Kontan.co.id | 14 Juli 2024
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Otoritas Pajak perlu mengintensifkan upaya untuk menutup celah kebocoran pajak dari berbagai perusahaan di Indonesia.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, masih ada banyak perusahaan sawit yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Situasi ini mengakibatkan potensi penerimaan negara yang seharusnya dikumpulkan menjadi terhambat. Hal ini telah menyebabkan tekanan pada penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari perusahaan yang bergerak di sektor komoditas.
Wahyu Nuryanto, Direktur Eksekutif MUC Tax Research, menjelaskan bahwa pertumbuhan jumlah Wajib Pajak Badan dalam beberapa tahun terakhir masih rendah, hanya berkisar antara 6% hingga 8%. Ini menunjukkan bahwa masih banyak potensi pajak dari perusahaan yang belum tersentuh oleh sistem pajak saat ini.
“Informasi mengenai perusahaan sawit yang belum memiliki NPWP adalah bukti nyata bahwa sistem pajak kita belum merata di seluruh sektor ekonomi,” ujar Wahyu kepada Kontan.co.id, Minggu (14/7).
Selain bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait untuk pertukaran data, otoritas pajak perlu melakukan inspeksi lapangan secara aktif. Kantor Pajak di berbagai daerah harus memastikan bahwa setiap potensi ekonomi dapat terdeteksi oleh sistem pajak.
Selain perlu upaya yang komprehensif dengan memperbaiki sistem perpajakan, Wahyu bilang, struktur organisasi perpajakan juga diperlukan payung hukum yang bisa membatasi transaksi tunai.
“Pemerintah mungkin bisa mempertimbangkan membuat Undang-Undang (UU) pembatasan transaksi tunai. Dengan membatasi transaksi tunai, kegiatan ekonomi yang akan terpantau karena harus melalui sistem perbankan,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menjelaskan bahwa pemerintah perlu mengoptimalkan kepatuhan pajak dari para Wajib Pajak Badan (WP Badan). Dari hitungannya, masih ada potensi sekitar 20% lebih yang belum tergali dari WP Badan.
Kemudian, otoritas pajak perlu juga memperketat pengawasan terhadap tax evasion atau penghindaran pajak di perusahaan. Menurutnya, hak tersebut penting mengingat sistem pajak di Indonesia menganut sistem self assessment.
“Jadi DJP harus kreatif untuk profiling Wajib Pajak. Wajib Pajak yang terbukti melakukan penghindaran pajak harus diberikan efek jera,” kata Ariawan.
Internationak Montery Fund (IMF) memperkirakan Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak sekitar 3,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Mengingat PDB Indonesia pada kuartal I-2024 saja mencapai Rp5.288,3 triliun atas dasar harga berlaku, maka jika menggunakan estimasi IMF, Ariawan menghitung, Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak sekitar 3,7% dari PDB akibat penghindaran pajak dan praktik ilegal lainnya.
“Maka perkiraan jumlah potensi yang hilang adalah Rp 195,67 triliun untuk satu triwulan (kuartal). Ini tentu bisa ditingkatkan lagi pengawasannya,” jelas Ariawan.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar juga memberikan catatannya untuk meningkatkan pengawasan pajak korporasi.
Misalnya dari industri sawit, Fajry menyebut, otoritas pajak bisa menerbitkan NPWP secara jabatan. Namun hal tersebut tidak bisa dilakukan secara sembarangan lantaran perlu data yang mendukung.
“Sedangkan integrasi ini salah satunya ditujukan untuk memudahkan otoritas pajak menggunakan/mengolah data dari pihak ketiga. Mengingat sebagian besar data dari pihak ketiga menggunakan identitas NIK bukan NPWP,” kata Fajry.
Kemudian dari sisi kepemilikan lahan sawit, jika permohonan perizinan tersebut hanya menggunakan data KTP, maka otoritas pajak yang mendapatkan data dari kepemilikan sawit tersebut akan lebih mudah mengolahnya dengan adanya integrasi NIK menjadi NPWP.
Namun yang menjadi masalahnya, kata Fajru, perizinan hanya diwajibkan bagi perkebunan sawit dengan kondisi tertentu. Sebut saja bagi perkebunan sawit dengan luas 25 hektar atau lebih saja. Padahal, jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan luas perkebunan sawit, sekitar 45,1% perkebunan sawit di Indonesia dikuasai oleh perkebunan rakyat.
Oleh karena itu, kunci untuk melakukan ekstensifikasi adalah melalui penguatan basis data, salah satunya dengan mengintegrasikan NIK menjadi NPWP.
“Namun, kalau data dari pihak ketiga tidak mencakup sebagian besar pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, itu menjadi tantangan lain bagi otoritas pajak,” imbuh Fajry.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai, penerimaan PPh Badan yang cenderung menurun tidak dapat diatasi secara cepat dengan cara menaikkan jumlah Wajib Pajka atau tarif pajaknya.
Prianto menyebut, cara yang paling efisien dalam mengoptimalkan penerimaan PPh Badan adalah dengan intensifikasi objek pajak untuk tahun pajak 2019-2024.
Menurutnya, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) selama ini sudah melakukan cara tersebut dengan penerbitan surat cinta berupa Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan (SP2DK). Kemudian, langkah selanjutnya adalah pemeriksaan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak.
“Dua cara di atas harus melalui proses interaksi dengan Wajib Pajak. Selain itu, Wajib Pajak juga dapat memberikan penjelasan sesuai bukti transaksi yang mereka miliki. Kalau masih kurang yakin, Wajib Pajak juga dapat memanfaatkan jasa konsultan pajak,” kata Prianto.
Artikel ini telah tayang di laman Kontan.co.id dengan judul “Optimalkan Setoran Pajak Korporasi, Ini yang Harus Dilakukan” pada 14 Juli 2024, melalui tautan berikut: