Di sebuah rumah sederhana bertempat di pinggiran Kali Ciliwung, Ani (bukan nama sebenarnya), seorang pemilik usaha warung kecil, sibuk menyiapkan dagangannya sebelum fajar tiba. Ketika adzan subuh berkumandang, selain menjadi pengingat baginya untuk menunaikan kewajibannya kepada Tuhan, itu juga menjadi alarm baginya untuk memulai berjuang mencari uang guna menghidupi dirinya dan ke dua anaknya yang masih balita.
Untuk memulai usahanya yang hanya menghasilkan laba tipis, dalam kesehariannya, Ani merasa semakin sulit memenuhi kebutuhan keluarga lantaran harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Meski Ani bukan salah satu individu dengan kriteria dapat dikenai pajak, namun demikian Ani bukan sama sekali tidak pernah terlibat dalam pajak. Sesekali juga ia harus bersinggungan dengan salah satu pajak yang bersifat regresif seperti pajak pertambahan nilai (PPN). Dalam sebulan Ani bukan tidak pernah sama sekali melakukan konsumsi di tempat-tempat yang ditunjuk untuk memungut PPN seperi super market.
Ketika dimintai tanggapan bahwa PPN akan naik di tahun depan, Ani menjawab ”Wah naik mas? Bisa-bisa susu anak saya ikutan naik juga mas.” Tegas Ani menjawwab sambil terheran-heran.
Ani juga mempertanyakan mengapa pajak harus naik setiap tahun namun tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Menurutnya ketika pajak naik maka seharusnya kesejahteraan masyarakat juga naik.
Di sisi lain ibu kota, seorang pekerja swasta muda yang bekerja di salah satu kawasan elit ibu kota bernama Jefri (bukan nama sebenarnya), punya pandangan yang serupa tapi tak sama dengan Ani. Meski dia membayar pajak penghasilan dalam jumlah yang terbilang besar, Jefri merasa jarang merasakan dampaknya, terutama dalam bentuk kebijakan yang langsung membantu masyarakat miskin seperti Ani.
”Kayaknya memang jarang sih saya liat manfaat pajak langsung dirasakan kelompok masyarakat miskin, saya liat justru kebijakan pajak cenderung pro masyrakat elit.” Pungkas Jefri.
Jefri yang sehari-hari bekerja sebagai eksekutif muda di salah satu perusahaan multi nasional ternama di Jakarta, harus rela penghasilannya dipotong pajak penghasilan (PPh) dengan besaran yang cukup besar, dan diwajibkan untuk melaporkan harta kekayaannya. Dirinya merasa skeptis dengan setiap ketentuan pajak yang harus dia ikuti.
“Saya kadang bingung untuk apa saya wajib lapor SPT setiap tahun, dan yang paling saya bingung untuk apa saya harus bayar pajak? Toh juga saya belum merasakan uang pajak yang saya bayar bisa bermanfaat buat orang banyak.” Tegas Jefri dengan ekspresi bertanya-tanya.
Tak lama setelah proses wawancara ini, pemerintah resmi menggulirkan wacana penerapan tax amnesty jilid 3 yang sekaligus beriringan dengan wacana kenaikan tarif PPN menjadi 12% di 2025 mendatang.
Ani dan Jefri adalaha segolongan masyarakat yang skeptis dengan peran perpajakan yang seharusnya dirancang sebagai alat redistribusi kekayaan, kenyataannya kebijakan perpajakan belum mampu mengatasi jurang disparitas yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin. Mengapa kebijakan pajak progresif belum memberikan hasil yang diharapkan?
Apakah Redistribusi Melalui Kebijakan Pajak Tidak Efektif?
Pajak progresif adalah kebijakan di mana mereka yang berpenghasilan lebih tinggi membayar persentase pajak yang lebih besar. Dalam teori, sistem ini dirancang untuk mendistribusikan pendapatan negara secara adil. Hasil pajak dari kelompok kaya diharapkan digunakan untuk membiayai program sosial yang mendukung kelompok kurang mampu.
Namun, di Indonesia, efektivitas pajak progresif dalam mengurangi ketimpangan ekonomi masih jauh dari harapan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa koefisien Gini indeks yang mengukur ketimpangan pendapatan masih relatif tinggi dalam satu dekade terakhir. Bahkan ketika pendapatan pajak terus meningkat, dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan tampak minim.
