Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) kini sudah menjadi isu yang menjadi perhatian bangsa dan dunia. Tentunya untuk mencapai tujuan Pembangunan berkelanjutan, baik individu maupun badan, perlu dengan cermat memperhatikan sejauh mana bisnisnya dapat berkelanjutan. Lalu, bagaimana sebuah perusahaan menyelaraskan pelaporan keberlanjutan mereka dengan SDGs, sebuah kerangka kerja komprehensif yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membimbing upaya keberlanjutan secara global. Fokus utama SDGs diawali dari bagaimana tujuan-tujuan ini telah berkembang dari pendahulunya. Pada tahun 2000, dalam KTT Milenium PBB, delapan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) ditetapkan dengan target mengurangi kemiskinan ekstrem pada tahun 2015. MDG ini yang kemudian menjadi fondasi bagi inisiatif pembangunan global.
Berdasarkan landasan ini, kemudian pada tahun 2015 komunitas global mengadopsi Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Agenda ini memperkenalkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang mencakup tantangan yang lebih luas, mulai dari isu lingkungan, sosial, hingga ekonomi. Selanjutnya delapan MDGs awal bertransformasi menjadi 17 SDGs yang lebih luas dan inklusif, sekaligus menandai sebuah evolusi dalam pendekatan pembangunan berkelanjutan.
Terdapat tiga perbedaan utama antara MDGs dan SDGs. Pertama, dari segi cakupan geografis: MDGs lebih ditujukan untuk negara berkembang, sementara SDGs bersifat universal dan berlaku bagi semua negara. Kedua, dari segi ruang lingkup dan fokus: MDGs menitikberatkan pada indikator pembangunan manusia seperti kemiskinan, kelaparan, kesehatan, pendidikan, dan kesetaraan gender. Sebaliknya, SDGs memiliki cakupan yang lebih luas, tidak hanya menyasar aspek manusia, tetapi juga planet, kemakmuran, perdamaian, dan kemitraan—menunjukkan keterkaitan antar tujuan sebagai syarat pencapaian yang efektif.
MDGs berhasil mencapai kemajuan signifikan di beberapa bidang, seperti pengurangan kemiskinan dan pengendalian penyakit, dan menjadi fondasi bagi SDGs. SDGs kemudian melanjutkan dan memperluas pencapaian MDGs itu sendiri. MDGs lebih terfokus pada aspek manusia dari keberlanjutan, menekankan pada hak dasar seperti pengendalian penyakit, hak atas kelahiran, dan pengentasan kemiskinan. Jika kita mengelompokkan tema-tema ini ke dalam lima pilar utama SDGs—planet, manusia, kemakmuran, perdamaian, dan kemitraan—MDGs lebih dominan dalam menangani kebutuhan dasar manusia di negara berkembang.
Kini, PBB terus bergerak maju dengan SDGs yang lebih komprehensif, mencakup isu-isu saling terkait dalam lima pilar tersebut. Meskipun SDGs tetap menekankan aspek manusia, seperti mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, tujuan-tujuan ini juga mencakup pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, serta kepedulian terhadap lingkungan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, seperti kota pintar, komunitas sehat, dan ekonomi sirkular.
Lalu, bagaimana semua ini berkaitan dengan tujuan sebuah perusahaan? Atau lebih sederhananya, bagaimana kerangka lima pilar PBB bisa digunakan untuk menyusun target keberlanjutan sebuah perusahaan? Kerangka ini biasanya dituangkan dalam aspek Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola atau ESG (Environmental, Social, and Governance). Secara intuitif, Planet berkaitan dengan aspek lingkungan, People atau manusia dengan aspek sosial, dan Prosperity atau kemakmuran—meskipun tampaknya tidak langsung—mewakili aspek tata kelola yang menekankan praktik manajemen yang bertanggung jawab dan etis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Terlihat sederhana, namun rupanya penerjemahan ini menjadi sangat penting agar setiap entitas memahami bagaimana upaya keberlanjutan mereka (entitas orang pribadi atau badan) menjadi selaras dengan target global. Ketika tujuan suatu entitas sejalan dengan tujuan yang lebih besar, akan muncul makna dan kepuasan yang lebih berarti dari setiap inisiatif yang dijalankan.
Saat ini, ketujuh belas SGDs menjadi kerangka kerja yang sangat bernilai bagi sebuah perusahaan dalam menetapkan sasaran keberlanjutan mereka. Sebagai contoh, perusahaan besar seperti Nike telah cukup lama menerapkan SDGs dalam laporan dampaknya. Jika ditelaah lebih lanjut dari 17 tujuan yang mereka sebutkan, apakah ada tujuan yang mereka tekankan lebih dari yang lain, dan apakah fokus mereka telah berubah dari waktu ke waktu? Kita juga dapat membandingkan fokus SDGs Nike dengan perusahaan lain seperti McDonald’s dan Microsoft.
Pada faktanya, Nike tidak menekankan semua SDGs secara merata, melainkan fokus pada isu lingkungan dalam rantai pasok mereka, khususnya energi bersih, aksi iklim, dan konsumsi berkelanjutan. Selain itu, Nike juga sangat menekankan pada isu sosial, termasuk kesehatan yang baik dan kesetaraan gender. Fokus Nike telah berkembang, dari awalnya yang berorientasi pada isu lingkungan seperti emisi dan limbah, kini semakin menekankan dampak positif pada manusia, seperti gaya hidup aktif bagi anak-anak, kepemimpinan perempuan, dan pemberdayaan kelompok minoritas.
