Krisis perubahan iklim telah menjadi ancaman nyata, dengan peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer menjadi salah satu pemicunya. Hal ini merupakan sinyal perubahan iklim semakin kuat. Anomali suhu permukaan bumi dan peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer memengaruhi persepsi masyarakat global terkait eskalasi krisis iklim dalam 10 tahun ke depan. Menanggapi hal tersebut, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 31,89% dengan usaha sendiri, atau hingga 43,20% dengan bantuan internasional, menuju visi Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Indonesia telah menyiapkan rancangan implementasi kebijakan pajak karbon untuk menghadapi perubahan iklim.
Melalui Nationally Determined Contribution (NDC) Pertama, Indonesia berkomitmen penurunan emisi yang berada pada 29% atas usaha sendiri dan 41% BAU (dengan dukungan Kerjasama interasional). NDC merupakan komitmen yang lebih ambisius dalam mengatasi perubahan iklim.
Land use atau penggunaan lahan menjadi salah satu fokus penting, sehingga dengan basis pemikiran ini, dokumentasi NDC disusun dengan memetakan beberapa sektor utama yang akan diprioritaskan untuk dilibatkan dalam ekosistem nilai ekonomi karbon. Berdasarkan data, sektor kehutanan (forestry) dan energi memiliki kontribusi signifikan, yang diharapkan dapat meng-cover hingga 90% dari target NDC untuk mitigasi perubahan iklim. Oleh karena itu, bauran kebijakan—baik melalui perdagangan karbon, perdagangan emisi, maupun pungutan atas emisi atau karbon—nantinya akan diimplementasikan oleh sektor-sektor yang berperan besar dalam pencapaian target penurunan emisi, sebagaimana tercantum dalam dokumentasi NDC.
Bagaimana Indonesia Menyikapi Perubahan Iklim?
Kebutuhan finansial Indonesia untuk mencapai target NDC, diperkirakan mencapai 4.000 triliun rupiah. Indonesia sudah memetakan cara mencapainya dengan mengacu pada target NDC. Untuk menyikapi risiko perubahan iklim, pemerintah telah mengambil langkah-langkah yang cukup berani. Langkah-langkah tersebut pertama, Nilai Ekonomi Karbon, yang bertujuan untuk menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca nasional. Indonesia menetapkan peraturan mengenai carbon pricing melalui perdagangan (ETS dan Carbon Offset) dan Instrumen Non-Perdagangan (Result Based Payment, Pungutan atas Karbon). Kedua, sejak 26 September 2023, pemerintah meluncurkan bursa karbon (IDX Carbon). Ketiga, pemerintah telah mengimplementasikan skema perdagangan emisi (ETS) tahap I untuk subsektor pembangkit energi Listrik sejak 2023. Keempat, sebagai dukungan pembiayaan, Pemerintah telah menerapkan Climate Budget Tagging sejak tahun 2016, mendorong pembiayaan inovatif menuju NZE pada pembangunan infrastruktur melalui PPP, Green Sukuk (Obligasi), dan Blended Finance (misalnya SDG Indonesia One). Lebih dari itu, pemerintah juga memberikan dukungan fiskal melalui Penjaminan Pemerintah, Fasilitas Panas Bumi, dan Subsidiary Loan Agreement.
Capaian dan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon
Mengingat kebutuhan finansial yang dibutuhkan untuk mencapai target NDC nilainya yang cukup masif mengingat keterbatasan kebutuhan finansial yang bisa dipenuhi oleh sektor publik oleh APBN. Oleh karena itu, nantinya diharapkan ada kontribusi yang bisa diberikan oleh pelaku usaha sektor swasta melalui mekanisme atau instrumen perdagangan karbon maupun perdagangan emisi. Inilah yang kemudian menjadi perhatian bagi pemerintah.
Pemerintah memahami kondisi kebutuhan finansial yang tinggi serta adanya keterbatasan dari sisi anggaran publik untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah diamanahkan dalam rencana pembangunan jangka pendek. Dalam hal ini, misalnya, menjadi bagian dari rencana kerja pemerintah, tetapi pada akhirnya tidak dapat mengabaikan komitmen yang telah disampaikan di forum internasional untuk aksi mitigasi perubahan iklim.
Beberapa capaian penting oleh Indonesia untuk mitigasi perubahan iklim diantaranya adalah penciptaannya nilai ekonomi karbon yaitu sejak diundangkannya perpresmen 8 tahun 2021. Lalu, perkembangan transaksi perdagangan karbon di pasar derivatif melalui pembentukan Body Carbon, kemudian perdagangan emisi.
Pada tahap awal target emisi difokuskan untuk untuk sektor energi, khususnya subsektor ketenagaanlistrikan, dengan mekanisme skema perdagangan emisi atau EGS. Sejak tahun 2023 sudah berlangsung perdagangan emisi untuk sektor pembangkit listrik di Indonesia dan diharapkan sampai tahun 2030 nantinya secara bertahap ini akan terus berkembang dan diikuti oleh semakin banyaknya fasilitas PLTU yang ada di Indonesia.
Mekanisme Pajak Karbon
Dari sisi dukungan pembiayaan, terdapat banyak instrumen yang kini semakin inovatif. Kementerian Keuangan membuka ruang melalui pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai lembaga yang mengintermediasi kebutuhan mitigasi dampak perubahan iklim, untuk disalurkan ke berbagai proyek di sektor kehutanan (forestry) dan agrikultur. Instrumen ini merupakan bagian dari nilai ekonomi karbon yang sedang diterapkan di Indonesia.
