Kesenjangan sosial di Indonesia telah lama menjadi permasalahan yang tak kunjung teratasi. Meskipun negara ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil, dengan peningkatan kesejahteraan di berbagai sektor, ketimpangan pendapatan antara kelompok kaya dan miskin masih sangat mencolok.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Gini Indonesia pada tahun 2023 berada di angka 0,381, menunjukkan adanya ketimpangan yang cukup signifikan. Dalam konteks ini, kebijakan perpajakan sering kali dianggap sebagai salah satu instrumen yang efektif untuk mengurangi ketimpangan, salah satunya melalui sistem perpajakan yang progresif, di mana mereka yang berpenghasilan lebih tinggi dikenakan tarif pajak yang lebih besar. Sistem ini dirancang untuk mendistribusikan kekayaan dengan lebih adil. Namun, sejauh mana sistem ini berhasil mencapai tujuan tersebut?
Sistem pajak progresif di Indonesia diterapkan melalui sistem Pajak Penghasilan (PPh), yang memiliki beberapa lapisan tarif mulai dari 5% hingga 35%, yang ditentukan berdasarkan tingkat penghasilan seseorang. Konsep dasar dari kebijakan ini adalah prinsip keadilan vertikal, yaitu bahwa mereka yang memiliki kemampuan finansial lebih besar, harus berkontribusi lebih banyak kepada negara.
Dalam teori ekonomi klasik, kebijakan perpajakan yang efektif dapat menjadi alat redistribusi kekayaan, di mana pendapatan negara yang dikumpulkan dari kelompok berpenghasilan tinggi digunakan untuk membiayai program sosial yang bermanfaat bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan demikian, pajak progresif diharapkan dapat mengurangi kesenjangan pendapatan dan menciptakan kesetaraan sosial.
Namun, meskipun ideal dalam konsep, penerapan pajak progresif di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Salah satu masalah utamanya adalah rendahnya tingkat kepatuhan pajak. Menurut laporan Kementerian Keuangan pada tahun 2023, tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia hanya mencapai 60,5%.
Banyak individu berpenghasilan tinggi dan korporasi besar menggunakan berbagai cara untuk menghindari kewajiban pajak mereka, baik melalui celah hukum maupun melalui praktik penghindaran pajak yang lebih agresif. Akibatnya, potensi penerimaan negara dari kelompok kaya seringkali tidak maksimal, sehingga upaya redistribusi kekayaan melalui kebijakan pajak progresif menjadi tidak efektif.
Selain itu, masalah ketimpangan di Indonesia lebih dalam dari sekadar perbedaan pendapatan. Ada ketimpangan struktural yang mencakup distribusi aset, seperti tanah dan properti, serta akses terhadap pendidikan dan kesempatan kerja. Data BPS juga menunjukkan bahwa pada tahun 2022, hanya 55% dari populasi yang memiliki akses terhadap layanan pendidikan yang memadai, dengan ketimpangan akses yang signifikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Tantangan Pengendalian Kesenjangan Sosial
Meskipun pajak progresif dapat membantu, tanpa adanya reformasi dan transformasi struktural yang lebih luas, dampaknya terhadap pengurangan kesenjangan sosial cenderung terbatas. Misalnya, meskipun pendapatan pajak dari golongan kaya dapat digunakan untuk program pendidikan bagi masyarakat miskin, ketidakmerataan dalam akses terhadap pendidikan berkualitas tetap menjadi hambatan yang signifikan.
Penggunaan pendapatan pajak oleh pemerintah juga memainkan peran penting dalam efektivitas kebijakan perpajakan. Jika alokasi anggaran tidak diarahkan dengan baik untuk program-program yang benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat miskin, redistribusi yang diharapkan dari pajak progresif tidak akan terjadi.
Di Indonesia, masalah kebocoran anggaran dan inefisiensi dalam pelaksanaan program sosial sering kali mengurangi dampak positif dari kebijakan perpajakan. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2023, sekitar 10% dari total anggaran pemerintah mengalami kebocoran setiap tahunnya. Ini menambah tantangan bagi pemerintah dalam menggunakan pajak sebagai alat untuk mengurangi kesenjangan sosial.
Untuk meningkatkan efektivitas pajak progresif dalam mengurangi kesenjangan sosial, ada beberapa langkah yang perlu diambil. Pertama, pemerintah perlu memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terkait kepatuhan pajak, terutama di kalangan individu dan perusahaan berpenghasilan tinggi. Teknologi informasi, seperti e-filing dan e-tax, harus dioptimalkan untuk mempersempit ruang bagi praktik penghindaran pajak. Kedua, kebijakan perpajakan harus diiringi dengan reformasi struktural yang lebih luas, seperti redistribusi aset, peningkatan akses terhadap pendidikan berkualitas, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, pendapatan pajak yang dikumpulkan dari sistem progresif harus dikelola dengan efisien dan transparan. Pemerintah perlu memastikan bahwa dana tersebut digunakan untuk program-program yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara juga penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap kebijakan perpajakan. Tanpa kepercayaan ini, akan sulit bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan perpajakan yang lebih ambisius dalam upaya mengurangi kesenjangan sosial.
Edukasi dan peningkatan kesadaran publik mengenai pentingnya pajak juga perlu ditingkatkan. Masyarakat perlu lebih memahami peran pajak dalam pembangunan nasional dan bagaimana kontribusi mereka dapat membantu mengurangi kesenjangan sosial. Dengan peningkatan kesadaran ini, resistensi terhadap kebijakan perpajakan dapat dikurangi, dan kepatuhan pajak dapat ditingkatkan di semua lapisan masyarakat.
Pada akhirnya, pajak progresif adalah alat yang penting dalam upaya mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada sejumlah faktor, termasuk kepatuhan pajak, kebijakan struktural yang lebih luas, efisiensi penggunaan anggaran, dan edukasi publik.
Tanpa dukungan dari faktor-faktor tersebut, pajak progresif mungkin hanya akan menjadi kebijakan yang bagus di atas kertas, tetapi tidak cukup kuat untuk membawa perubahan nyata dalam mengurangi kesenjangan. Oleh karena itu, reformasi perpajakan yang komprehensif dan sinergi dengan kebijakan lain yang mendukung pemerataan ekonomi sangat diperlukan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih adil dan setara.