Tax Policy Analyst di Pratama Kreston Tax Research Institute
Kualitas udara yang buruk telah lama menjadi isu serius beberapa kota metropolitan dunia, tidak terkecuali Jakarta. Berdasarkan data IQAir, Senin (28/8/2023), Jakarta dinobatkan sebagai kota dengan tingkat polutan terparah di dunia.
Konsentrasi polutan partikulat 2,5 (PM 2,5) di Jakarta mencapai 86 mikrogram per meter kubik dengan indeks kualitas udara (AQI) mencapai 167, termasuk kategori tidak sehat. Konsentrasi PM 2,5 Jakarta itu 17,4 kali lebih banyak daripada nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Jurnal The Lancet Planetary Health menyatakan bahwa polusi udara telah merenggut lebih dari 6,5 juta nyawa setiap tahun. Kendati banyak yang mengambinghitamkan penggunaan kendaraan bermotor, Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mencatat, setidaknya 118 fasilitas industri di Jakarta telah menyebabkan pencemaran udara.
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) juga punya kontribusi yang sama mengerikan terhadap pencemaran udara Jakarta. Greenpeace mencatat, Jakarta diimpit delapan PLTU batubara dalam radius 100 kilometer. Laporan WHO menyatakan, polusi udara akibat emisi karbon yang menyebar ke udara dari aktivitas pembakaran batubara oleh PLTU telah merenggut 7 juta nyawa, 600.000 di antaranya adalah anak-anak.
Meski demikian, Indonesia juga menjadi penyumbang ekspor batubara termal terbesar di dunia. Data dari Badan Energi Internasional (IEA) menunjukkan ekspor batubara Indonesia mencapai 473 juta ton, dengan produksi tahunan sebesar 622 juta ton pada 2022.
Pajak karbon mangkrak
Ketika ekonomi suatu negara bertumbuh, ada harga mahal yang harus ditebus, yaitu persoalan lingkungan yang semakin teruk. Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi, konversi energi menghadapi tantangan di Indonesia.
Suka ataupun tidak, sektor industri adalah motor pertumbuhan sekaligus penopang utama aktivitas perekonomian. Di sisi lain, kegiatan industri memunculkan persoalan lingkungan akibat emisi karbon dan efek rumah kaca.
Pemerintah bukan tanpa upaya merespons situasi ini. Di ranah eksekutif melalui peta jalan kebijakan, pemerintah telah merancang penerapan pajak karbon (cap and tax) untuk periode 2021-2025. Kebijakan ini akan diberlakukan secara terbatas pada PLTU batubara, dengan ketentuan tarif Rp 30.000 per ton CO2 atau Rp 30 per kilogram CO2.
Di ranah legislatif, pada 2021, DPR juga telah mengesahkan aturan main baru di bidang perpajakan, yaitu Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam UU HPP tersebut diperkenalkan pula jenis pajak baru, yaitu pajak karbon. Ini juga tertuang dalam pokok-pokok kebijakan fiskal sebagai green fiscal policy reform.
Faktanya, sampai hari ini kebijakan tersebut belum terlaksana. Pada Februari 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa penerapan kebijakan ini tidaklah mudah. Banyaknya penolakan dari para pelaku usaha disinyalir menjadi salah satu penyebab.
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menjadi pihak yang paling vokal mengkritisi kebijakan ini. Kadin beranggapan pajak karbon akan menambah beban biaya produksi dan membuat para pelaku industri semakin tertekan.
Tidakkah berlebihan kekhawatiran Kadin? Jika menengok apa yang dialami Australia, rasanya bukan mustahil kita akan bernasib sama seperti mereka jika kebijakan ini dipaksakan berjalan tanpa perencanaan matang. Australia hanya mampu menerapkan pajak karbon selama dua tahun (2012-2014).
Akibat penerapan pajak karbon sebesar 24 dollar AS per ton CO2 yang dibebankan kepada pelaku industri, Australia mengalami lonjakan harga di sektor energi. Pajak karbon akhirnya justru menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Situasi kontras dialami oleh Swedia yang telah akrab dengan pajak karbon sejak 1991. Pada 2021, Swedia menjadi negara dengan tarif pajak karbon tertinggi di dunia, yakni 130 dollar AS per ton CO2.
Kesuksesan utama Swedia, selain tarif pajaknya masuk ke kas negara, penerimaan besar dari pajak karbon juga digunakan untuk meringankan beban pajak lainnya. Sebagai contoh, penerimaan itu bisa menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan 27 persen dan PPh orang pribadi 30 persen, serta dialokasikan untuk biaya konservasi lingkungan.
Kendati pajak karbon di Indonesia baru akan dibebankan kepada perusahaan produsen listrik atau independent power producer (IPP), hal itu tetap berdampak terhadap masyarakat.
