Populasi kalangan crazy rich di Indonesia setiap tahun terus bertambah. Baru-baru ini dalam rilis laporan berjudul “The Wealth Report Segment Wealth Sizing Model,” terbitan Knight Frank Global menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan tiga teratas di kawasan Asia untuk urusan peningkatan jumlah ultra high net worth individual (UHNWI) tercepat. Menurut Knight Frank Global UNHWI atau crazy rich adalah orang pribadi yang memiliki kekayaan minimal mencapai US$ 30 juta atau Rp 447,1 miliar.
Dalam laporan itu, bersama Malaysia dan Singapura, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan UHNWI tercepat di Asia yaitu 7%-9%. Knight Frank Global juga memprediksi jumlah crazy rich di Indonesia akan tembus menjadi 651 orang atau tumbuh 17,1% di 2027.
Sepanjang 2022, kelompok wajib pajak orang pribadi (WPOP) yang masuk kategori kelompok crazy rich di Indonesia terus bertambah hingga mencapai 556 orang yang angkanya meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 510 orang.
Bagaimana kontribusi WPOP crazy rich untuk penerimaan pajak? Walaupun perekonomian Indonesia terus bertumbuh, namun tidak demikian dengan pertumbuhan penerimaan pajak terutama untuk setoran pajak crazy rich. Direktur Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, jumlah UHNWI di Indonesia masih sangat kecil, belum sebanding dengan jumlah wajib pajak orang pribadi.
Hal itu masuk akal, berdasarkan Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2022 dari total WP yang terdaftar yaitu sebanyak 66,35 juta, jumlah UNHWI hanya sebanyak 556 orang, sisanya ialah WPOP biasa sebanyak 61,53 juta atau 92,74%, artinya jumlah UNWHI hanya setara dengan 0,0009% dari keseluruhan WP di Indonesia.
Tak hanya itu, kinerja penerimaan pajak dari UHNWI sampai akhir Mei 2023 yang datanya dihitung dan dihimpun dari penerimaan pajak penghasilan (PPh 21) dan PPh OP menyatakan bahwa kontribusi dari kelompok UHNWI terhadap penerimaan pajak hanya sebesar 0,00011% dari total target penerimaan pajak.
Meski jumlah crazy rich diprediksikan akan terus naik pada 2027, namun demikian berdasarkan hitung-hitungan sederhana jumlah kontribusi penerimaan pajak dari kelompok UHNWI diprediksi hanya sebesar 0,00013% di 2027 mendatang. Oleh karena itu, sah-sah saja menganggap kontribusi pajak crazy rich masih sangat kecil terhadap penerimaan pajak.
Pajak Harus Proporsional
Jika kriteria Knight Frank Global menyatakan bahwa crazy rich ialah segolongan orang yang memiliki kekayaan sekitar Rp 447 miliar, maka jumlah crazy rich di Indonesia tergolong sangat sedikit. Langkah awal yang dapat dilakukan pemerintah ialah dengan menambah tarif PPh baru. Sampai saat ini tarif tertinggi untuk PPh yang dikenakan oleh pemerintah pada WPOP masih di angka 35% untuk golongan WPOP berpenghasilan Rp 5 miliar.
Untuk itu kriteria paling rasional agar UHNWI bisa dipajaki dengan mudah dan kontribusinya terhadap penerimaan pajak berdampak signifikan ialah dengan mengenakan tarif pajak lebih tinggi pada kalangan crazy rich yang memperoleh penghasilan kena pajak >Rp 5 miliar.
Data yang disunting dari wisevoter.com berjudul “Highest Taxed Countries,” menempatkan Indonesia pada urutan 150 dari 172 negara dengan tax burden hanya 9,47% dibandingkan dengan Denmark yang mencapai 46% dengan PPh tertingginya mencapai 56% yang diberlakukan pada WPOP superkaya. Tax burden adalah jumlah semua beban pajak atau dampak pajak terhadap total penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak. Tax burden merupakan sebuah konsep umum untuk menggambarkan adanya akumulasi beban akibat pajak yang dianggap dapat mengurangi kuantitas kekayaan wajib pajak.
Salah satu cara yang umum untuk mengukur tax burden adalah dengan menggunakan persentase pajak terhadap pendapatan. Misalnya, jika seseorang memiliki pendapatan tahunan sebesar Rp 50 juta dan harus membayar pajak sebesar Rp 5 juta, maka beban pajak mereka adalah 10% dari pendapatan mereka.
