Obligasi Perumahan: Insentif Pajak yang Lebih Produktif Dibanding Tax Amnesty?

#image_title

Dalam kebijakan ekonomi, setiap insentif harus memiliki arah yang jelas: apakah ia hanya menjadi stimulus sesaat atau benar-benar mampu menciptakan dampak jangka panjang bagi perekonomian nasional. Wacana tax amnesty jilid III kembali mencuat dengan harapan menarik kembali dana yang tersimpan di luar negeri. Akan tetapi, jika kita melihat pengalaman sebelumnya, hasilnya kerap kali cenderung tidak sesuai ekspektasi dan tujuan kebijakan itu sendiri. Deklarasi harta memang tinggi, tetapi repatriasi dana ke dalam negeri jauh dari target.

Di tengah perdebatan ini, gagasan obligasi perumahan yang dikemukakan akhir-akhir ini di banyak media oleh Hashim Djojohadikusumo pada 31 Januari 2025 di ESG Sustainability Forum 2025, menawarkan pendekatan berbeda. Menurutnya, daripada hanya memberikan pengampunan pajak kepada pemilik modal yang membawa pulang dananya, pemerintah bisa menawarkan instrumen investasi berupa obligasi yang diterbitkan oleh bank seperti BTN atau BRI, khusus untuk membiayai sektor perumahan. Ide ini dianggap lebih baik dan lebih efektif dibandingkan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III yang kini menjadi sorotan kebijakan pajak selanjutnya. Bahkan, usulan ini juga dapat dimanfaatkan untuk mendukung program rumah pemerintah.

Dalam lanskap keuangan nasional, obligasi perumahan menjadi instrumen strategis yang menawarkan keuntungan bagi negara dan investor swasta. Dari perspektif fiskal, pemerintah mendapatkan peluang emas untuk menggalang dana berbiaya rendah dalam jumlah besar, yang pada gilirannya dapat mendukung agenda pembangunan perumahan. Sementara itu, dari sudut pandang investor, insentif perpajakan yang melekat pada instrumen ini menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi kelompok dengan kewajiban pajak tinggi yang senantiasa mencari skema investasi efisien secara fiskal.

Efektivitas Tax Amnesty yang Dipertanyakan

Ketika tax amnesty pertama (2016-2017) diimplementasikan, hasilnya terlihat cukup mengesankan di permukaan. Pemerintah faktanya berhasil mengumpulkan penerimaan sebesar Rp130 triliun, dengan total deklarasi harta mencapai Rp4.813,4 triliun. Namun, dari jumlah tersebut, realisasi repatriasi hanya mencapai Rp146 triliun—jauh dari target Rp1.000 triliun. Situasi serupa nyatanya terjadi dalam tax amnesty jilid II (2022), berupa realisasi repatriasi kembali minim bahkan dianggap tak bertaji, meskipun penerimaan pajak dari program ini mencapai Rp61 triliun.

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa, meskipun banyak wajib pajak yang bersedia mendeklarasikan hartanya, faktanya mereka tidak benar-benar tertarik untuk membawa pulang “harta” ke dalam negeri. Tax amnesty relatif cenderung menjadi solusi jangka pendek bagi wajib pajak, bukan mekanisme yang mampu menciptakan dampak ekonomi yang berkelanjutan. Jika pemerintah tetap bersikukuh menerapkan tax amnesty jilid III tanpa strategi kebijakan yang lebih inovatif, hasilnya mungkin akan sama: pencapaian target fiskal sesaat, tetapi tanpa perubahan struktural yang berarti.

Backlog Perumahan sebagai Solusi Baru

Di sisi lain, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam sektor perumahan. Data Kementerian PUPR menunjukkan bahwa hingga tahun 2023, backlog kepemilikan rumah masih mencapai 9,9 juta unit, meskipun jumlah ini telah mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, fakta bahwa jutaan keluarga masih belum memiliki rumah layak huni menunjukkan adanya kesenjangan yang terus berlanjut dalam akses terhadap perumahan yang masih menjadi persoalan kesejahteraan sosial.