Beban produksi yang naik akibat tambahan biaya dari pajak karbon pasti dibebankan kepada pihak pembeli listrik, yaitu PLN. Efek dominonya, PLN dipaksa menahan tambahan beban biaya yang besar. Hanya terdapat dua skenario, yakni meminta bantuan pemerintah lewat subsidi atau membebankannya kepada masyarakat dengan menaikkan tarif dasar listrik (TDL).
Simalakama kebijakan
Menilik kompleksitas pajak karbon, apakah pajak lingkungan akan bernasib sama? Salah satu tantangan utama Indonesia dalam menerapkan pajak lingkungan adalah menjamin keseimbangan antara keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.
Bak simalakama, negara tengah mengandalkan pemulihan ekonomi pascapandemi pada sektor industri. Jika pajak lingkungan diterapkan, sektor industri akan jadi pihak yang pertama terdampak akibat biaya tambahan yang dihasilkan.
Pada gilirannya, 18,64 juta jiwa yang menggantungkan hidup di sektor industri terancam kesejahteraannya. Penyempitan lapangan pekerjaan juga jadi keniscayaan.
Pilihannya hanya dua. Pertama, menuntut perubahan kebijakan serta mendesak kebijakan ini tidak diberlakukan. Kedua, mereka akan membebankan biaya tambahannya kepada masyarakat. Artinya, bukan tidak mungkin biaya barang-barang kebutuhan ikut naik. Otomatis banyak kelompok masyarakat yang dirugikan, terutama kelas akar rumput.
Di sisi lain, ancaman lingkungan bukanlah isapan jempol belaka. Dunia telah memasuki era pendidihan global (global boiling) akibat melonjaknya suhu permukaan Bumi hingga 20,94 derajat celsius. Pembakaran bahan bakar fosil jadi penyebab terbesar naiknya level pemanasan global ke level mendidih. Global Carbon Project mencatat, sepanjang 2022 emisi karbon dari bahan bakar fosil mencapai 36,6 gigaton.
Tantangan terbesar bagi negara yang sedang mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada sektor industri seperti Indonesia adalah kesiapan untuk mengurangi kebergantungan penggunaan sumber daya terbatas yang bersifat ekstraktif. Hal ini notabene dapat merusak lingkungan dan mengancam keberlanjutan ekonomi dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, inovasi teknologi hijau, seperti masifikasi penggunaan mesin industri yang ramah lingkungan, serta perancangan pemusatan kawasan industri di daerah/kawasan yang jauh dari permukiman padat, dapat menjadi alternatif solusi untuk meminimalkan dampak aktivitas perindustrian.
Investasi untuk infrastruktur berkelanjutan, seperti perluasan sistem transportasi publik yang efisien dan ramah lingkungan, juga bisa jadi alternatif kebijakan. Hal itu lebih baik ketimbang ”memaksa” masyarakat melakukan uji emisi berbayar dengan ancaman denda atau memberi insentif bagi kendaraan listrik pribadi. ”Pemaksaan” itu justru akan semakin memasifkan penggunaan listrik dari PLTU.
Pemerintah juga perlu menerapkan regulasi terkait standar emisi yang ketat dengan didasarkan pada spirit ekonomi berkelanjutan, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan sosial melalui pembentukan undang-undang lingkungan.
Ketimbang menambah jenis pajak baru, penerapan pajak karbon yang transparan dirasa lebih masuk akal. Dari Australia dan Swedia, pemerintah dapat memetik pelajaran bahwa persoalan ekonomi tak dapat dielakkan dari aspek perumusan kebijakan perpajakan.
Menambah jenis pajak baru yang justru lebih memberatkan masyarakat bukanlah solusi. Pemerintah justru wajib mengeluarkan insentif fiskal. Insentif ini antara lain dalam bentuk pengurangan besaran persentase setoran PPh badan bagi industri yang berhasil mengurangi emisi karbon di bawah ambang batas yang ditetapkan. Hal ini akan membangun kesukarelaan pelaku industri untuk membayar pajak.
Kompleksitas persoalan pasti akan dihadapi Indonesia. Akan tetapi, kita tidak boleh menutup mata dalam menghadapi persoalan lingkungan. Sudah semestinya agenda besar ini memerlukan dukungan solid dan kesinergian dari semua pihak. Jika pemerintah mengupayakan perbaikan melalui regulasi dan mitigasi, maka kita ikut berpartisipasi di ranah aksi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Pajak Lingkungan: Bukan Saat Tepat untuk Implementasi Cepat” pada 14 September 2023, dengan tautan berikut:
https://www.kompas.id/baca/opini/2023/09/13/pajak-lingkungan-bukan-saat-tepat-untuk-implementasi-cepat