Investor Daily | 27 Maret 2023
Penulis: Dwi Purwanto (Governance Analyst di Pratama Institutes for Fiscal & Governance Studies)
Gonjang-ganjing di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tampaknya belum juga berakhir. Setelah huru-hara mengenai harta kekayaan pejabat di Ditjen Pajak dan Bea Cukai. Belakangan ini, orang mulai menggunjingkan tentang transaksi keuangan mencurigakan senilai 300 triliun di Kemenkeu.
Transaksi mencurigakan tersebut merupakan temuan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2009 sampai 2023 terhadap 467 pegawai Kemenkeu. Adapun dugaan aliran janggal tersebut merupakan tindak pidana pencucian uang, bukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara.
Kasus ini sebenarnya bermula dari masalah penganiayaan yang dilakukan oleh anak eks pejabat pajak terhadap anak salah satu pengurus GP Ansor. Kasus penganiayaan ini sampai ke kepolisian setelah korban terbaring koma di ICU dan ramai diperbincangkan di media sosial. Kasus ini pun berujung pada sorotan terhadap kekayaan ayah pelaku yang merupakan mantan pejabat pajak.
Pasalnya, pelaku kerap memamerkan motor dan mobil mewah di media sosialnya sehingga membuat warganet mengkritisi asal usul harta dari orang tuanya. Para netizen juga menanyakan Jeep Rubicon yang tak masuk dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan bahkan menunggak pajak. Kasus ini berbuntut panjang hingga pejabat dan pegawai lain di bawah Kemenkeu di panggil untuk diperiksa harta kekayaannya.
Aksi pamer harta kekayaan tersebut seharusnya sudah diketahui oleh internal Kemenkeu sebelum menjadi isu publik seperti sekarang ini. Lantas, mengapa tidak ada yang melaporkan hal tersebut melalui Whistleblowing System (WISE) Kemenkeu? Kalaupun ada yang melaporkan, mengapa sistemnya tidak berjalan secara efektif?
Whistleblowing System (WISE)
Dalam sebuah organisasi, ketika salah seorang pegawainya peduli atau mengetahui adanya kecurangan atau penyalahgunaan wewenang, ada beberapa pilihan yang dapat dilakukannya, yaitu tetap diam (to stay silent), memberitahu pihak luar atau melaporkan penyimpangan kepada pihak eksternal organisasi, baik itu kepada aparat penegak hukum atau media, dan melaporkan penyimpangan yang terjadi kepada pihak internal yang memiliki wewenang.
Kemenkeu menyediakan aplikasi Whistleblowing System (WISE) untuk menjembatani dan memfasilitasi kemungkinan-kemungkinan tersebut di atas. Pegawai/pejabat Kemenkeu maupun masyarakat luas yang ingin melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran atau ketidakpuasan pelayanan yang diberikan dapat melaporkan melalui aplikasi tersebut.
Obyek yang dilaporkan meliputi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, kode etik, kebijakan dan perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sementara itu, untuk menangani pengaduan yang masuk, setiap pengaduan akan dikelola oleh Unit Kepatuhan Internal (UKI) masing-masing Eselon I, Unit Tertentu, Itjen, dan Inspektorat Bidang Investigasi (IBI) Itjen Kemenkeu.
Dalam pengelolaan aplikasi WISE, Menkeu telah menerbitkan Peraturan Menkeu No. 103/PMK.09/2010 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Tindak lanjut Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing) di lingkungan Kemenkeu. Selain itu, Menkeu juga telah menerbitkan Keputusan Menkeu No. 149/KMK.09/2011 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Tindak Lanjut Pelaporan (Whistleblowing) dan Tata Cara Pelaporan dan Publikasi Pelaksanaan Pengelolaan Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing) di Kemenkeu. Keunggulan aplikasi WISE tersebut adalah rahasia aman, mudah dan cepat, terintegrasi, dan monitoring.
