Sejak pertama kali muncul di Perancis pada 1948, pajak pertambahan nilai (PPN) telah menjelma menjadi instrumen penerimaan publik paling produktif di dunia. Selayaknya ‘mesin pencetak uang’, PPN membantu banyak negara untuk mengumpulkan lebih banyak penerimaan. Berdasarkan data dari International Centre for Tax and Development (2019), kontribusi PPN terhadap total penerimaan pajak global mencapai sekitar 30%.
Performa PPN tersebut telah memicu perluasan radikal dalam beberapa dekade terakhir. Misalnya, pada awal 1980, PPN telah diterapkan di sekitar tiga puluh negara (International Monetary Fund, 2011). Masuk ke 2020, lebih dari 160 negara telah mengadopsi PPN. Sebagian besar ekspansi ini didorong oleh negara-negara berpendapatan rendah dan menengah (Mascagni et al., 2023).
Daya Tarik PPN
Kontribusi penting PPN dalam kerangka pajak global yang disebutkan di atas tentunya tidak terlepas dari daya tariknya. Jika dibandingkan dengan jenis pajak tidak langsung (indirect taxes) lainnya, PPN memang dianugerahi sejumlah keunggulan praktis.
Tidak seperti pajak penjualan eceran (retail sales tax)—yang hanya dipungut di saat penjualan ke konsumen akhir—PPN dikenakan di sepanjang proses produksi. Dokumentasi transaksi yang diperoleh dari mitra dagang di seluruh proses produksi berfungsi sebagai informasi penting dalam penegakan. Berkat fitur ini, PPN dianggap sebagai instrumen penerimaan paling tahan (resilience) terhadap berbagai bentuk penghindaran/penggelapan (Waseem, 2023).
Berbeda dengan pajak omset (turnover tax), PPN memungkinkan perusahaan untuk mengompensasi pajak atas input produksi (PPN masukan) dengan pajak yang mereka pungut atas penjualan output produksi (PPN keluaran). Dengan begitu, PPN tidak akan memengaruhi harga atas input maupun output produksi (no-cascading) dan tidak mendistorsi optimisme perusahaan untuk terus berproduksi. Berkat fitur ini, aktivitas produksi perusahaan menjadi lebih efisien (Adhikari et al., 2020).
Selain itu, jika dibandingkan dengan pajak penghasilan, PPN relatif mudah untuk ditegakan. Hal ini karena pajak tersebut memungkinkan otoritas pajak untuk menargetkan bisnis-bisnis informal, sejauh mereka melakukan transaksi dengan bisnis-bisnis formal (Keen, 2008; De Paula & Scheinkman, 2010).
PPN Bukanlah Obat Mujarab
Meskipun daya tarik PPN begitu kuat, PPN bukanlah obat mujarab yang dapat serta merta memperbaiki sistem perpajakan secara keseluruhan. Menurut Slemrod & Velayudhan (2020), pengelolaan PPN cenderung rumit dan penuh tantangan karena merupakan jenis pajak yang cukup canggih (shopisticated).
Misalnya, informasi yang diperlukan untuk menegakkan PPN sangat banyak. Hal ini merepresentasikan beban finansial pada pengumpulan dan pemrosesan informasi tersebut. Dengan begitu, penegakan PPN hanya dapat terjadi jika administrasi perpajakan didukung oleh verifikasi dan investigasi mendalam terhadap informasi yang dikumpulkan (Carrillo et al., 2017).
Dari sudut pandang perusahaan, pembayaran PPN melibatkan biaya kepatuhan (compliance cost) yang tinggi. Setiap transaksi harus dicatat secara berkala dan diserahkan kepada otoritas pajak sebagai acuan resmi bagi perusahaan untuk mengklaim PPN masukan. Hal ini mencerminkan beban administratif yang ditanggung oleh perusahaan, yang mendorong mereka untuk memilih mitra dagang yang tidak terdaftar PPN. Akibatnya, rantai nilai tersegmentasi dan pemungutan PPN menjadi kurang efisien (Gadenne et al., 2019).
