Investor Daily | 13 Februari 2024
Dwi Purwanto Governance Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies
Ungkapan “Ikan busuk mulai dari kepala” bisa jadi menggambarkan kondisi Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) saat ini. Bagaimana tidak, setelah ketua KPK, Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan eks menteri pertanian, Syahrul Yasin Limpo, kini giliran 93 pegawai lembaga anti rasuah terlibat dalam pungutan liar (pungli).
Modus yang dilakukan beragam, mulai menyelundupkan telepon seluler ke dalam penjara hingga menawarkan fasilitas kepada pelaku korupsi selama di penjara. Sudah jadi cerita umum bahwa penyelundupan telepon seluler dilakukan agar para koruptor yang ditahan dapat memesan makanan secara online dari balik jeruji besi.
Berdasarkan temuan Dewan Pengawas KPK, para tahanan maupun keluarganya harus merogoh kocek sebesar Rp 10-20 juta untuk bisa memasukkan telepon seluler ke dalam penjara. Jumlah tersebut belum termasuk biaya bulanan sekitar Rp 5 juta. Tidak hanya itu, untuk mengisi baterai telepon seluler, mereka juga harus membayar Rp 200-300 ribu per satu kali (charge).
Banyak pihak yang terlibat dalam kasus pungli di rutan KPK, mulai dari staf, pengawal tahanan, komandan regu hingga kepala rutan KPK. Setiap orang yang terlibat juga menerima besaran uang yang berbeda-beda, paling sedikit sebesar Rp 1 juta dan paling banyak sebesar Rp 500 juta, dengan total keseluruhan sekitar Rp 6,1 milliar.
Meskipun praktik pungli di KPK telah berlangsung sejak 2018 atau sebelum Firli Bahuri menjabat sebagai ketua KPK. Namun saat Firli menjabat, kasus pungli tersebut tidak dapat dihentikan karena pengawasan yang lemah. Saat ini, Dewan Pengawas tengah menyidangkan dugaan pelanggaran etik terhadap 93 pegawai KPK yang terlibat kasus pungli di rutan KPK.
Sidang etik tersebut dibagi menjadi 9 berkas perkara, 6 perkara untuk 90 orang dan sisanya untuk tiga orang. Mereka disatukan dalam sidang yang sama berdasarkan pasal yang dituduhkan yaitu penyalahgunaan wewenang. Selain menjalani sidang etik, pegawai yang terlibat juga sudah dirotasi sehingga tidak lagi berhubungan dengan rutan yang menjadi pintu masuk praktik pungli.
Meski sudah ada sidang etik dan dirotasi, masyarakat jelas tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Terlebih praktik pungli terjadi di lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, pemerintah harus memperbaiki kinerja KPK agar kembali menjadi lembaga penegak hukum yang dipercayai masyarakat.
Upaya Perbaikan Kinerja KPK
KPK merupakan lembaga pemerintah pusat yang mempunyai tugas dan wewenang dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam menjalankan wewenangnya KPK melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Namun dalam perkembangannya, kinerja KPK dirasakan kurang efektif karena terjadinya pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK. Sebagai lembaga anti rasuah tidak pantas rasanya jika pimpinan dan pegawai KPK justru terlibat kasus korupsi dan pungli. Oleh karena itu kinerja KPK harus diperbaiki, mengingat kepercayaan publik terhadap KPK mulai menurun dratis.
Terdapat tiga cara untuk mendorong perbaikan kinerja KPK. Pertama, pemerintah harus merevisi kembali Undang-Undang (UU) KPK dan mengembalikan ke khittah awal perjuangan KPK, yakni sebagai lembaga khusus pemberantasan korupsi. Sebab, sejak revisi UU KPK pada 2019, mulai terjadi demoralisasi di tubuh KPK dan timbul juga pelemahan terhadap KPK.
Salah satu dampak yang terasa akibat revisi UU KPK adalah tersingkirnya pegawai KPK yang berintegritas melalui tes wawasan kebangsaan pada 2021. Selain itu, KPK tidak lagi menjadi lembaga independen, KPK akan mampu bermain politik serta KPK akan lemah dalam nilai dan norma pemberantasan korupsi.
Kedua, KPK harus memperbaiki nilai-nilai integritas pimpinan dan pegawai KPK. Perbaikan integritas dapat dimulai dari pimpinan KPK dengan menanamkan secara sungguh-sungguh nilai kejujuran. Hal ini dikarenakan di Indonesia masih berlaku budaya patronisme yang masih melihat pimpinan sebagai sosok yang akan diikuti, baik ucapan maupun perbuatannya.
Nilai integritas juga harus menjadi prioritas utama dan tertanam (mendarah daging) dalam diri setiap pegawai KPK. Sebab, sebaik apa pun sistem yang ada akan sia-sia apabila Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada tidak memiliki integritas. Selain itu, sistem yang telah dijalankan akan bisa dimanipulasi oleh pegawai yang tidak berintegritas.
Cara ketiga adalah mengoptimalkan Whistleblowing System (WBS) dengan melibatkan peran aktif masyarakat untuk menyampaikan pengaduan mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai KPK. WBS yang efektif dinilai dapat mendeteksi segala tindak kecurangan sehingga pelaku fraud dapat ditindak tegas.
Namun, KPK harus menjamin perlindungan pelapor dari segala ancaman, intimidasi atau tindakan yang tidak menyenangkan dari pihak manapun akibat melaporkan dugaan pelanggaran. KPK juga wajib menindaklanjuti setiap pengaduan yang masuk meskipun laporan tersebut tidak mencantumkan indentitas (anonim).
Dengan ketiga cara tersebut, diharapkan kedepan tidak terdengar lagi ada pegawai KPK terlibat kasus korupsi dan pungli sehingga lembaga anti rasuah tersebut menjadi kehilangan marwah (harga diri). Namun bantuan dari beberapa pihak juga diperlukan agar KPK dapat kembali menjadi lembaga penegak hukum yang dipercayai masyarakat.
Opini ini telah tayang di Harian Investor Dailiy dengan judul “Memperbaiki Kinerja KPK.”. Pada 13 Februari 2024