Pada 2 Juli 2025, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) melalui Dewan Standar Keberlanjutan (DSK) resmi menerbitkan dua standar nasional pertama untuk pelaporan keberlanjutan, yakni PSPK 1: Persyaratan Umum Pengungkapan Informasi Keuangan Terkait Keberlanjutan dan PSPK 2: Pengungkapan Terkait Iklim. Penerbitan ini menjadi tonggak penting dalam membangun kerangka pelaporan keberlanjutan Indonesia yang tidak hanya kredibel di tingkat nasional, tetapi juga selaras dengan standar internasional. Meskipun baru akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2027, kedua standar ini sudah dapat diadopsi lebih awal secara sukarela oleh entitas yang ingin menunjukkan komitmen mereka terhadap transparansi dan keberlanjutan jangka panjang.
Praktik Pelaporan Keberlanjutan
Sebelum hadirnya PSPK, pelaporan keberlanjutan di Indonesia cenderung menggunakan berbagai referensi global secara sukarela, seperti GRI Standards atau langsung mengacu pada IFRS S1 dan S2. Di sisi lain, POJK 51/2017 yang mewajibkan laporan keberlanjutan bagi sektor jasa keuangan belum mengatur standar isi secara teknis dan rinci. PSPK 1 dan 2 mengisi kekosongan tersebut dengan mengadopsi penuh IFRS Sustainability Disclosure Standards yang disusun oleh International Sustainability Standards Board (ISSB), dan menjadikannya sebagai standar nasional yang sah. Artinya, entitas yang menerapkan PSPK juga akan selaras dengan ekspektasi global dalam hal pengungkapan informasi lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST).
PSPK 1 menetapkan prinsip-prinsip dasar pelaporan keberlanjutan, termasuk struktur laporan, pendekatan tata kelola, strategi, manajemen risiko, serta pengukuran kinerja keberlanjutan. Sementara itu, PSPK 2 secara khusus mengatur pengungkapan tentang bagaimana perusahaan menghadapi risiko dan peluang terkait perubahan iklim, termasuk risiko fisik dan transisi, dampaknya terhadap strategi bisnis, serta target emisi dan langkah-langkah menuju transisi rendah karbon. Kedua standar ini dapat diterapkan oleh berbagai jenis entitas, termasuk perusahaan terbuka, BUMN, perusahaan non-keuangan, serta badan usaha milik swasta lainnya.
Tantangan Menuju 2027
Meskipun ketentuan berlaku efektif masih beberapa tahun lagi, waktu transisi menuju 2027 harus dimanfaatkan secara strategis. Banyak perusahaan, khususnya usaha kecil dan menengah, masih menghadapi keterbatasan dalam memahami standar baru ini, mulai dari minimnya sumber daya, kurangnya sistem pencatatan data LST, hingga belum adanya proses integrasi dengan pelaporan keuangan. Oleh karena itu, periode ini menjadi momen penting untuk membangun kapasitas teknis, mengembangkan sistem informasi pelaporan, dan memperkuat pemahaman lintas fungsi di dalam organisasi.
Di sisi lain, penerbitan PSPK 1 dan 2 juga membuka peluang besar bagi praktik penjaminan (assurance) atas laporan keberlanjutan. Dengan adanya standar yang jelas, praktik assurance kini memiliki acuan nasional yang dapat digunakan oleh akuntan profesional dan assurance provider independen. Langkah ini sejalan dengan rilisnya ISSA 5000, standar internasional terbaru yang dirancang untuk memberikan assurance atas informasi keberlanjutan secara menyeluruh. Artinya, laporan keberlanjutan ke depan tidak hanya lebih informatif, tetapi juga dapat dipercaya.
Selain mendorong transparansi, PSPK diharapkan mampu memperkuat tata kelola perusahaan, mendukung akses pendanaan berkelanjutan, serta meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global yang semakin menuntut akuntabilitas atas dampak lingkungan dan sosial. Untuk itu, diperlukan sinergi antara dunia usaha, regulator, asosiasi profesi, dan sektor pendidikan guna mempercepat kesiapan nasional dalam mengadopsi standar ini secara utuh.
Penerbitan Standar Pengungkapan Keberlanjutan oleh IAI bukan sekadar langkah administratif, melainkan sinyal kuat bahwa Indonesia tengah memasuki era baru pelaporan korporasi. Tahun 2027 menjadi titik awal dari pelaporan keberlanjutan yang lebih strategis, terintegrasi, dan terpercaya. Kini saatnya seluruh pemangku kepentingan bergerak bersama, untuk memastikan bahwa keberlanjutan bukan hanya formalitas, tetapi menjadi praktik nyata dalam tata kelola dan strategi bisnis jangka panjang.