Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Jumat, 23 Mei 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Menimbang Insentif Fiskal Pajak Hiburan

Ismail KhozenbyIsmail Khozen
22 Mei 2025
in Analisis, Artikel
Reading Time: 2 mins read
126 7
A A
0
Sumber: Freepik

Sumber: Freepik

152
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Tarif pajak hiburan kembali menjadi sorotan publik setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal 2025 menolak permohonan pengujian materiil terhadap besaran Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan.

Dalam putusan Nomor 32/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa ketentuan tarif minimal 40% hingga maksimal 75% yang berlaku untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa tidak bertentangan dengan konstitusi.

Putusan tersebut menegaskan keberlakuan Pasal 58 dan 101 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), yang sebelumnya menuai banyak kritik dari pelaku industri hiburan. Mereka menilai tarif pajak yang begitu tinggi dapat mengancam keberlangsungan usaha dan mendorong praktik ekonomi bayangan (informal).

Kritik tersebut sebenarnya telah bergulir sejak 2024, kala wacana kenaikan pajak hiburan mulai diimplementasikan di berbagai daerah. Meskipun pengenaan tarif PBJT sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah daerah, tekanan terhadap pemerintah pusat tetap menguat.

Presiden Joko Widodo saat itu bahkan sempat menggelar rapat terbatas, dan sejumlah menteri memberikan tanggapan terbuka terhadap keresahan para pelaku usaha.

Di tengah kegaduhan tersebut, sempat tersiar wacana pemberian insentif fiskal, baik melalui skema penurunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan sebesar 10%, maupun diskresi daerah dalam memberikan keringanan pajak hiburan.

Pasal 101 UU HKPD memang membuka ruang bagi kepala daerah untuk menetapkan insentif pajak daerah guna mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Namun, hingga pertengahan 2025, implementasi wacana insentif tersebut belum juga terealisasi. Salah satu hambatannya adalah ketiadaan peraturan pemerintah (PP) sebagai dasar hukum tata cara pemberian insentif fiskal.

Proses penyusunan regulasi teknis tersebut lambat, apalagi setelah momentum pemilu usai dan perhatian pemerintah terpecah pada agenda transisi dan konsolidasi pemerintahan baru.

Padahal, jika dirancang secara hati-hati, insentif pajak bisa menjadi solusi jangka pendek untuk menjaga kelangsungan sektor hiburan formal yang juga menjadi bagian dari industri pariwisata. Sebagaimana bansos bagi masyarakat rentan, insentif pajak merupakan instrumen fiskal untuk meredam beban ekonomi pelaku usaha.

Lebih dari sekadar isu fiskal, polemik pajak hiburan menunjukkan pentingnya pendekatan partisipatif dalam proses perumusan kebijakan. Minimnya dialog antara pemerintah dan pelaku usaha sejak awal menjadi titik lemah dalam implementasi UU HKPD.

Regulasi yang tidak mempertimbangkan kapasitas dan daya tahan sektor terdampak rawan menimbulkan resistensi, bahkan mendorong proses hukum seperti yang terjadi di Mahkamah Konstitusi.

Ke depan, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pendekatan yang lebih adaptif dan berbasis data dalam menetapkan kebijakan fiskal daerah. Insentif bukan berarti mengorbankan penerimaan negara, melainkan upaya untuk menyeimbangkan kepentingan fiskal dan kesinambungan ekonomi.

Jika pelaku usaha bisa bertahan dan berkembang, basis pajak justru akan semakin kuat.

Share61Tweet38Send
Previous Post

Krisis Iklim Adalah Cermin Moral di Tengah Kapitalisme Hijau

Next Post

Peneliti PRINS Berbagi Pandangan terkait Optimalisasi Pajak Hiburan

Ismail Khozen

Ismail Khozen

Manager Pratama Institute. Pengajar di Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia.

Related Posts

Sumber: Freepik
Artikel

Peneliti PRINS Berbagi Pandangan terkait Optimalisasi Pajak Hiburan

23 Mei 2025
Artikel

Krisis Iklim Adalah Cermin Moral di Tengah Kapitalisme Hijau

22 Mei 2025
Ilustrasi juru mudi kapal
Analisis

7 Pekerjaan Rumah Pimpinan Baru Ditjen Pajak

22 Mei 2025
Kantor DJP. Sumber: Metro TV
Analisis

Penerimaan Pajak di Bawah Kepemimpinan Baru

21 Mei 2025
Sumber: Freepik
Analisis

Setelah Retribusi, Saatnya Kualitas Layanan Dibenahi

20 Mei 2025
Artikel

Penerapan ESG dalam Dunia Usaha Indonesia: Meningkatkan Nilai atau Beban Tambahan?

20 Mei 2025
Next Post
Sumber: Freepik

Peneliti PRINS Berbagi Pandangan terkait Optimalisasi Pajak Hiburan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1464 shares
    Share 586 Tweet 366
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    933 shares
    Share 373 Tweet 233
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    909 shares
    Share 364 Tweet 227
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    754 shares
    Share 302 Tweet 189
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    723 shares
    Share 289 Tweet 181
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.