CnnIndonesia.id | 20 November 2024
Jakarta, CNN Indonesia — Pemerintah dan DPR RI berencana melaksanakan pengampunan bagi para pendosa pajak lagi.
Program tercium dari hasil Rapat Panja Program Legislasi Nasional RUU Prioritas 2025 yang dilaksanakan Badan Legislasi DPR RI dan dihadiri unsur pemerintah pada Senin (18/11) lalu.
Hasil rapat; pemerintah dan DPR sepakat memasukkan RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dalam daftar draf usulan Prolegnas RUU Prioritas 2025.
Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun mengakui rencana ini adalah inisiatif wakil rakyat.
“Sektor apa saja yang akan dicakup di dalam tax amnesty itu, tax amnesty itu meliputi perlindungan apa saja, sektor apa saja, ya nanti kita bicarakan sama pemerintah,” ucapnya di Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11).
“Pada saat yang sama kita juga harus memberikan peluang terhadap kesalahan-kesalahan yang masa lalu untuk diberikan sebuah program. Jangan sampai orang menghindar terus dari pajak, tapi tidak ada jalan keluar untuk mengampuni. Maka amnesty ini salah satu jalan keluar,” jelas Misbakhun.
Kalau rencana ini gol, ini akan menjadi program ketiga dari pemerintah dan DPR dalam waktu tidak lebih dari 9 tahun ini.
Sebelumnya, mereka pernah melaksanakan Tax amnesty jilid I pada 2016-2017 lalu. Pemerintah kala itu mengklaim cuma melakukan satu kali pengampunan demi menarik pengungkapan aset wajib pajak yang selama ini belum dilaporkan.
Program amnesti pajak pertama ini diikuti 956.793 wajib pajak dengan nilai harta yang diungkap mencapai Rp4.854,63 triliun. Pengungkapan harta ini membuat negara mengantongi uang tebusan Rp114,02 triliun atau setara 69 persen dari target Rp165 triliun.
Namun, pemerintah kembali mengulanginya dengan nama Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 1 Januari 2022-30 Juni 2022. Ada 247.918 wajib pajak mengikuti PPS dengan total harta yang diungkap sebesar Rp594,82 triliun, di mana keseluruhan pajak penghasilan (PPh) yang diraup negara mencapai Rp60,01 triliun.
Lantas, tepatkah kalau dosa pengemplang pajak diampuni lagi?
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (PK-TRI) Prianto Budi Saptono menyebut ada dua jawaban dari rencana kontroversial ini. Pertama, pemerintah memang perlu mewujudkan tax amnesty jilid III.
“Jika jawabannya ‘perlu’, sudut pandangnya berkaitan dengan dua upaya pemerintah. Untuk yang pertama berkaitan dengan upaya memerangi tax evader atau pengemplang pajak dan tax avoider alias pelaku penghindaran pajak,” jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (19/11).
“Untuk upaya kedua, pemerintah ingin menambah penerimaan pajak dan meningkatkan rasio pajak,” sambung Prianto.
Sedangkan jawaban yang kedua adalah tidak perlu ada pengampunan. Sudut pandang ini berkaitan dengan asas keadilan di masyarakat.
Ia menegaskan selama ini wajib pajak sudah patuh membayar pajak menggunakan tarif normal sesuai ketentuan. Akan tetapi, ada wajib pajak tidak patuh yang malah mendapatkan karpet merah dari pemerintah berbentuk pengampunan.
Mereka membayar pajak dengan tarif lebih rendah ketika ada kebijakan tax amnesty. Dengan kata lain, pemerintah mempraktikkan ketidakadilan pembayaran pajak bagi wajib pajak patuh dan wajib pajak tidak patuh,” tutur Prianto.
“Kondisi demikian dapat menjadi kontraproduktif bagi wajib pajak patuh. Mereka dapat berpikir ‘lebih baik tidak patuh saja karena kebijakan tax amnesty nantinya juga akan berulang’,” sambungnya.
Prianto menyebut program amnesti pajak bisa menjadi langkah tepat untuk mendorong penerimaan pajak secara cepat. Pasalnya, otoritas pajak tak perlu bersusah payah menegakkan hukum pajak, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana.
Tax amnesty membuat otoritas pajak tinggal menggelar karpet merah menyambut para pendosa. Pada akhirnya, pelaporan harta yang belum dikenai pajak menghadirkan tambahan setoran ke negara.
