Kontan |19 Februari 2025
Dr. Prianto Budi Saptono, Ak., CA., MBA – Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dan dosen tetap FIA UI
Beberapa tahun terakhir, penerimaan pajak semakin tidak elastis dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Konsep yang digunakan untuk mengukur daya respons penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi dikenal sebagai tax buoyancy, yaitu rasio yang menunjukkan seberapa besar perubahan penerimaan pajak ketika terjadi perubahan pada Produk Domestik Bruto (PDB).
Data menunjukkan bahwa nilai tax buoyancy Indonesia mengalami tren penurunan, dari 1,94 pada 2021, menjadi 1,92 pada 2022. Tahun 2023, tax bouyancy kita turun lagi ke angka 1,17 dan hanya mencapai 0,71 pada 2024. Artinya, setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya diikuti oleh peningkatan penerimaan pajak sebesar 0,71%, yang menunjukkan ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penerimaan pajak.
Fenomena tersebut tidak dapat dipisahkan dari dua faktor utama, yaitu faktor internal di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) serta faktor eksternal yang terkait dengan perilaku Wajib Pajak (WP). Kedua faktor ini saling memengaruhi dan menjadi tantangan dalam optimalisasi penerimaan pajak.
Dari sisi internal, optimalisasi potensi penerimaan pajak melalui intensifikasi dan ekstensifikasi belum cukup baik. Intensifikasi pajak mengacu pada upaya penggalian potensi pajak dari WP yang telah terdaftar, salah satunya melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan (SP2DK).
Meski sudah diterbitkan SP2DK, jika data yang digunakan kurang valid maka tidak akan berujung pada pembayaran pajak. Dalam proses pembuktian, WP dapat memberikan klarifikasi yang menggugurkan potensi pajak yang tercantum dalam SP2DK. Akibatnya, upaya intensifikasi tersebut tidak menghasilkan penerimaan tambahan.
Selain itu, ekstensifikasi pajak atau upaya memperluas basis pajak melalui pendaftaran WP baru juga masih perlu dioptimalkan. Salah satu kendala terbesarnya adalah terkait implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang masih belum optimal.
Banyak transaksi ekonomi, khususnya dari sektor informal dan underground economy (UGE) tidak terdeteksi oleh sistem perpajakan. Akibatnya, banyak subjek pajak yang seharusnya berkontribusi terhadap penerimaan negara belum masuk dalam sistem perpajakan sebagaimana mestinya.
Sementara itu, dari sisi eksternal, perilaku WP dalam mengelola kewajiban pajaknya turut berkontribusi terhadap rendahnya nilai tax buoyancy. Pajak merupakan beban bagi WP, baik di tingkat orang pribadi maupun badan. Karenanya, mereka akan selalu berusaha mengefisiensi pembayaran pajak. Upaya tersebut ditempuh dengan beragam cara, baik yang legal maupun ilegal.
Strategi legal yang umum digunakan WP adalah tax planning dan tax avoidance. Tax planning adalah upaya manajemen pajak dengan memanfaatkan insentif dan fasilitas perpajakan yang diatur dalam regulasi. Misalnya, pemanfaatan insentif pajak, pembebasan pajak, atau skema pajak ditanggung pemerintah yang dapat mengurangi beban pajak secara sah.
Sementara itu, tax avoidance atau penghindaran pajak dilakukan dengan mengeksploitasi celah-celah dalam regulasi perpajakan. Umumnya, praktik avoidance menimbulkan sengketa pajak karena perbedaan interpretasi antara WP dan DJP terhadap aturan yang ambigu.
Di sisi lain, strategi ilegal yang dilakukan oleh sebagian WP adalah tax evasion atau penghindaran pajak secara melawan hukum. Praktik ini menjadi bagian dari underground economy dan sulit terdeteksi tanpa upaya penegakan hukum yang memadai.
Untuk mengatasi tax evasion, pemerintah perlu mengoptimalkan dua strategi penting. Pertama, administrative law enforcement yang dilakukan melalui pemeriksaan dan sanksi administratif. Kedua, criminal law enforcement yang ditujukan atas pelanggaran pajak yang bersifat pidana. Di samping itu, kebijakan seperti tax amnesty atau program pengungkapan sukarela dapat dipertimbangkan sebagai instrumen untuk menarik kembali potensi pajak yang hilang akibat tax evasion.
Hal lain yang ditunjukkan dari rendahnya tax buoyancy kita adalah bahwa basis pajak tidak bertambah secara proporsional meski ekonomi tumbuh. Penyebabnya bisa beragam, terutama akibat perlambatan konsumsi rumah tangga yang berimbas pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pergeseran struktur ekonomi ke sektor yang lebih sulit dipajaki, serta berbagai insentif pajak yang diberikan kepada dunia usaha dalam rangka pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
Untuk mengatasi permasalahan penerimaan pajak yang tidak tumbuh optimal, DJP perlu meningkatkan efektivitas pengawasan dan penggalian potensi pajak dengan memperbaiki validitas data dalam penerbitan SP2DK. DJP juga perlu mengoptimalkan implementasi penggunaan NIK sebagai NPWP. Selain itu, penguatan kerja sama dengan instansi lain seperti perbankan dan lembaga keuangan juga vital agar DJP bisa mendeteksi transaksi yang belum dilaporkan ke dalam sistem pajak.
Dari sisi regulasi, aturan pajak harus lebih jelas dan tidak memberikan ruang bagi multiinterpretasi yang dapat dimanfaatkan oleh WP dalam tax avoidance. Reformasi perpajakan yang lebih menyeluruh sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela WP. Dalam hal ini, khususnya melalui penyederhanaan sistem pajak dan peningkatan kepastian hukum.
Selain itu, upaya untuk meningkatkan kesadaran pajak masyarakat juga perlu terus digalakkan. Pemahaman bahwa pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan kontribusi terhadap pembangunan negara, harus diperkuat melalui edukasi pajak yang masif, baik di lingkungan akademik maupun profesional.
Pada akhirnya, rendahnya angka tax buoyancy kita menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam mencapai target penerimaan negara. Oleh karena itu, sinergi antara DJP dan WP sangat dibutuhkan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih baik.
Jika tidak ada langkah konkret yang diambil, bukan tidak mungkin ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak akan semakin membesar, yang pada akhirnya dapat menghambat upaya pembangunan nasional. Kunci keberhasilan program-program pemerintahan Presiden Prabowo akan sangat bergantung pada sejauh mana penerimaan pajak mampu direalisasikan secara optimal.
Artikel ini telah tayang di Kontan dengan judul “Mengurai Pelemahan Daya Respons Penerimaan Pajak”, Klik selengkapnya di sini:
https://insight.kontan.co.id/news/pelemahan-daya-respons-penerimaan-pajak