Nike memberikan perhatian besar pada tujuan yang berkaitan dengan kesetaraan gender. Fokus ini tentunya sangat sejalan dengan citra merek mereka, seperti pada slogan “break down the barriers” dan “move together.” Kampanye pemasaran mereka juga sering menampilkan atlet perempuan, menegaskan komitmen terhadap isu-isu tersebut. Dengan demikian, strategi keberlanjutan Nike tidak hanya mencerminkan nilai-nilai merek, tetapi juga memperkuat kesadaran merek dengan menyuarakan nilai-nilai sosial yang lebih luas.
Ketika kita membandingkan fokus keberlanjutan Nike, Microsoft, dan McDonald’s, terlihat perbedaan prioritas yang jelas. Nike berfokus pada aspek people, seperti kesetaraan gender dan kesehatan komunitas. Sementara itu, Microsoft lebih menekankan pada planet, dengan inisiatif pelestarian keanekaragaman hayati, energi bersih, dan air bersih. Analisis ini memberikan pemahaman tentang nilai dan prioritas inti masing-masing perusahaan. Investor dapat menggunakan pendekatan seperti ini untuk menyelaraskan kepentingan mereka dengan perusahaan yang upaya keberlanjutannya sesuai dengan nilai mereka.
Jika analisis ini diperluas ke berbagai industri, akan terlihat bahwa prioritas SDGs berbeda-beda tergantung pada konteks operasional dan strategi masing-masing perusahaan. Misalnya, tujuan nomor 12, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, sangat relevan untuk perusahaan dengan rantai pasok yang kompleks. Sedangkan fokus pada kesetaraan gender, tujuan nomor 5, bisa sangat bervariasi tergantung pada sektor industri, norma regional, dan kebijakan perusahaan itu sendiri.
Bagi beberapa perusahaan, mengaitkan SDGs dengan model bisnis inti mereka menjadi hal utama yang perlu dilakukan. Misalnya, perusahaan di bidang kesehatan bisa fokus pada SDG nomor 3: kesehatan dan kesejahteraan. Sementara perusahaan energi terbarukan mungkin lebih fokus pada SDG nomor 7: energi bersih dan terjangkau, atau SDG nomor 13: aksi terhadap perubahan iklim. Namun, bagi banyak perusahaan di sektor jasa keuangan atau perangkat lunak, kaitan dengan SDGs mungkin tidak langsung terlihat.
Baca juga: Bersiap untuk Penerapan Standar Pengungkapan Keberlanjutan
Isu SDG di Indonesia
Pemerintah Indonesia telah mendorong penerapan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) di sektor swasta melalui regulasi dan kebijakan yang konkret. Melalui Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017, pemerintah menekankan pentingnya kolaborasi multipihak, termasuk pelaku usaha, dalam pencapaian SDGs. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan POJK No. 51/2017, yang mewajibkan perusahaan publik dan lembaga jasa keuangan untuk menyampaikan laporan keberlanjutan setiap tahun, mendorong perusahaan menyelaraskan aktivitas bisnis dengan prinsip SDG, terutama dalam aspek ESG.
Sebagai hasil dari kebijakan ini, banyak perusahaan besar di Indonesia telah menerapkan praktik bisnis berkelanjutan. Misalnya, Unilever Indonesia dan Danone Indonesia aktif menjalankan program pengelolaan limbah dan pemberdayaan masyarakat, sementara itu Bank BRI dan Bank Mandiri mengembangkan inklusi keuangan untuk segmen UMKM. Di sektor energi, Pertamina dan PLN mulai mengembangkan bauran energi terbarukan dan efisiensi energi. Perusahaan seperti Unilever Indonesia, Danone, Bank BRI, dan Telkom Indonesia telah menyusun laporan keberlanjutan/sustainability report yang merujuk langsung pada indikator SDGs, seperti pengelolaan limbah, pemberdayaan UMKM, peningkatan kesetaraan gender, efisiensi energi, hingga inklusi keuangan. Upaya ini tidak hanya didorong oleh tanggung jawab sosial, tetapi juga sebagai strategi mitigasi risiko jangka panjang dan untuk membangun reputasi merek yang kuat di mata konsumen dan investor.
Namun demikian, implementasi SDGs di sektor swasta Indonesia masih menghadapi tantangan yang perlu terus diperhatikan. Banyak pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang belum memahami SDGs secara menyeluruh, terutama karena keterbatasan akses informasi, pendanaan, dan kapasitas manajerial. Padahal, momentum ini dapat menjadi kesempatan besar bagi perusahaan untuk meningkatkan reputasi mereka di mata publik. Selain itu, belum semua perusahaan menerapkan pengukuran kinerja yang terstandardisasi terhadap kontribusi mereka terhadap SDGs. Oleh karena itu, diperlukan dukungan lebih lanjut berupa insentif pemerintah, peningkatan literasi keberlanjutan, serta kemitraan publik-swasta untuk mempercepat adopsi SDGs di seluruh lapisan dunia usaha. Transformasi bisnis menuju keberlanjutan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi menjadi agenda bersama yang krusial untuk keberhasilan agenda pembangunan berkelanjutan nasional.
Informasi Jasa Pratama Institute
Penerapan ESG dilaporkan dalam laporan keberlanjutan perusahaan yang wajib dibuat setiap tahunnya. Jika Anda ingin memastikan laporan keberlanjutan perusahaan Anda disusun secara profesional dan menarik, kami di Pratama Institute hadir untuk membantu Anda. Dengan pengalaman dan keahlian dalam penyusunan laporan tahunan yang sesuai dengan standar terbaik, kami menghadirkan dokumen yang informatif sehingga bisa mencerminkan identitas perusahaan Anda. Hubungi kami untuk solusi laporan keberlanjutan yang ciamik!