Ada beberapa alasan mengapa kebijakan pajak progresif tidak sepenuhnya berhasil mengurangi ketimpangan. Salah satunya adalah alokasi pendapatan pajak yang belum optimal. Sebagian besar pendapatan pajak digunakan untuk membiayai belanja rutin pemerintah, seperti gaji pegawai negeri, daripada diarahkan secara strategis untuk program pengentasan kemiskinan.
Ani, yang bekerja keras setiap hari, jarang merasakan manfaat langsung dari pajak yang ia bayar. Subsidi atau program kesejahteraan sering kali tidak sampai ke masyarakat lapisan terbawah karena birokrasi yang berbelit dan kebocoran anggaran. Korupsi dan inefisiensi pengelolaan pajak semakin memperburuk situasi.
Selain itu, basis pajak yang sempit juga menjadi masalah. Banyak pekerja informal seperti Ani yang tidak terdaftar dalam sistem perpajakan formal. Sebaliknya, kelompok kaya memiliki akses ke berbagai cara untuk mengurangi beban pajaknya, termasuk melalui tax planning yang sah secara hukum namun sering kali mengaburkan prinsip keadilan.
Apa yang Perlu Dilakukan?
Ketimpangan juga diperparah oleh kebijakan pajak yang tidak sepenuhnya berpihak pada masyarakat miskin. Kenaikan PPN baru-baru ini, misalnya, langsung memengaruhi daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Ketika harga kebutuhan pokok meningkat akibat beban pajak tambahan, keluarga seperti Ani terpaksa mengurangi konsumsi makanan bergizi atau kebutuhan penting lainnya.
Sementara itu, kelompok kaya yang memiliki pendapatan lebih besar relatif tidak terlalu terpengaruh oleh kenaikan PPN. Ini menciptakan tekanan tambahan bagi masyarakat miskin dan memperburuk ketimpangan yang ada.
Untuk membuat kebijakan pajak lebih berdampak dalam mengurangi ketimpangan, pemerintah perlu memprioritaskan alokasi pajak untuk program yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat miskin. Peningkatan anggaran untuk sektor pendidikan, kesehatan, dan perumahan rakyat dapat membantu mengangkat kelompok masyarakat seperti Ani dari lingkaran kemiskinan.
Selain itu, sistem pajak perlu diperkuat untuk mengurangi kebocoran dan memastikan transparansi dalam pengelolaan pendapatan negara. Teknologi seperti big data dan blockchain dapat digunakan untuk meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak.
Di sisi lain, reformasi pada sistem perpajakan progresif juga diperlukan. Kebijakan yang lebih ketat untuk mencegah tax avoidance oleh kelompok kaya akan memastikan distribusi pendapatan pajak yang lebih adil. Pemerintah juga harus memperluas basis pajak dengan merangkul pekerja informal ke dalam sistem pajak tanpa memberatkan mereka.
Membangun Kepercayaan Publik
Namun, reformasi ini tidak akan berhasil tanpa membangun kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. Banyak masyarakat yang merasa skeptis terhadap efektivitas pajak karena pengalaman buruk dengan birokrasi atau laporan korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah.
Dalam hal ini, transparansi dan komunikasi yang baik dari pemerintah sangat penting. Masyarakat perlu melihat bukti nyata bahwa pajak yang mereka bayar digunakan untuk tujuan yang bermanfaat. Misalnya, program subsidi pendidikan untuk anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah atau pembangunan infrastruktur kesehatan di daerah terpencil.
Ani mungkin tidak menyadarinya, tetapi perjuangannya setiap hari adalah cerminan dari ketimpangan yang masih menghantui sistem ekonomi Indonesia. Dengan kebijakan perpajakan yang lebih adil dan transparan, ada harapan bahwa suatu hari, ia dan jutaan masyarakat berpenghasilan rendah lainnya dapat merasakan manfaat nyata dari pajak yang mereka bayar.
Pajak memiliki potensi besar untuk menjadi alat yang efektif dalam mengatasi ketimpangan. Namun, untuk mewujudkannya, pemerintah perlu menghadirkan kebijakan yang berpihak pada mereka yang paling membutuhkan. Hanya dengan cara ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera, di mana tidak ada lagi jurang yang memisahkan Ani dan eksekutif muda di sisi lain kota.