“Untuk rasa keadilan, penerapan tax amnesty jilid III kurang tepat karena dapat meningkatkan wajib pajak tidak patuh. Wajib pajak yang sudah patuh juga dapat menjadi tidak patuh karena perlakuan yang tidak adil dari pemerintah,” tegasnya.
“Penerapan tax amnesty dengan berbagai nama dan bentuk akan mengabaikan rasa keadilan. Bagi pemerintah, sebuah kebijakan harus dilandasi pertimbangan rasional,” wanti-wanti Prianto.
Sementara itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar heran dengan rencana tax amnesty jilid III. Ia menyebut langkah ini mendadak dan benar-benar tidak masuk akal.
Fajry menekankan masyarakat bakal kehilangan kepercayaan terhadap negara. Ia menyebut rakyat tidak mungkin percaya amnesti pajak kali ini benar-benar menjadi yang terakhir.
Pada akhirnya, masyarakat Indonesia berpikir masih akan ada pengampunan pajak lain di kemudian hari.
“Kalau wajib pajak berpikir akan ada tax amnesty yang selanjutnya, otomatis dia akan berpikir ‘Percuma patuh, buat apa? Toh pada akhirnya ada tax amnesty’, yang pada akhirnya mendorong orang untuk tidak patuh. Pastinya distrust ke pemerintah karena tidak konsisten dengan ucapannya,” kritik Fajry.
Ia juga mempertanyakan untuk siapa tax amnesty kali ini. Menurutnya, sebagian besar konglomerat sudah masuk ke tax amnesty pertama dan sisanya bergabung di PPS 2022.
Fajry menegaskan ini adalah langkah mundur dari pemerintah dan DPR RI jika memaksakan pengampunan pajak yang ketiga kalinya.
“Terlebih, di saat yang sama pemerintah berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada tahun depan (2025). Saya yakin, rakyat pasti akan murka. Benar-benar kebijakan tidak masuk akal!” ucapnya geram.
“Oleh karena itu, rencana tax amnesty jilid III wajib dibatalkan. Risiko politiknya besar, bisa berdampak negatif bagi kepatuhan. Bisa-bisa masyarakat turun ke jalan lagi,” wanti-wanti Fajry.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat memastikan adanya dampak jangka panjang jika program ini tetap dipaksakan. Ia menyebut amnesti pajak bisa merusak basis penerimaan negara dan menciptakan lubang fiskal yang lebih dalam.
Achmad menyarankan negara tidak perlu terus-menerus mengandalkan tax amnesty. Ia lalu menawarkan tiga opsi kepada pemerintah.
Pertama, memperkuat penegakan hukum pajak. Ia menegaskan negara bisa menggunakan mekanisme penegakan hukum yang lebih tegas untuk menindak pengemplang pajak.
Mengurai Penumpukan Wajib Pajak di Batas Akhir Tax Amnesty
Kedua, meningkatkan transparansi. Achmad menyebut pemerintah seharusnya berani mempublikasikan nama-nama wajib pajak besar yang tidak patuh agar menimbulkan efek jera.
Ketiga, mulai untuk fokus kepada pajak progresif. Penerapan pajak yang lebih tinggi untuk orang kaya akan mewujudkan rasa keadilan.
“Membiarkan pengemplang pajak terus menikmati amnesti menunjukkan bahwa pemerintah gagal menegakkan aturan perpajakan secara tegas. Kebijakan ini juga akan mengirim pesan yang salah bahwa pelanggaran pajak tidak berkonsekuensi serius karena selalu ada jalan untuk diampuni,” jelasnya.
“Jika dilaksanakan, hanya akan memperkuat pandangan bahwa pemerintah lebih berpihak pada mereka yang kaya dan tidak patuh pajak dibandingkan rakyat kecil yang taat. Kebijakan ini akan mencederai keadilan, merusak kepercayaan masyarakat, dan melemahkan sistem perpajakan nasional,” tutup Achmad.
Baca artikel CNN Indonesia “Adilkah Jika Pendosa Pajak Diampuni Lewat Tax Amnesty Lagi?” selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20241120061716-532-1168510/adilkah-jika-pendosa-pajak-diampuni-lewat-tax-amnesty-lagi.