Setidaknya, ada beberapa instrumen utama, seperti perdagangan izin emisi atau emission trading system. Selain itu, terdapat mekanisme offset emisi yang diperuntukkan bagi sektor-sektor yang secara alami sulit menghindari emisinya. Dalam hal ini, sektor tersebut dapat membeli offset dari pihak lain yang menghasilkan offset emisi, seperti pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) yang menghasilkan offset dibandingkan pembangkit listrik konvensional.
Di sisi lain, terdapat pula instrumen non-perdagangan, seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021, termasuk pungutan atas karbon, yang kemudian diadopsi lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 sebagai pajak karbon. Selain itu, terdapat mekanisme pembayaran berbasis kinerja (results-based payment atau RBP), yang lebih umum digunakan di sektor kehutanan. Di Indonesia, sudah banyak proyek yang memanfaatkan skema RBP ini sebagai bagian dari nilai ekonomi karbon.
Secara rinci, pajak karbon diatur berdasarkan Undang-Undang No. 7/2021, yang meliputi:
- Tarif Pajak: Minimal Rp30,00 per kilogram CO2e atau sesuai harga karbon di pasar karbon.
- Basis Pajak: Kandungan karbon dalam barang atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
- Tahapan Implementasi: Mulai dari pendekatan “cap and tax” hingga perluasan ke sektor lainnya sesuai peta jalan.
- Pemanfaatan Penerimaan: Digunakan untuk mendukung transisi hijau, termasuk pengembangan energi terbarukan.
Implementasi Pajak Karbon sebagai Strategi Pembangunan Nasional
Perdagangan emisi yang dikelola oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan dilaksanakan secara bertahap dalam tiga fase. Fase pertama berlangsung pada 2023-2024, dan fase berikutnya akan berlanjut hingga 2030. Strategi ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekonomi dan sosial dengan memastikan bahwa implementasi dilakukan secara terukur. Pada tahap awal, fokus diberikan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas di atas 100 MW, yang secara bertahap akan diperluas mencakup lebih banyak PLTU. Pendekatan ini juga mempertimbangkan sistem cap atau PTBAU (Performance Target Based Allocation Unit) yang pada fase pertama ditetapkan sebesar 100%.
Untuk mendukung strategi ini, diterapkan dua pendekatan utama dalam mekanisme pajak karbon: pendekatan berbasis bahan bakar (fuel approach) dan pendekatan berbasis emisi langsung (direct emission approach). Pendekatan fuel approach mengenakan pajak berdasarkan faktor emisi yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil, sedangkan direct emission approach menghitung emisi aktual yang dihasilkan oleh fasilitas tertentu. Pendekatan ini memberikan fleksibilitas bagi sektor terkait untuk beradaptasi, baik melalui inovasi teknologi maupun pengurangan emisi secara langsung, dengan tetap memperhatikan kebutuhan pembangunan nasional. Monitoring, review, dan verifikasi terus dilakukan untuk memastikan mekanisme perdagangan emisi berjalan optimal, dengan harapan nantinya dapat diintegrasikan ke dalam mekanisme lelang seperti di IUETS.
Selain itu, upaya ini diselaraskan dengan strategi pembangunan nasional yang berorientasi pada energi terbarukan. Dalam konteks ini, instrumen pembiayaan yang inovatif juga memainkan peran penting, seperti melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). BPDLH berfungsi sebagai perantara dalam mendukung proyek mitigasi iklim di sektor kehutanan (forestry) dan agrikultur. Integrasi kebijakan perubahan iklim dengan pembangunan nasional tidak hanya berkontribusi pada target net-zero emission Indonesia, tetapi juga mendorong pertumbuhan berkelanjutan dan memperkuat komitmen negara dalam forum internasional.
Tantangan Implementasi Pajak Karbon
Pajak karbon dirancang dengan prinsip polluter-pays, bertahap, dan adil. Kebijakan ini memiliki tujuan untuk:
- Mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).
- Mengubah perilaku ekonomi ke arah yang lebih ramah lingkungan.
- Mendorong inovasi teknologi dan investasi pada sektor rendah karbon.
- Mendukung keberlanjutan ekonomi sekaligus menciptakan sumber pendapatan baru bagi negara untuk mendanai mitigasi perubahan iklim.
Namun demikian, tantangan penerapan pajak karbon di Indonesia menjadi hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah memastikan tarif yang kompetitif, di mana tarif awal Rp30.000 per ton CO₂ ekuivalen dinilai terlalu rendah dibandingkan rata-rata global, sehingga dampaknya terhadap pengurangan emisi masih terbatas. Selain itu, kesadaran masyarakat dan industri tentang urgensi transisi energi bersih juga masih rendah, memperlambat pergeseran ke praktik ekonomi hijau. Tantangan lainnya adalah potensi dampak ekonomi pada sektor tertentu, terutama energi dan manufaktur, yang memerlukan penyesuaian agar tidak membebani secara berlebihan
Di sisi lain, pajak karbon membuka peluang besar, seperti mendorong investasi hijau, memperkuat pasar karbon domestik, dan memberikan sinyal pasar yang jelas untuk transisi ke energi bersih. Dengan implementasi yang efektif, pajak karbon dapat menjadi katalis utama untuk mencapai target Net Zero Emission pada 2060.