Shadow economy atau ekonomi bayangan adalah aktivitas ekonomi yang berlangsung di luar kendali pemerintah dan tidak tercatat secara resmi dalam sistem administrasi negara. Di Indonesia, ekonomi bayangan ini memiliki nilai yang signifikan dan berpotensi meningkatkan rasio pajak nasional jika berhasil diintegrasikan ke dalam sistem perpajakan formal. Dengan potensi besar yang ditawarkan, upaya untuk mendeteksi dan mengenakan pajak terhadap ekonomi bayangan menjadi semakin mendesak. Namun, untuk mencapai hal ini, diperlukan dukungan teknologi yang mampu melacak aktivitas ekonomi tersebut secara efektif.
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah strategis melalui penerapan Core Tax Administration System (CTAS). Sistem ini dipandang sebagai alat yang efektif dalam mendeteksi transaksi di sektor ekonomi bawah tanah atau underground economy (UGE). Menurut Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, kebijakan pemerintah untuk menerapkan CTAS adalah upaya yang tepat untuk mengarahkan seluruh transaksi menuju ekonomi resmi. Melalui penerapan CTAS, pemerintah diharapkan mampu memantau dan melacak aktivitas ekonomi bayangan secara lebih akurat.
Dengan kehadiran teknologi CTAS, diharapkan ekonomi bayangan dapat terintegrasi ke dalam sistem formal. Langkah ini memberikan peluang bagi Indonesia untuk memperbaiki rasio pajak dan meningkatkan penerimaan negara yang selama ini hilang akibat aktivitas ekonomi yang tidak tercatat
Potensi Nilai Shadow Economy
Shadow economy atau ekonomi bayangan di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, dan hal ini semakin diperjelas dengan hasil studi yang dilakukan oleh Nizar & Purnomo (2011). Menggunakan pendekatan moneter, yang berfokus pada permintaan uang kartal, studi tersebut menunjukkan bahwa nilai dari kegiatan underground economy mengalami pertumbuhan yang berfluktuasi. Dalam periode studi, nilai kegiatan ini berkisar antara Rp65,9 triliun hingga Rp272,5 triliun, dengan rata-rata mencapai Rp164,4 triliun per tahun atau sekitar 6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Besarnya permintaan uang kartal ini menjadi salah satu indikator tingginya aktivitas ekonomi yang berlangsung di luar jalur formal dan pengaruhnya terhadap sistem perpajakan nasional.
Tingginya nilai shadow economy juga berkaitan erat dengan beban tarif pajak. Studi Nizar & Purnomo mengungkapkan bahwa permintaan uang kartal dipengaruhi secara signifikan oleh beban tarif pajak. Hal ini tercermin dari nilai koefisien tarif pajak rata-rata sebesar 0,0894, yang terbukti signifikan secara statistik. Dengan asumsi tarif pajak rata-rata sekitar 12,0%, responsivitas shadow economy terhadap perubahan tarif pajak diperkirakan sebesar 1,07. Artinya, kegiatan underground economy di Indonesia bersifat elastis terhadap perubahan tarif pajak, di mana peningkatan tarif pajak akan mendorong peningkatan aktivitas ekonomi bayangan, seiring dengan upaya pelaku ekonomi untuk menghindari pajak.
Dampak dari tingginya nilai shadow economy ini sangat signifikan terhadap potensi penerimaan pajak negara. Selama periode studi, kegiatan ekonomi bayangan menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak sebesar Rp6,42 triliun hingga Rp36,39 triliun, atau rata-rata Rp20,55 triliun per tahun. Jumlah ini setara dengan 0,69% dari PDB. Hilangnya potensi pajak ini menunjukkan bahwa shadow economy bukan hanya mencerminkan aktivitas ekonomi yang tidak tercatat, tetapi juga merupakan sumber kerugian besar bagi negara dalam hal penerimaan pajak yang seharusnya dapat diperoleh. Tanpa penanganan yang tepat, shadow economy akan terus menjadi hambatan dalam mencapai target penerimaan pajak yang optimal, serta menimbulkan ketidakseimbangan dalam sistem perpajakan.
