Ringkasan Jawaban
Pembahasan Lengkap
Terima kasih Ibu Fatin atas pertanyaan yang disampaikan. Pada dasarnya secara akuntansi maupun fiskal, piutang yang nyata-nyatanya tak tertagih dapat dibebankan dalam laporan laba rugi perusahaan. Pasal 6 ayat (1) huruf h UU No. 7 Tahun 1983 s.t.d.t.d. UU No. 7 Tahun 2023 (“UU PPh”) menjelaskan bahwa piutang tak tertagih dapat menjadi pengurang dalam perhitungan penghasilan kena pajak Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan Badan Usaha Tetap (BUT) piutang tak tertagih, sebagaimana dikutip dibawah ini.
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial
2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, baik dalam bentuk hard copy maupun soft copy
3) piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut:
a. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara
b. adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan
c. telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau
d. adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
4) syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil.” (UU PPh)
Berdasarkan ketentuan diatas dijelaskan bahwa piutang tak tertagih dapat dibebankan sebagai biaya dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak. Pada penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU PPh menambahkan keterangan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.
Pengaturan lebih lanjut mengenai piutang tak tertagih diatur dalam PMK Nomor 105/PMK.03/2009 (“PMK 105/2009”) s.t.d.t.d. PMK Nomor 207/PMK.010/2015 (“PMK-207/2015”). Sesuai dengan Pasal 1 PMK-105/2009, mendefinisikan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagai piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.
Namun, tidak semua jenis piutang tak tertagih dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak. Pasal 2 PMK-207/2015 mengatur bahwa piutang tak tertagih yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah piutang timbul dibidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan jasa lainnya. Sementara, piutang tak tertagih yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan WP, tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak.
Selain itu, untuk dapat dibebankan sebagai biaya pengurang penghasilan bruto, piutang tak tertagih harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh yang telah disebutkan diatas.
Dengan demikian, bagi Ibu Fatin agar dapat membebankan piutang tak tertagih sebagai biaya untuk menghitung penghasilan kena pajak, maka Ibu Fatin sebagai WP wajib memenuhi 3 persyaratan yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh.
Meskipun demikian, khusus untuk piutang tak tertagih kepada debitur kecil, WP tidak harus memenuhi persyaratan ketiga sesuai Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh. Adapun debitur kecil merupakan debitur dengan piutang yang jumlahnya tidak melebihi Rp100.000.000, yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri.