Tarif pajak hiburan kembali menjadi sorotan publik setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal 2025 menolak permohonan pengujian materiil terhadap besaran Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan.
Dalam putusan Nomor 32/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa ketentuan tarif minimal 40% hingga maksimal 75% yang berlaku untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa tidak bertentangan dengan konstitusi.
Putusan tersebut menegaskan keberlakuan Pasal 58 dan 101 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), yang sebelumnya menuai banyak kritik dari pelaku industri hiburan. Mereka menilai tarif pajak yang begitu tinggi dapat mengancam keberlangsungan usaha dan mendorong praktik ekonomi bayangan (informal).
Kritik tersebut sebenarnya telah bergulir sejak 2024, kala wacana kenaikan pajak hiburan mulai diimplementasikan di berbagai daerah. Meskipun pengenaan tarif PBJT sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah daerah, tekanan terhadap pemerintah pusat tetap menguat.
Presiden Joko Widodo saat itu bahkan sempat menggelar rapat terbatas, dan sejumlah menteri memberikan tanggapan terbuka terhadap keresahan para pelaku usaha.
Di tengah kegaduhan tersebut, sempat tersiar wacana pemberian insentif fiskal, baik melalui skema penurunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan sebesar 10%, maupun diskresi daerah dalam memberikan keringanan pajak hiburan.
Pasal 101 UU HKPD memang membuka ruang bagi kepala daerah untuk menetapkan insentif pajak daerah guna mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Namun, hingga pertengahan 2025, implementasi wacana insentif tersebut belum juga terealisasi. Salah satu hambatannya adalah ketiadaan peraturan pemerintah (PP) sebagai dasar hukum tata cara pemberian insentif fiskal.
Proses penyusunan regulasi teknis tersebut lambat, apalagi setelah momentum pemilu usai dan perhatian pemerintah terpecah pada agenda transisi dan konsolidasi pemerintahan baru.
Padahal, jika dirancang secara hati-hati, insentif pajak bisa menjadi solusi jangka pendek untuk menjaga kelangsungan sektor hiburan formal yang juga menjadi bagian dari industri pariwisata. Sebagaimana bansos bagi masyarakat rentan, insentif pajak merupakan instrumen fiskal untuk meredam beban ekonomi pelaku usaha.
Lebih dari sekadar isu fiskal, polemik pajak hiburan menunjukkan pentingnya pendekatan partisipatif dalam proses perumusan kebijakan. Minimnya dialog antara pemerintah dan pelaku usaha sejak awal menjadi titik lemah dalam implementasi UU HKPD.
Regulasi yang tidak mempertimbangkan kapasitas dan daya tahan sektor terdampak rawan menimbulkan resistensi, bahkan mendorong proses hukum seperti yang terjadi di Mahkamah Konstitusi.
Ke depan, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pendekatan yang lebih adaptif dan berbasis data dalam menetapkan kebijakan fiskal daerah. Insentif bukan berarti mengorbankan penerimaan negara, melainkan upaya untuk menyeimbangkan kepentingan fiskal dan kesinambungan ekonomi.
Jika pelaku usaha bisa bertahan dan berkembang, basis pajak justru akan semakin kuat.