Besarnya potensi nilai dari shadow economy ini bukan hanya memberikan peluang bagi peningkatan penerimaan pajak, tetapi juga memiliki dampak langsung terhadap rasio pajak negara. Rasio pajak, yang menjadi indikator penting dalam menilai kapasitas keuangan pemerintah, dapat terdongkrak apabila ekonomi bayangan dapat dikenakan pajak dengan baik. Sayangnya, memasukkan sektor ini ke dalam sistem formal menghadapi berbagai kendala, terutama terkait pengawasan dan pendataan. Kendala ini semakin terasa karena sebagian besar aktivitas dalam shadow economy berjalan di luar pantauan sistem regulasi yang ada.
Tantangan Memajakinya
Salah satu tantangan utama dalam upaya memajaki shadow economy adalah biaya administrasi yang tinggi. Biaya yang dikeluarkan untuk mendeteksi, mencatat, dan mengawasi aktivitas ekonomi yang tidak tercatat sering kali lebih besar dibandingkan dengan potensi penerimaan pajak yang diharapkan. Hal ini membuat pemerintah harus cermat dalam mengukur efektivitas biaya dari upaya tersebut. Jika pengeluaran untuk menarik sektor ini ke dalam sistem pajak tidak sebanding dengan penerimaannya, upaya ini tentu saja memerlukan penyesuaian agar tetap efisien dan berkelanjutan.
Lebih jauh lagi, shadow economy bukan hanya muncul tanpa sebab. Berbagai faktor turut mendorong keberadaan sektor ini, mulai dari regulasi yang ketat, tingginya beban pajak, hingga kerumitan dalam sistem administrasi perpajakan. Hal-hal ini sering kali membuat pelaku usaha atau individu memilih untuk beroperasi di luar sistem formal. Selain itu, ketidakpercayaan terhadap pemerintah serta rendahnya insentif untuk menjadi bagian dari ekonomi formal juga menjadi alasan mengapa shadow economy tetap eksis dan berkembang. Jika faktor-faktor ini tidak ditangani dengan baik, ekonomi bayangan akan terus menjadi tantangan bagi sistem perpajakan.
Dalam menghadapi masalah ini, pihak ketiga seperti perusahaan audit independen atau lembaga survei dapat berperan besar. Mereka dapat membantu pemerintah mengidentifikasi aktivitas ekonomi yang tidak tercatat melalui penyediaan data yang lebih akurat dan analisis yang mendalam. Melalui pihak ketiga, pemerintah dapat lebih mudah menjangkau sektor-sektor yang sulit terpantau dan menciptakan jalur komunikasi yang memungkinkan pelaku shadow economy untuk bertransisi ke ekonomi formal. Dengan adanya peran pihak ketiga ini, proses integrasi shadow economy menjadi lebih terbantu dan dapat memberikan hasil yang lebih signifikan.
Penerapan teknologi dalam mendukung peran pihak ketiga juga semakin relevan, salah satunya melalui Centralized Third-Party Access System (CTAS). Sistem ini memungkinkan pemerintah untuk memberikan akses terstruktur kepada pihak ketiga dalam mengumpulkan dan memverifikasi data terkait aktivitas ekonomi yang mencurigakan. Melalui CTAS, pihak ketiga dapat berkolaborasi lebih efektif dengan pemerintah, memanfaatkan data yang diperoleh untuk meningkatkan ketepatan dalam deteksi shadow economy. Dengan begitu, pemerintah mendapatkan dukungan yang kuat dalam menghadapi tantangan shadow economy.
Dengan bantuan pihak ketiga melalui CTAS, potensi untuk memajaki shadow economy menjadi lebih nyata dan terukur. Pihak ketiga dapat menjangkau area atau entitas yang sebelumnya sulit dicakup oleh sistem perpajakan formal. Informasi yang dikumpulkan dari berbagai sektor ini akan menjadi landasan dalam merumuskan kebijakan perpajakan yang lebih tepat sasaran, yang tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga membantu mewujudkan sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan. Kolaborasi yang baik antara pemerintah dan pihak ketiga diharapkan mampu mengoptimalkan potensi shadow economy demi kepentingan bersama, sekaligus memperkuat ketahanan finansial negara.