Pemerintah telah menetapkan prioritas nasional yang ambisius dengan memasukkan rencana pendirian Badan Penerimaan Negara (BPN) dan peningkatan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 23% dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024-2029.
Kebijakan ini tidak hanya berfokus pada peningkatan tax ratio, tetapi juga bertujuan untuk memberikan dampak positif yang lebih luas bagi penerimaan negara. Dengan mengacu pada Undang-Undang APBN 2025, proyeksi penerimaan PPh untuk tahun 2025 menunjukkan potensi yang signifikan jika kebijakan pengoptimalan pajak melalui intensifikasi, seperti penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK), pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), serta pemeriksaan pajak, dapat diimplementasikan secara konsisten. Pendekatan ini argumentatif dalam artian bahwa intervensi kebijakan fiskal tersebut dirancang tidak hanya untuk mengumpulkan lebih banyak penerimaan, melainkan juga untuk meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam sistem perpajakan.
Dalam konteks upaya optimalisasi penerimaan pajak, pengawasan pelaporan SPT PPh Badan di Indonesia mengalami transformasi signifikan melalui penerapan proses data matching yang canggih. Data matching merupakan alat strategis dalam mengidentifikasi ketidaksesuaian antara data internal dan eksternal, sehingga menjadi bukti kuat bahwa pemerintah proaktif dalam mengatasi praktik penghindaran pajak.
Proses dimulai dengan pengumpulan data dari sumber internal, seperti angka penghasilan, biaya, dan perhitungan pajak yang dilaporkan melalui sistem e-Filing, serta laporan keuangan perusahaan seperti neraca dan laporan laba rugi. Sedangkan, data eksternal diperoleh dari lembaga keuangan, misalnya bank yang menyediakan informasi transaksi perbankan, serta data pihak ketiga yang mencakup informasi ekspor-impor, perilaku konsumen, dan data pasar bagi perusahaan publik. Transformasi dan standarisasi data dari berbagai sumber ini merupakan langkah argumentatif yang mendasar, karena hanya dengan format data yang seragam, sistem data macthing dapat dijalankan secara efektif guna memastikan keakuratan pelaporan.
Lebih jauh, penerapan teknologi informasi yang didukung oleh algoritma berbasis big data dan machine learning memberikan keunggulan tersendiri. Teknologi ini tidak hanya memungkinkan pencocokan data secara otomatis, tetapi juga berperan kritis dalam mendeteksi gap atau perbedaan signifikan yang dapat mengindikasikan adanya kesalahan pelaporan atau praktik penghindaran pajak.
Analisis gap tersebut menjadi dasar untuk menilai tingkat risiko wajib pajak. Analisis ini berfungsi sebagai pendekatan yang memberikan justifikasi logis bagi kebijakan pemeriksaan pajak yang lebih mendalam. Wajib pajak dengan perbedaan data yang signifikan dikategorikan sebagai risiko tinggi dan diprioritaskan untuk pemeriksaan atau audit mendalam, termasuk permintaan dokumen klarifikasi tambahan dan audit lapangan jika diperlukan. Pendekatan ini secara argumentatif menunjukkan bahwa sistem pengawasan yang responsif tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga mengambil langkah-langkah konkret untuk memitigasinya.
Manajemen Pelaporan SPT PPh Badan
Oleh karena itu, diperlukan sebuah rencana untuk mempersiapkan pelaporan SPT PPh Badan agar memenuhi syarat dan ketentuan berdasarkan pada UU PPh. Perencanaan pelaporan PPh Badan yang efektif harus berlandaskan pemahaman definisi penghasilan bruto dan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Pasal 4 ayat (1) UU PPh menyebutkan bahwa penghasilan bruto mencakup seluruh tambahan kemampuan ekonomis, termasuk laba usaha dan penghasilan apa pun tanpa memandang namanya. Dengan memahami ruang lingkup ini, perusahaan dapat memastikan bahwa seluruh sumber pendapatan dicatat secara akurat, menghindari underreporting yang kerap terungkap melalui data matching.
Lebih lanjut, beban yang diperbolehkan seperti biaya pokok penjualan, upah, sewa, bunga, royalti, premi asuransi, promosi, dan lainya yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh. Selain itu, tax preparer harus memiliki bukti dokumen lengkap sebagai antisipasi untuk menanggapi penerbitan SP2DK. Sebaliknya, pengeluaran non‑operasional seperti dividen, hibah, dan pembentukan cadangan tidak diperkenankna sebagai pengurang penghasilan menurut Pasal 9 UU PPh, sehingga perusahaan perlu mengecualikan jenis pengeluaran ini agar tidak menimbulkan gap saat proses pencocokan data .
Tarif umum PPh Badan sebesar 22 % dari PKP diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh dan berlaku sejak tahun pajak 2022. Dalam praktiknya, data matching berperan sebagai mekanisme kontrol yang membandingkan angka PKP dan tarif yang dilaporkan dengan data faktual, sehingga wajib pajak dengan perbedaan signifikan dikategorikan berisiko tinggi dan dapat menerima SP2DK atau audit lapangan. Pendekatan ini memastikan bahwa perhitungan pajak tidak hanya sesuai ketentuan hukum, tetapi juga terbukti akurat saat diverifikasi.
Selain tarif umum, UU PPh juga menyediakan fasilitas di Pasal 31E ayat (1) UU PPh bagi wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto hingga Rp 50 miliar per tahun. Untuk PKP bagian peredaran bruto sampai Rp 4,8 miliar, mendapatkan pengurangan tarif PPh sebesar 50% dengan perhitungan sesuai Pasal 31 E UU PPh.
Dengan memahami informasi mengenai manajemen perencanaan Pelaporan SPT PPh Badan, perusahaan dapat meminimalkan gap antara data internal dan eksternal, sehingga data matching dapat digunakan sebagai data preventif pemicu sengketa dikemudian hari, serta meminimalisir perusahaan dari pemeriksaan lebih lanjut.