Peningkatan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan oleh wajib pajak menjadi fenomena menarik dalam dinamika perpajakan di Indonesia. Hingga 19 Februari 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat bahwa 4,4 juta wajib pajak telah melaporkan SPT Tahunan, dengan rincian 4,27 juta wajib pajak orang pribadi dan 130,5 ribu wajib pajak badan. Jumlah ini menunjukkan tren positif dalam kepatuhan pajak masyarakat. Namun, apakah ini benar-benar mencerminkan meningkatnya kesadaran pajak, atau sekadar respons terhadap tekanan regulasi?
Data menunjukkan bahwa literasi pajak di Indonesia masih relatif rendah. Studi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkapkan bahwa sekitar 70% wajib pajak belum sepenuhnya memahami sistem perpajakan dan kewajiban mereka. Selain itu, laporan dari OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) juga menyebutkan bahwa literasi pajak di negara berkembang, termasuk Indonesia, masih tertinggal dibandingkan negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun angka pelaporan meningkat, banyak wajib pajak kemungkinan hanya melaporkan SPT untuk memenuhi kewajiban administratif tanpa benar-benar memahami bagaimana pajak yang mereka bayarkan dikelola oleh negara.
Lebih jauh lagi, tren pelaporan SPT yang meningkat belum tentu berdampak pada peningkatan penerimaan pajak. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada tahun-tahun sebelumnya, meskipun jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT bertambah, pertumbuhan penerimaan pajak tidak selalu sebanding. Hal ini disebabkan oleh banyak wajib pajak yang hanya melaporkan SPT tanpa ada tambahan kewajiban pembayaran pajak yang signifikan. Oleh karena itu, perlu kajian lebih mendalam untuk melihat apakah lonjakan pelaporan benar-benar berkorelasi dengan peningkatan penerimaan pajak atau hanya bersifat administratif semata.
Baca juga : WNI Tinggal di Luar Negeri Lebih dari 6 Bulan, Bolehkah Tidak Lapor SPT?
Namun, rendahnya tingkat literasi pajak tidak hanya disebabkan oleh kurangnya edukasi perpajakan, tetapi juga oleh rendahnya kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas pajak. Berdasarkan Teori Slippery Slope Model yang dikembangkan oleh Kirchler et al. (2008), kepatuhan pajak dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu kekuatan otoritas pajak (power of authority) dan kepercayaan terhadap otoritas pajak (trust in authority). Ketika wajib pajak merasa bahwa otoritas pajak kuat dalam penegakan hukum tetapi kurang transparan atau tidak dipercaya, kepatuhan pajak cenderung bersifat terpaksa dan penuh ketakutan, bukan karena kesadaran yang sebenarnya.
Dalam konteks Indonesia, beberapa kasus korupsi di lingkungan perpajakan yang mencuat dalam beberapa tahun terakhir, seperti kasus suap pejabat DJP dan kebocoran data pajak, memperkuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi perpajakan. Sayangnya, meskipun masalah ini sudah lama terjadi, belum ada langkah konkret dan konsisten dari pemerintah untuk memperbaikinya secara sistemik.
Di sisi lain, efektivitas sistem Core Tax Administration System (CTAS) yang baru diterapkan sejak Januari 2025 juga patut dipertanyakan. Sistem ini bertujuan meningkatkan pengawasan dan akurasi data perpajakan, tetapi gangguan teknis yang terjadi sejak awal implementasi menimbulkan tantangan tersendiri bagi wajib pajak. Banyak pelaporan yang tertunda akibat kendala teknis, sehingga lonjakan angka pelaporan SPT bisa jadi bukan refleksi dari kepatuhan yang lebih baik, melainkan karena akumulasi wajib pajak yang baru dapat melaporkan setelah sistem lebih stabil.
CTAS sendiri hanyalah sebuah sistem administrasi, bukan solusi atas rendahnya kesadaran pajak di masyarakat. Sistem ini memang mempermudah wajib pajak dalam melaporkan pajak mereka, tetapi tanpa transparansi dan kepercayaan terhadap otoritas pajak, kepatuhan yang dihasilkan hanya bersifat sementara dan terpaksa.
Belajar Dari Negara Lain
Jika Indonesia ingin meningkatkan kesadaran pajak dan membangun kepatuhan yang berkelanjutan, strategi yang diterapkan di negara-negara maju dapat menjadi referensi. Jepang telah sukses meningkatkan kepatuhan pajak dengan mengintegrasikan edukasi pajak ke dalam kurikulum sekolah, sehingga masyarakat memahami pajak sejak usia dini. Swedia menekankan transparansi dengan melaporkan secara publik bagaimana pajak digunakan, yang meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan pajak oleh pemerintah. Estonia telah menerapkan digitalisasi perpajakan yang efisien, memungkinkan pelaporan pajak dilakukan hanya dalam hitungan menit melalui sistem otomatis, sehingga mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya.
Amerika Serikat secara aktif melakukan kampanye kesadaran pajak, termasuk menyediakan layanan konsultasi gratis agar wajib pajak lebih memahami hak dan kewajibannya. Sementara itu, Jerman menerapkan penegakan hukum yang tegas tetapi tetap memberikan opsi pemulihan bagi wajib pajak yang melaporkan kesalahan secara sukarela, sehingga kepatuhan pajak meningkat tanpa harus sepenuhnya bergantung pada sanksi berat. Dengan mengadopsi pendekatan-pendekatan ini, Indonesia dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan, efisien, dan berbasis kepercayaan, sehingga kesadaran serta kepatuhan pajak masyarakat dapat tumbuh secara lebih alami dan berkelanjutan.
Baca juga : Core tax Sistem Segera Rampung, Inilah Beberapa Perubahan Tata cara Pelaporan SPT
Namun, Indonesia memiliki tantangan tersendiri yang membedakannya dari negara-negara maju tersebut. Negara seperti Swedia dan Jepang memiliki tingkat korupsi yang rendah dan sistem administrasi yang sangat baik, sehingga transparansi dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat terjaga. Di Indonesia, masih ada tantangan besar dalam membangun transparansi dan memberantas korupsi di sektor perpajakan. Oleh karena itu, adopsi strategi negara maju perlu disesuaikan dengan konteks Indonesia, misalnya dengan memperbaiki pengawasan internal di DJP, meningkatkan transparansi dalam pelaporan penggunaan pajak, serta memberikan insentif bagi wajib pajak yang taat.
Jika Indonesia ingin meningkatkan kepatuhan pajak secara jangka panjang, strategi-strategi ini perlu diadaptasi. Integrasi edukasi pajak dalam sistem pendidikan, peningkatan transparansi penggunaan pajak, digitalisasi layanan yang lebih efisien, serta komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat merupakan langkah konkret yang dapat memperbaiki sistem perpajakan Indonesia. Namun, langkah pertama yang paling krusial adalah meningkatkan transparansi pengelolaan pajak. Tanpa transparansi yang jelas, edukasi pajak dan digitalisasi sistem perpajakan tidak akan cukup untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap otoritas pajak.