Pada 29 Oktober 2021, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) diterbitkan sebagai bagian dari reformasi perpajakan berkelanjutan. Tujuannya adalah untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan pasti, meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, dan memperluas basis perpajakan. Salah satu perubahan signifikan dalam UU HPP adalah pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan, yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 66 Tahun 2023 (PMK 66/2023).
Teori Hans Kelsen mengenai Stufenbau Theorie menjelaskan struktur bangunan hukum yang terdiri dari susunan norma berlapis-lapis, dari yang tertinggi hingga terendah. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), norma dasar (Grundnorm) adalah Pancasila, dan aturan dasar negara adalah UUD 1945. Teori ini tercermin dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), yang menetapkan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam membentuk peraturan perundangan-undangan harus berdasarkan asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 UU 12/2011. Salah satu asas tersebut adalah asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Asas ini bermaksud agar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Menurut Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, hierarki peraturan perundang-undangan dari paling atas adalah 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4) Peraturan Pemerintah; 5) Peraturan Presiden; 6) Peraturan Daerah Provinsi; dan 7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Lebih lanjut, Pasal 7 ayat (2) UU 12/2011 yang menyebutkan bahwa “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Ketentuan ini sejalan dengan asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori menyatakan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Kemudian, Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 mengatur jenis-jenis peraturan, selain yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1), antara lain, yaitu Peraturan Menteri. Peraturan-peraturan yang tersebut pada Pasal 7 ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Pada Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011, peraturan yang lebih rendah dapat dikesampingkan atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat jika pembentukan peraturan tersebut tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau di luar kewenangannya.
Perubahan mengenai natura dan/atau kenikmatan materi dalam UU HPP diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a yang menyebutkan bahwa natura dan/atau kenikmatan merupakan objek PPh bagi penerima imbalan, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d. Bagi pemberi imbalan, biaya penggantian atau imbalan atas natura dan/atau kenikmatan merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebagai pengurangan penghasilan bruto, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf n.
Pasal 32 C UU HPP mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai natura dan/atau kenikmatan yang bukan objek PPh bagi penerima pada Pasal 4 ayat (3), dan biaya pengurang penghasilan bruto pada Pasal 6 ayat (1) bagi pemberi imbalan. Pengaturan lebih lanjut natura dan/atau kenikmatan sebagai objek PPh pada Pasal 4 ayat (1) huruf a tidak disebut secara spesifik pada Pasal 32 C UU HPP namun mengacu kepada Pasal 35 sebagai Ketentuan Penutup UU HPP.
Pada 20 Desember 2022 PP 55/2022 terbit sebagai peraturan pelaksana UU HPP. Pada Bab VI mengatur natura dan/atau kenikmatan ke dalam tiga bagian: 1) sebagai objek PPh bagi penerima, dan biaya bagi pemberi, 2) pengecualian dari objek PPh, dan 3) penilaian natura dan/atau kenikmatan. Bagi pemberi imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, Pasal 23 ayat (2) PP 55/2022 menambah frasa “sepanjang merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan” untuk menentukan biaya sebagai pengurang penghasilan bruto.
Penambahan kata “sepanjang” ini menjadi persyaratan agar biaya natura dan/atau kenikmatan dapat menjadi biaya pengurang penghasilan bruto. Padahal norma dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh telah memasukan natura dan/atau kenikmatan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Penambahan syarat pada Pasal 23 ayat (2) PP 552022 tersebut dapat dimaknai tidak sejalan dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan.
Natura yang Dikecualikan
Selanjutnya, Pasal 31 mendelegasikan kewenangan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan bagi penerima natura dan/atau kenikmatan. Pendelegasian tersebut mengenai a) tata cara pemberian pengecualian dari objek Pajak Penghasilan atas penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu; b) batasan nilai tertentu dari natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan; dan c) cara penilaian dan penghitungan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menjadi objek pajak.
PMK 66/2023, sebagai pelaksana dari Pasal 31 PP 55/2022 selain mengatur lebih lanjut sesuai amanat Pasal 31 PP 55/2022, ternyata juga mengatur mengenai pembebanan biaya penggantian atau Imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 2 PMK 66/2023.
Dalam kerangka hukum yang berjenjang, PMK 66/2023 seharusnya sesuai dengan mandat dari PP 55/2022 dan UU HPP. Namun, analisis menunjukkan bahwa PMK 66/2023 mengatur natura/kenikmatan sebagai pengurang penghasilan bruto tanpa adanya mandat dari PP 55/2022. Ketidaksesuaian ini perlu diperhatikan agar peraturan yang lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, sesuai dengan asas lex superior derogat legi inferiori.
Sebagai penutup, penting bagi wajib pajak untuk memahami perubahan-perubahan ini agar dapat memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar. Dari pengalaman kami, pemahaman yang baik terhadap asas kesesuaian jenis hierarki dan materi muatan hukum sangat membantu dalam menghadapi sengketa pajak, baik pada tahap pemeriksaan oleh KPP hingga banding di Pengadilan pajak.