Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengambil langkah strategis untuk mendukung penerapan prinsip profit, people, planet (3P) melalui penerbitan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap 1. Roadmap ini menjadi pedoman penting dalam mendorong pelaku usaha untuk beralih dari pola pikir yang berfokus pada keuntungan jangka pendek menuju pencapaian kemakmuran berkelanjutan dalam jangka panjang. Prinsip 3P menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, tanggung jawab sosial, dan perlindungan lingkungan, sehingga diharapkan dapat menciptakan ekosistem usaha yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Dalam upaya menjawab tantangan global terkait keberlanjutan, OJK memulai inisiatif ini dengan mendorong penerapan Keuangan Berkelanjutan di sektor jasa keuangan. Hal ini sejalan dengan regulasi yang telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik (POJK No.51 Tahun 2017). Melalui roadmap tersebut, OJK berupaya mengubah pola pikir para pelaku bisnis agar tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga memperhatikan dampak sosial dan lingkungan dalam setiap langkah bisnis mereka.
Dalam era yang semakin menuntut transparansi dan tanggung jawab lingkungan, keberadaan laporan keberlanjutan telah menjadi salah satu instrumen penting bagi perusahaan di berbagai negara. Di beberapa wilayah seperti Uni Eropa dan Prancis, penerapan mekanisme sanksi dan insentif telah mendorong kepatuhan perusahaan dalam menyusun laporan keberlanjutan mereka.
Sementara di Indonesia, laporan keberlanjutan terkesan masih bersifat himbauan dengan pemberian insentif yang tidak signifikan dan pemberian sanksi yang tidak tegas. Pemberian insentif bagi entitas yang memenuhi komitmen pelaporan laporan keberlanjutan tertuang dalam Pasal 9 POJK No. 51 Tahun 2017.
Insentif dan Sanksi
Ketentuan POJK No. 51 Tahun 2017 mengatur mengenai insentif bagi diterima Lembaga Jasa Keuangan (LJK), Emiten, dan Perusahaan Publik yang berhasil menerapkan prinsip-prinsip Keuangan Berkelanjutan secara efektif berpotensi menerima berbagai bentuk insentif dari OJK.
Penerapan keuangan berkelanjutan ini tidak hanya memperlihatkan komitmen entitas tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, tetapi juga menunjukkan tanggung jawab mereka dalam menjaga keseimbangan antara aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Insentif dari OJK diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan untuk terlibat dalam inisiatif ini, serta memperkuat upaya bersama menuju pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Salah satu bentuk insentif yang ditawarkan oleh OJK adalah kesempatan bagi LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik untuk ikut serta dalam program pengembangan kompetensi sumber daya manusia. Program ini dirancang untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan staf dalam menerapkan keuangan berkelanjutan dengan lebih efektif, sehingga perusahaan dapat terus berkembang sambil mematuhi standar keberlanjutan. Dengan akses ke pelatihan dan pengembangan ini, perusahaan diharapkan dapat mengoptimalkan operasional mereka dan memberikan dampak positif yang lebih besar terhadap lingkungan dan masyarakat.
Selain itu, OJK juga menawarkan penghargaan dalam bentuk Sustainable Finance Award, yang merupakan pengakuan resmi atas kontribusi signifikan perusahaan terhadap keuangan berkelanjutan. Penghargaan ini tidak hanya meningkatkan reputasi perusahaan, tetapi juga dapat menjadi motivasi bagi entitas lain untuk mengikuti jejak yang sama.
Di samping itu, OJK juga mempertimbangkan pemberian insentif lain yang sesuai dengan kebutuhan dan kontribusi masing-masing entitas, yang semuanya bertujuan untuk memperkuat komitmen perusahaan dalam mengadopsi dan mengimplementasikan keuangan berkelanjutan di Indonesia.
Sama halnya dengan insentif yang diterima entitas tidak begitu signfikan pada operasional perusahaan, ketentuan POJK No.51 Tahun 2017 memberi kesan bahwa OJK hanya menghimbau bagi seluruh entitas untuk berkomitmen dalam penyusunan laporan keuangan dan sebatas menunaikan kewajiban pelaporan. Hal ini terlihat pada ketidaktegasan sanksi yang diberikan OJK bagi entitas yang tidak menyusun dan melaporkan laporan keberlanjutan.
Sesuai Pasal 13 POJK No. 51 Tahun 2017, LJK yang secara ketentuan memenuhi kriteria sebagai entitas sesuai dengan Pasal 3 POJK No. 1 Tahun 2017 wajib menyusun laporan keberlanjutan, namun tidak memenuhi komitmen tersebut hanya diberikan sanksi administratif berupa teguran atau peringatan tertulis.
Sehubungan dengan belum adanya sanksi yang tegas dapat menciptakan peluang bagi oknum tertentu untuk tidak mempertimbangkan membuat laporan keberlanjutan. ketiadaan sanksi yang tegas menjadi salah satu faktor penentu bagi entitas untuk mempertimbangkan membuat laporan keberlanjutan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyusunan Laporan Keberlanjutan
Beberapa faktor utama mempengaruhi keputusan entitas untuk tidak membuat laporan keberlanjutan.