Aplikasi WISE mulai diperkenalkan (launching) pada 5 Oktober 2011 sebagai sistem pengelolaan pengaduan secara online, dimana pengaduan yang masuk dikelola secara struktur dan terdokumentasi dengan baik. Peluncuran WISE dilaksanakan setelah melakukan riset dan studi banding ke lembaga yang mengelola pengaduan masyarakat, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mempertimbangkan standar terbaik (best practice) yang diterapkan di beberapa negara dan lingkungan bisnis.
Tujuan utama penerapan aplikasi WISE adalah agar pimpinan dapat memantau informasi dan tindaklanjut laporan pengaduan yang dilakukan oleh masing-masing unit eselon I untuk memastikan ketepatan waktu dan penyelesaian laporan pengaduan tetap terjaga. Selain itu, penanganan penyimpangan dapat segera ditangani secara internal sebelum menjadi isu publik sehingga mengurangi risiko reputasi. Lebih lanjut, untuk menciptakan budaya saling mengingatkan antara pegawai sehingga penyimpangan dapat terdeteksi lebih awal dan berkurang.
Hingga saat ini, tujuan aplikasi WISE telah menunjukkan hasil karena sudah banyak pengaduan masuk yang berasal dari internal Kemenkeu. Beberapa pengaduan tersebut ditindaklanjuti dengan kegiatan mulai dari verifikasi hingga investigasi yang dapat berujung pada penjatuhan hukuman disiplin. Selain itu, aplikasi WISE juga menjadi benchmark Kementerian/Lembaga dalam menyusun sistem pengelolaan pengaduan.
Namun demikian, aplikasi WISE masih memiliki kelemahan salah satunya adalah ketakutan dari pihak pelapor (whistleblower). Pelapor yang berasal dari luar Kemenkeu, khawatir pajaknya akan dipersulit di kemudian hari. Sementara itu, pelapor dari internal Kemenkeu khawatir akan ada intimidasi, ancaman dan pembalasan (retaliation). Oleh karena itu, perlindungan terhadap pelapor yang memberikan kesaksian sangat diperlukan.
Hal ini dikarenakan informasi penting yang mereka berikan sangat efektif untuk membantu menyingkap kasus yang sedang terjadi, terutama mengungkap semua orang yang terlibat di dalamnya. Selain itu, adanya jaminan perlindungan yang memadai membuat pelapor atau saksi lain yang mengetahui sebuah kecurangan (fraud), terpicu keberaniannya untuk memberi kesaksian.
Salah satu perlindungan pelapor yang kurang memadai adalah laporan mantan pengawas keuangan (financial controller) Asian Agri Group (AAG) yaitu Amin Sutanto, kepada KPK pada akhir tahun 2006. Tanpa informasi tersebut, publik mungkin tidak akan pernah tau adanya dugaan manipulasi pajak yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 1,3 Triliun. Namun, Amin Sutanto justru divonis enam tahun penjara atas tuntutan dari AAG karena upaya korupsinya.
Hal lain yang juga menjadi perhatian pelapor adalah perkembangan pengaduannya. Pelapor ingin mengetahui apakah pengaduannya telah ditindaklanjuti. Selain itu, pelapor juga mengharapkan adanya komunikasi yang interaktif terkait pengaduannya. Hal ini agar pelapor dapat memperoleh informasi mengenai perkembangan status atau tindak lanjut dari pengaduannya.
Berdasarkan pernyataan di atas, terungkap bahwa sistem pengaduan harus terus dibangun untuk memberikan kepercayaan masyarakat bahwa pengaduan yang disampaikan terkait perilaku curang pegawai Kemenkeu harus ditindaklanjuti. Terkait perlindungan pelapor, harus ada perlakuan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban.
Dengan menindaklanjuti setiap pengaduan yang masuk dan menjamin perlindungan bagi pelapor, maka aplikasi WISE akan berjalan efektif. Selain itu, penanganan penyimpangan dapat segera ditangani secara internal sehingga tidak menjadi isu publik yang dapat mencemarkan nama baik Kementerian Keuangan.
Artikel ini telah tayang di investor Daily dengan judul “Menyoroti Whistleblowing System (WISE) Kemenkeu” pada 27 Maret 2023.