjamin stabilitas ekonomi. Kelima, perluasan upaya pajak dari agen-agen penerimaan perlu dilakukan, terutama di negara-negara dengan upaya pajak rendah. Hal itu dapat ditempuh, misalnya melalui peningkatan kapasitas dan penyediaan sumber daya yang memadai. Selain itu, reformasi perpajakan juga harus dimulai dengan mengefisiensi struktur, proses, dan prosedur administrasi otoritas penerimaan.