Tax burden yang tinggi inheren dengan kesejahteraan. Legatum Institute mencatat bahwa 7 negara dengan indeks kemakmuran tertinggi di dunia dihuni oleh negara dengan penerapan tax burden tertinggi di dunia, 3 teratasnya ialah Denmark, Swedia, dan Norwegia. Catatan tambahan mereka bukanlah negara-negara yang memilki GDP dengan nilai tambah sumber daya alam yang melimpah seperti negara-negara di Timur Tengah apalagi Indonesia.
Bagaimana jika tarif PPh yang lebih tinggi diterapkan di Indonesia? Tentu masih belum lekang di ingatan kita berapa banyak orang superkaya yang terseret dalam kasus Panama Papers hingga Pandora Papers? Tak hanya menyeret deretan orang kaya kasus ini juga menyeret para pejabat publik kita yang kekayaannya sudah bisa dikategorikan sebagai UHNWI. Sebagai catatan kasus ini terjadi di 2016 jauh sebelum UU HPP disahkan, saat itu tarif tertinggi PPh masih 30%.
Menyadarkan Crazy Rich
Dari kasus Panama dan Pandora Papers, dapat disimpulkan jika masih banyak UHNWI bahkan pejabat negara yang ogah membayar pajak. Wajarlah jika ketimpangan begitu terasa di Indonesia. Disparitas distribusi pendapatan yang tinggi kian hari kian terlihat nyata. Laporan dari Deutsche Welle menempatkan Indonesia di urutan ke 4 sebagai negara dengan indeks ketimpangan tertinggi di dunia. Menurut mereka setengah aset di Indonesia dikuasai hanya oleh 1% orang terkaya, dengan kesenjangan mencapai 49%.
Padahal pajak ini menjadi instrumen penting untuk mencapai keadilan sosial. Maka dari itu diperlukan inisiatif semacam penerapan pajak yang lebih tinggi kepada kalangan UHNWI. Pajak yang dipungut wajib dialokasikan untuk keperluan pembiayaan program-program sosial, layanan kesehatan, pemerataan pendidikan, perlindungan sosial, atau untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang inheren dengan tujuan menciptakan pemerataan serta stabilitas ekonomi jangka panjang. Semuanya perlu dilakukan untuk memastikan setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses kehidupan yang layak tanpa pengecualian. Ketika para UHNWI dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi, kekayaan mereka dapat dialihkan dan didistribusikan Kembali pada golongan masyarakat pra-sejahtera.
Namun demikian kebijakan ini bukan tanpa celah. Pajak yang tinggi terutama jika diterapkan pada golongan UHNWI dapat menghambat laju investasi dan perekonomian. Sudah jadi rahasia umum jika banyak perusahaan besar dimiliki oleh para crazy rich, mayoritas saham di sektor publik juga dimiliki oleh crazy rich.
Namun bukankah meniadakan kesenjangan dan mewujudkan ekonomi berkeadilan merupakan tanggung jawab kolaboratif antara pemerintah dan individu? Di negara-negara dengan tingkat kemakmuran yang tinggi setiap warga negara yang memiliki kekayaan di atas rata-rata pastilah dipajaki secara proporsional tanpa terkecuali. Oleh karenanya distribusi kekayaan di negara-negara dengan tingkat kemakmuran yang tinggi cenderung merata sehingga disparitas antar-individu cenderung jarang terjadi.
Dalam sistem pajak yang adil, tarif pajak biasanya meningkat seiring dengan tingkat pendapatan atau kekayaan individu. Jika tarif pajak untuk orang kaya masih ringan bahkan jika mereka memiliki akses yang lebih besar ke skema penghindaran pajak yang legal, ini bisa memperparah ketimpangan sosial.
Ketika crazy rich dikenakan pajak yang lebih rendah dari yang seharusnya, mereka memiliki lebih banyak sumber daya untuk mempertahankan dan meningkatkan kekayaan mereka, sementara golongan miskin dan menengah harus menanggung akibat dari pajak yang tinggi serta mereka pastilah golongan yang tidak memilki sumber daya untuk melakukan penghindaran pajak secara legal.
Penting bagi pemerintah untuk menciptakan instrumen kebijakan yang berorientasi pada keadilan dan keseimbangan. Mengimplementasikan kebijakan pajak yang bijaksana dan proporsional akan membantu meminimalkan ketimpangan sosial. Dengan komitmen membayar pajak secara proporsional, semua orang pasti bisa mendapatkan akses kehidupan yang layak tanpa pengecualian apalagi memandang status sosial. Wahai para crazy rich, bantulah utopia mereka menjadi nyata!