Pertama, ketiadaan regulasi yang mengikat menjadi penghalang utama lainnya. Di negara-negara seperti Indonesia, pembuatan laporan keberlanjutan masih bersifat sukarela tanpa sanksi atau insentif yang jelas. Dalam kondisi ini, banyak entitas yang merasa tidak ada keharusan untuk membuat laporan tersebut.
Tanpa adanya tekanan regulasi atau insentif dari pemerintah maupun pihak berwenang, perusahaan cenderung tidak melihat alasan mendesak untuk mengalokasikan sumber daya mereka bagi laporan keberlanjutan, terutama ketika mereka tidak melihat dampak langsung pada operasional mereka.
Kedua, pembuatan laporan keberlanjutan memerlukan biaya yang tidak sedikit serta menguras waktu. Penyusunan laporan ini membutuhkan alokasi signifikan dalam bentuk sumber daya manusia, waktu, dan finansial.
Proses penyusunan laporan yang komprehensif tidak hanya memerlukan pengumpulan data yang relevan dari berbagai aktivitas perusahaan, tetapi juga memerlukan pengawasan yang cermat serta pelaksanaan audit internal untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan akurat dan sesuai dengan standar keberlanjutan. Hal ini menjadi tantangan besar, terutama bagi perusahaan yang memiliki kapasitas terbatas, baik dari segi sumber daya maupun pengalaman dalam menyusun laporan semacam ini.
Keterbatasan ini lebih dirasakan oleh entitas skala kecil dan menengah yang sering kali menghadapi kesulitan dalam mendanai proses pelaporan keberlanjutan. Untuk entitas-entitas ini, biaya yang harus dikeluarkan, baik dalam bentuk upah tambahan untuk tenaga ahli maupun untuk penyediaan teknologi dan alat-alat pendukung, dianggap terlalu tinggi.
Selain itu, manfaat jangka pendek dari laporan keberlanjutan sering kali tidak terlihat secara langsung, sehingga entitas merasa enggan untuk melaksanakan pelaporan tersebut. Perusahaan mungkin lebih fokus pada kegiatan operasional yang mendatangkan keuntungan langsung, daripada mengalokasikan dana untuk sesuatu yang mereka anggap sebagai beban tambahan tanpa memberikan hasil yang segera terlihat.
Ketiga, faktor terakhir yang mungkin menjadi pertimbangan dalam urgensi pembuatan laporan keberlanjutan adalah kurangnya pemahaman dan kesadaran. Banyak perusahaan, terutama di sektor-sektor yang belum sepenuhnya terpapar isu keberlanjutan, masih belum memahami manfaat jangka panjang dari pembuatan laporan ini. Mereka cenderung memandang laporan keberlanjutan sebagai tambahan beban administrasi, bukan sebagai investasi strategis yang dapat meningkatkan reputasi, daya saing, dan hubungan dengan pemangku kepentingan. Tanpa kesadaran yang cukup mengenai dampak positif dari transparansi dan tanggung jawab lingkungan, sosial, serta tata kelola (ESG), banyak entitas memilih untuk mengabaikan penyusunan laporan tersebut.
Menunggu Itikad Baik OJK
Pada akhirnya, OJK sebagai otoritas yang bertanggung jawab dalam mengatur laporan keberlanjutan perlu mempertimbangkan penerapan praktik-praktik terbaik dari negara lain terkait mekanisme sanksi dan insentif. Dengan mengadopsi mekanisme tersebut, OJK dapat mendorong peningkatan kepatuhan dan komitmen perusahaan terhadap keberlanjutan. Dengan seiring berjalanya waktu, OJK dapat menerbitkan regulasi yang menambahkan insentif dan sanksi agar mendorong kepatuhan dan komitmen perusahaan.
Penerapan sanksi bagi entitas yang tidak memenuhi kewajiban keberlanjutan serta pemberian insentif bagi entitas yang berkomitmen pada keberlanjutan akan menciptakan ekosistem yang lebih mendukung bagi pelaporan keberlanjutan. Langkah ini tidak hanya akan memperkuat pelaksanaan prinsip profit, people, planet (3P), tetapi juga memastikan bahwa perusahaan berperan aktif dalam menjaga keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Namun, dalam penerapan insentif dan sanksi, penting bagi OJK untuk memastikan bahwa mekanisme ini tidak memberatkan entitas dalam menyusun laporan keberlanjutan. Insentif yang diberikan harus sepadan dengan modal dan upaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, sehingga entitas tidak merasa terbebani dalam melaksanakan kewajiban ini. Jika insentif dirasa tidak seimbang, hal ini bisa mengurangi motivasi perusahaan untuk berpartisipasi secara aktif dalam keberlanjutan.
Selain itu, ketegasan dalam penerapan sanksi juga harus diperhatikan agar tidak menimbulkan ketidakadilan sosial. Entitas yang telah patuh akan merasa dirugikan jika sanksi yang diberikan OJK terhadap entitas yang belum berkomitmen dalam penyusunan laporan keuangan tidak cukup tegas. Oleh karena itu, penegakan regulasi yang konsisten dan adil sangat penting untuk menjaga kepercayaan dan integritas sistem keuangan berkelanjutan di Indonesia