Sistem perpajakan di Indonesia menerapkan self assessment system yaitu sistem di mana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, sedangkan petugas pajak bertugas untuk mengawasinya. Di antara salah satu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menguji kepatuhan perpajakan Wajib Pajak adalah melalui tindakan pemeriksaan. Hal tersebut secara implisit dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 12 dan 13 Undang-Undang No. 28 tahun 2007 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU KUP). Pada artikel kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai Upaya Hukum atas SKP yang Tidak Diajukan atau Tidak Dipertimbangkan Keberatannya.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan, Wajib Pajak tidak setuju dengan DJP terkait jumlah utang pajak yang ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak (SKP), umumnya Wajib Pajak akan mengajukan keberatan kepada DJP sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 25 dan 26 UU KUP. Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, selanjutnya Wajib Pajak akan mengajukan banding kepada badan peradilan pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27 beleid yang sama.
Lalu bagaimana apabila Wajib Pajak luput untuk mengajukan keberatan terkait SKP yang tidak disetujuinya karena telah melampaui batas waktu pengajuan permohonan, apakah Wajib Pajak masih mampu melakukan upaya hukum terhadap penerbitan SKP tersebut?
Jawabannya adalah Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar kepada DJP sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP. Ketentuan dalam beleid tersebut mengatur bahwa DJP karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan SKP yang tidak benar. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 36 ayat (1) menyebutkan bahwa DJP berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan SKP yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.
Ketentuan tentang permohonan pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar juga dapat dilihat dalam Pasal 38 ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 tahun 2011 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP No. 50 tahun 2022. Dalam beleid tersebut dijelaskan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan SKP jika Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atau mengajukan keberatan tetapi keberatannya tidak dipertimbangkan karena tidak memenuhi persyaratan. Permohonan pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar tidak dapat diajukan jika Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan.
Kemudian apabila permohonan Wajib Pajak di atas ditolak oleh DJP, apakah terhadap keputusan tersebut masih dapat diajukan upaya hukum kepada badan peradilan pajak?
Jawabannya adalah Wajib Pajak dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP yaitu berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 dan 26 UU KUP (keberatan). Secara lebih jelas, ketentuan mengenai gugatan juga dapat dilihat dalam Pasal 40 s.d 43 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU PP). Di antara yang perlu menjadi perhatian bagi Wajib Pajak dalam beleid tersebut adalah pengajuan gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan utang pajak. Namun demikian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan utang pajak ditunda sampai dengan terbitnya putusan dari pengadilan pajak.
Sebagai informasi, pada rezim sebelumnya terdapat pembatasan materi keputusan yang dapat diajukan gugatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 37 PP No. 74 tahun 2011, termasuk di antaranya yaitu Surat Keputusan Pengurangan dan Pembatalan Ketetapan Pajak. Namun, dengan telah dibatalkannya ketentuan dalam beleid tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 73 P/HUM/2013 dan dicabut dengan diterbitkannya PP No. 50 tahun 2022, maka segala bentuk keputusan yang diterbitkan oleh DJP dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak. Hal tersebut dikarenakan, selain karena tidak adanya ketentuan atribusi untuk mengatur lebih lanjut Pasal 23 ayat (2) huruf c dalam UU KUP, ketentuan Pasal 37 PP No. 74 tahun 2011 bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (3) UU PP dan Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP yang telah merumuskan secara luas dan tegas hak Wajib Pajak untuk melakukan gugatan atas setiap keputusan perpajakan selain Surat Keputusan Keberatan.
Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan hendaknya memang mengatur berbagai mekanisme upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak dalam rangka pemberian hak untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, sebagaimana yang diamanatkan Pasal 28D UUD 1945. Hal tersebut karena upaya hukum atas suatu keputusan di bidang perpajakan merupakan salah satu hak yang bersifat mendasar bagi Wajib Pajak, selain juga sebagai bentuk penerapan dari asas kepastian hukum dan keadilan yang menjadi salah satu prinsip dalam pembentukan UU KUP. Hendaknya juga para pihak yang berwenang membuat ketentuan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan penerapan hierarki atau perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan, yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori) sesuai dengan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.