Presiden Joko Widodo menerbitkan regulasi baru terkait iuran program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) untuk seluruh pekerja. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2024 (“PP-21/2024”) yang berlaku sejak 20 Mei 2024. Pada PP-21/2024 tersebut, pegawai negeri maupun swasta akan terkena potongan tambahan untuk simpanan Tapera. Ketentuan ini memberikan kewenangan bagi pemberi kerja untuk melakukan pemotongan sebesar 3 persen dari gaji pekerja setiap bulannya. Adapun rincian danannya berasal dari pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen. Sedangkan, bagi pekerja mandiri besaran simpanan ditanggung sendiri oleh pekerja tersebut. Pasal 20 PP-21/2024 ini juga mengatur jadwal penyetoran simpanan Tapera paling lambat pada tanggal 10 setiap bulannya dilakukan oleh pemberi kerja.
Namun sejak PP-21/2024 mulai diberlakukan terdapat sejumlah kritikan dari berbagai pihak yang mendorong Pemerintah untuk membatalkan ketentuan tersebut. Meski begitu, pemerintah seolah tak mendengar keluhan masyarakat. Pemerintah tetap gencar mensosialisasikan program yang menjanjikan kepemilikan rumah bagi para pesertanya itu. Mengutip pernyataan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyebut Program Tapera baru mulai dijalankan pada 2027. Oleh karena itu, pemerintah membuka ruang kepada masyarakat dan pengusaha untuk melakukan konsultasi.
Bagaimana Jika Tapera Sebagai Social Security Tax
Berbagai kritikan yang dilontarkan sejumlah pihak berkaitan dengan ada nya isu pengawasan dan tata kelola atas dana yang terkumpul. Oleh karenanya, Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan rencana pengelolaan dana Tapera yang telah terkumpul. Kebijakan fiskal menawarkan desain pengelolaan dana Tapera dimasukan sebagai salah satu pemasukan dalam APBN melalui skema Social Security Tax (SST).
OECD (2024) mendefinisikan social security tax sebagai pembayaran wajib yang dibayarkan kepada pemerintah umum yang memberikan hak untuk menerima tunjangan sosial (kontinjen) di masa depan. Termasuk di dalamnya: tunjangan dan suplemen asuransi pengangguran, tunjangan kecelakaan, cedera dan sakit, pensiun hari tua, cacat dan korban, tunjangan keluarga, penggantian biaya pengobatan dan rumah sakit atau penyediaan layanan rumah sakit atau medis. Kontribusi dapat dikenakan pada karyawan dan pemberi kerja.
Jika dilihat secara mendalam, program Tapera sebenarnya memiliki tujuan yang mulia bagi masyarakat yang kesulitan mendapatkan hunian saat ini. Selain itu, secara sekilas tujuan Tapera memiliki kesamaan dengan SST, yaitu sama-sama memberikan jaringan pengaman bagi masyarakat kelas menengah-bawah. Dengan demikian, memasukan dana Tapera dalam APBN akan menjadi pertimbangan yang baik.
Merujuk pada ketentuan Tapera, dana yang terhimpun dari Tapera akan dikelola secara kontrak investasi oleh bank kustodian dan Manajer investasi. Meskipun memang setiap peserta berhak memperoleh informasi mengenai kondisi dan kinerja dana Tapera, namun dana ini tidak tercatat dalam APBN (dana off-budget)
Dana off-budget adalah dana publik di luar neraca karena tidak tercatat dalam APBN. Pengelolaan dana seperti ini memiliki kecenderungan untuk minim transparansi dalam aspek penggunaan, pengawasan, sehingga berpotensi menimbulkan salah tata kelola. Oleh karena itu, kebijakan fiskal menawarkan dana yang terkumpul pada program Tapera dimasukan pada mekanisme pengelolaan APBN melalui SST.
Apabila dana Tapera masuk dalam skema APBN, dana tersebut akan melewati 5 tahapan. Pertama, perencanaan dan penganggaran oleh eksekutif (Pemerintah) dan jajaranya. Kedua, perencanaan dan anggaran perlu mendapatkan persetujuan legislatif (DPR). Ketiga, implementasi dan pelaksanaan APBN. Keempat, pertanggungjawaban/pelaporan serta pengawasan atas dana Tapera. Terakhir, pelaksanaan audit penggunaan dana.
Adapun benefit lainnya ketika memasukan dana Tapera dalam APBN dapat meningkatkan rasio pajak Indonesia. Apabila Tapera dikategorikan sebagai salah satu komponen SST yang masuk kerangka APBN, dana tersebut bisa diperhitungkan sebagai salah satu penerimaan pajak berdampak pada peningkatan rasio pajak secara umum.
Sebagai penutup, kajian ini solusi pajak yang ditawarkan dapat memperkaya diskusi publik mengenai pro dan kontra program Tapera. Memang pelaksanaan Tapera dimasukan ke dalam skema APBN melalui SST tidak akan bisa dilaksanakan dengan cepat karena diperlukan studi lebih lanjut. Namun, kajian ini memberikan diskursus bahwa setiap kebijakan yang diambil Pemerintah dapat menimbulkan domino effect, jika Pemerintah membuat sebuah kebijakan secara matang. Kebijakan program Tapera ini dirasa belum didasarkan pada riset yang mendalam, sehingga terkesan Pemerintah terburu-buru dalam membuat sebuah kebijakan.