Memahami Primary Adjustment dan Secondary Adjustment di Transfer Pricing

Konsep dan Penerapannya di Indonesia Saat Ini

Konsep Primary dan Secondary Adjustment di OECD Transfer Pricing

Seiring berkembangnya zaman, banyak perusahaan yang membentuk grup usaha dalam rangka ekspansi maupun efisiensi.  Tidak sedikit pula perusahaan-perusahaan di dalam satu grup usaha saling bertransaksi. Sebetulnya, transaksi tersebut dapat dilandasi oleh berbagai pertimbangan, misalnya, untuk kemudahan, maupun alasan ekonomis semata. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa transaksi intra-grup tersebut juga dilatarbelakangi oleh perilaku oportunistik berupa penghematan pajak.

Bagaimana penghematan pajak tersebut bisa terjadi? Sebagai contoh, terdapat PT A yang memiliki anak usaha di Singapura, yaitu B Ltd. PT A kemudian berkontrak dengan B Ltd dan berdasarkan kontrak tersebut, PT A harus membayar tagihan ke B Ltd sebesar 100 USD. Melalui transaksi tersebut, PT A memperoleh penghematan pajak sebesar 5 USD yang diperoleh dari perhitungan sbb.:

Transaksi di atas merupakan salah satu contoh dari praktik transfer pricing. Di dalam konteks perpajakan, praktik transfer pricing tersebut dirinci oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) untuk menutup perilaku oportunistik para Wajib Pajak dalam mencari penghematan pajak. Di dalam pedoman OECD, terdapat tiga jenis koreksi transfer pricing, yaitu 1) Primary adjustment2) Secondary adjustment, dan 3) Corresponding Adjustment. Pada artikel kali ini, fokus pembahasan adalah di poin 1 dan 2 karena kedua koreksi tersebut yang seringkali digunakan oleh otoritas pajak di Indonesia.

Konsep Primary dan Secondary Adjustment di OECD Transfer Pricing Guidelines 2022

OECD mendefinisikan primary adjustment dan secondary adjustment di bagian glossary OECD transfer pricing guidelines 2022, sbb.:

Mengacu ke definisi di atas, primary adjustment adalah koreksi pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak setempat atas penghasilan atau biaya Wajib Pajak sebagai akibat dari penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKPU) atau Arm’s Length Principle (ALP). ALP itu sendiri secara sederhana didefinisikan sebagai prinsip panjang lengan, artinya, transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa harus sebanding nilainya dengan transaksi ke pihak independen.

Sementara itu, secondary adjustment adalah koreksi yang timbul sebagai akibat dari primary adjustment. Berdasarkan definisi tersebut, jika terdapat primary adjustment, penghasilan kena pajak suatu Wajib Pajak akan meningkat (bisa karena koreksi positif di penghasilan atau koreksi negatif di biaya). Di secondary adjustment, peningkatan penghasilan tersebut dapat dimasukkan sebagai dividen, kontribusi di ekuitas, atau pinjaman.

Penerapan Primary Adjustment dan Secondary Adjustment di Indonesia

Primary Adjustment

Pengaturan terkait primary adjustment diterapkan di Pasal 18 ayat (3) UU PPh (UU No. 7/1983 s.t.d.t.d UU No. 7/2021). Melalui Pasal tersebut, pemerintah memberikan kewenangan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa sesuai dengan prinsip ALP.

Kemudian, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 172/2023 kembali menekankan terkait primary adjustment tersebut, khususnya di Pasal 36 ayat (1) sebagaimana dikutip di bawah ini.

Pasal 36

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak melalui pengujian kepatuhan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.” (PMK 172/2023)

Secondary Adjustment

PMK 172/2023 mengadopsi pengaturan secondary adjustment di Pasal 37 ayat (1) huruf b sebagaimana dikutip di bawah ini.

Pasal 37 

(1) Dalam hal:

b. Wajib Pajak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ditemukan selisih antara nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dan nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha, selisih tersebut merupakan pembagian laba secara tidak langsung kepada Pihak Afiliasi yang diperlakukan sebagai dividen.” (PMK 172/2023)

Mengacu ke Pasal 37 ayat (1) huruf b PMK 172/2023, jika terdapat selisih atau koreksi dari DJP sehubungan dengan penerapan ALP, selisih tersebut dianggap sebagai pembagian laba atau dividen ke pihak afiliasi. Apa dampaknya?

Sesuai Pasal 37 ayat (4) PMK 172/2023secondary adjustment tersebut dapat tidak berlaku jika:

Sebelum PMK 172/2023 berlaku, secondary adjustment tersebut juga telah diatur di Pasal 22 ayat (8) PMK 22/PMK.03/2020 yang dicabut oleh PMK 172/2023.

Dhanika Purnasari
Assistant Tax Manager, Tax Consulting Division
Exit mobile version