Pentingnya Meningkatkan Efisiensi Pemungutan PPN
Untuk mengatasi kendala administratif yang disebutkan di atas, otoritas pajak memerlukan rancangan sistem pajak yang berkualitas. Menurut Saragih et al. (2023), sistem pajak yang berkualitas adalah yang efisien. Efisiensi berkaitan dengan biaya pemungutan, biaya operasional administrasi perpajakan, dan biaya kepatuhan wajib pajak. Untuk mencapai efisiensi ini, diperlukan adanya modernisasi sistem perpajakan melalui pemanfaatan teknologi secara luas.
Dengan begitu, pemerintah dapat memenuhi tuntutan masyarakat untuk meningkatkan penerimaan PPN tanpa mengabaikan tujuan kebijakan lainnya (Keen, 2013). Artinya, efisiensi pemungutan PPN harus ditingkatkan seiring dengan semakin banyaknya sumber daya yang dikerahkan untuk memproses penegakan jenis pajak ini.
Lebih lanjut, hal ini penting untuk diupayakan mengingat sistem PPN yang terstruktur dengan baik memainkan peran penting dalam menentukan kemajuan ekonomi suatu negara. Studi empiris baru-baru ini yang dilakukan di negara-negara OECD menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan PPN mampu mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (Acosta‑Ormaechea & Morozumi, 2021). Lebih lanjut, studi empiris tersebut menegaskan bahwa dampak positif ini hanya dapat dicapai apabila peningkatkan penerimaan PPN terjadi akibat adanya peningkatan efisiensi pemungutan PPN bukan peningkatan tarif PPN standar (standard VAT rate).
Oleh: Gustofan Mahmud, S.Pd., M.Sc.
Jabatan: Analis Kebijakan Ekonomi di Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies
Referensi:
Acosta-Ormaechea, S., & Morozumi, A. (2021). The value-added tax and growth: design matters. International Tax and Public Finance, 28, 1211–1241.
Adhikari, B. (2020). Does a value‐added tax increase economic efficiency? Economic Inquiry, 58(1), 496–517.
Carrillo, P., Pomeranz, D., & Singhal, M. (2017). Dodging the taxman: Firm misreporting and limits to tax enforcement. American Economic Journal: Applied Economics, 9(2), 144–164.
De Paula, A., & Scheinkman, J.A. (2010). Value-added taxes, chain effects, and informality. American Economic Journal: Macroeconomics, 2(4), 195–221.
Gadenne, L., Nandi, T., & Rathelot, R. (2019). Taxation and supplier networks: Evidence from India. Proceedings. Annual Conference on Taxation and Minutes of the Annual Meeting of the National Tax Association, 111, 1–31.
International Centre for Tax and Development. (2019). Government Revenue Dataset.
International Monetary Fund. (2011). Revenue mobilization in developing countries, Policy Paper. International Monetary Fund.
Keen, M. (2008). VAT, tariffs, and withholding: Border taxes and informality in developing countries. Journal of Public Economics, 92(10–11), 1892–1906.
Keen, M. (2013). The Anatomy of the VAT. National Tax Journal, 66(2), 423–446.
Mascagni, G., Dom, R., Santoro, F., & Mukama, D. (2023). The VAT in practice: equity, enforcement, and complexity. International Tax and Public Finance, 30(2), 525–563.
Saragih, A. H., Reyhani, Q., Setyowati, M. S., & Hendrawan, A. (2023). The potential of an artificial intelligence (AI) application for the tax administration system’s modernization: the case of Indonesia. Artificial Intelligence and Law, 31(3), 491-514.
Slemrod, J.B., & Velayudhan, T. (2020). The VAT at 100: A comprehensive health assessment, with a plan of care and suggestions for diagnostic tests.
Waseem, M. (2023). Overclaimed refunds, undeclared sales, and invoice mills: Nature and extent of noncompliance in a value-added tax. Journal of Public Economics, 218, 104783.