Pemerintah memang telah memiliki berbagai program bantuan, seperti skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang memberikan subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun, baik pemerintah maupun masyarakat dihadapjan pada tantangan yang sama: pendanaan yang terbatas. Dalam situasi ini, obligasi perumahan bisa menjadi solusi nyata untuk menjembatani kebutuhan masyarakat dengan potensi dana yang masih mengendap di luar negeri.

Mengarahkan Modal ke Sektor Produktif

Dibandingkan tax amnesty yang hanya bersifat insidental, obligasi perumahan menawarkan pendekatan kebijakan yang lebih terarah dan realistis. Dengan skema ini, dana yang selama ini “diam” di luar negeri dapat dialihkan ke sektor perumahan yang benar-benar membutuhkan pembiayaan. Pemerintah dapat memastikan bahwa dana yang masuk tidak hanya menguntungkan individu pemilik modal, tetapi juga berkontribusi langsung terhadap pembangunan rumah rakyat.

Selain itu, obligasi perumahan juga dapat menjadi alternatif investasi yang sangat menarik bagi pemilik modal. Dengan menawarkan imbal hasil (yield) yang kompetitif, pemerintah dapat mendorong investor untuk memilih instrumen ini dibandingkan menyimpan dana mereka dalam bentuk aset lain yang kurang produktif. Apalagi, dengan adanya insentif pajak, daya tarik obligasi ini semakin kuat dibandingkan sekadar menempatkan uang di luar negeri tanpa kepastian regulasi.

Akan tetapi, ada beberapa tantangan yang penting untuk diperhatikan agar program obligasi perumahan dapat berjalan efektif. Salah satunya adalah kepastian hukum. Saat ini, regulasi terkait pembiayaan perumahan masih berpusat pada subsidi dan kredit kepemilikan rumah (KPR), sehingga perlu ada payung hukum yang lebih kuat untuk mendukung skema obligasi ini. Pemerintah bisa mempertimbangkan revisi UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, atau menerbitkan aturan baru yang lebih spesifik melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Selain itu, transparansi dalam pengelolaan dana juga harus diperhatikan. Pelajaran dari pengalaman negara lain menunjukkan bahwa obligasi berbasis perumahan dapat menjadi instrumen yang sangat efektif jika dikelola dengan baik, tetapi bisa pula menjadi sumber risiko jika tidak diawasi secara ketat. Amerika Serikat, misalnya, telah menggunakan Mortgage-Backed Securities (MBS) untuk mendukung pasar perumahan, tetapi tanpa regulasi yang ketat, skema ini juga menjadi salah satu pemicu krisis finansial pada tahun 2008, yang saat itu berdampak secara global.

Perlunya Inovasi Kebijakan

Pada akhirnya, pemerintah harus berani mengambil langkah yang lebih inovatif dalam menarik kembali dana yang “mengendap” di luar negeri. Jika tax amnesty hanya memberikan solusi jangka pendek tanpa memastikan dana tersebut benar-benar masuk ke sektor produktif, maka kebermanfaatannya akan terus dipertanyakan. Obligasi perumahan dapat menawarkan pendekatan yang lebih konkret, dengan memastikan bahwa dana yang kembali ke Indonesia benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat secara luas.

Pertanyaannya kini, apakah pemerintah berani beralih dari kebijakan lama yang cenderung bersifat reaktif, dan mulai menerapkan strategi yang lebih berorientasi pada pembangunan jangka panjang? Obligasi perumahan bukan hanya sekadar insentif bagi investor, tetapi juga peluang besar untuk menyelesaikan salah satu tantangan sosial terbesar di Indonesia. Jika dikelola dengan baik, skema ini bisa menjadi game-changer dalam kebijakan ekonomi nasional—menghubungkan pemilik modal dengan kebutuhan riil rakyat, tanpa mengorbankan stabilitas fiskal negara yang erat kaitannya dengan arah kebijakan ekonomi politik.

Pemerintah memang perlu mendapat masukan rangka menciptakan kontrol terhadap kebijakan. Jika ada cara untuk menarik dana dari luar negeri sekaligus mengatasi backlog perumahan, mengapa harus terus mengulang kebijakan lama yang efektivitasnya terbukti terbatas?

Nisa'ul Haq
Exit mobile version