Sobat Pratama, apakah kalian tahu bahwa Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia menganut prinsip World Wide Income (WWI)? Prinsip ini berdampak signifikan bagi kita.
Menurut Professor Haula Rosdiana dalam bukunya, WWI adalah asas perpajakan yang mengenakan PPh atas semua jenis penghasilan, tanpa memandang asal penghasilan tersebut, baik dari dalam negeri maupun luar negeri (Rosdiana & Rianto, 2012). Akibat berlakunya asas WWI, kita wajib melaporkan seluruh penghasilan kita dalam SPT PPh, termasuk penghasilan yang diterima di luar negeri.
Prinsip WWI ini dijelaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang berbunyi:
“Pasal 4
(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:….” (UU PPh)
Penerapan WWI selain memberatkan kita sebagai subjek pajak Indonesia, juga dapat menimbulkan masalah bagi mereka yang menjadi subjek pajak di dua negara (dual residency), terutama jika kedua negara tersebut sama-sama menganut WWI. Salah satu negara selain Indonesia yang menganut asas WWI adalah Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, seorang Warga Negara Indonesia (WNI) dapat menjadi subjek pajak Amerika Serikat jika ia memiliki izin menetap atau green card. Dengan status dual residency ini, WNI tersebut wajib melaporkan seluruh penghasilannya kepada dua negara, tanpa memandang asal penghasilan tersebut.
Status dual residency menyebabkan kedua negara sama-sama memperebutkan hak pemajakan atas subjek yang sama dan penghasilan yang sama. Professor Gunadi menyebut pemajakan berganda ini sebagai “juridicial double taxation” dalam bukunya (Gunadi, 2013). Untuk menghindari pajak berganda (double taxation) dan mencegah pengelakan pajak (tax evasion), Pemerintah Indonesia memiliki wewenang untuk membuat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau yang biasa disebut sebagai Tax Treaties. Indonesia dan Amerika Serikat telah memiliki P3B untuk menghindari pemajakan berganda.
Untuk menghindari pemajakan berganda bagi subjek-subjek yang memiliki status dual residency, P3B antara Indonesia dan Amerika Serikat memiliki mekanisme khusus berupa “tie breaker rule” di Pasal 4 Ayat 2 P3B antara Indonesia dan Amerika Serikat. Aturan ini memberikan panduan untuk menentukan status subjek pajak seseorang yang memiliki dual residency dengan cara berikut:
- Seseorang akan dianggap sebagai subjek pajak (resident/tax resident) dari negara tempat orang tersebut memiliki tempat tinggal permanen (permanent home). Jika orang tersebut memiliki permanent home di kedua negara terkait, ia akan dianggap sebagai subjek pajak di negara tempat ia memiliki hubungan personal dan ekonomi (center of vital interest);
- Jika negara tempat center of vital interest tidak dapat ditentukan, orang tersebut akan dianggap sebagai subjek pajak di tempat ia menjalankan kebiasaan (habitual abode);
- Jika orang tersebut memiliki habitual abode di kedua negara, ia akan dianggap sebagai subjek pajak di negara tempat ia memegang kewarganegaraan; dan
- Jika seseorang menjadi warga negara di kedua negara atau tidak menjadi warga negara dari kedua negara, otoritas terkait dari kedua negara akan memutuskan status subjek pajak orang tersebut dengan kesepakatan bersama.
Dengan demikian, tie breaker rule membantu menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat seseorang menjadi subjek pajak di dua negara yang menganut WWI. Selain masalah dual residency, P3B juga memiliki berbagai mekanisme lainnya untuk mengatasi permasalahan pajak berganda.
Referensi:
Gunadi. (2013). Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan. Jakarta: Bee Media.
Rosdiana, H., & Rianto, E. S. (2012). Pengantar Imu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo.