Tirto.id | 2 Oktober 2024
tirto.id – Presiden Terpilih 2024-2025, Prabowo Subianto, berencana akan membentuk Badan Penerimaan Negara di kabinet barunya. Badan ini memisahkan antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ketiganya akan dilebur menjadi satu badan.
“Insyaallah akan ada Menteri Penerimaan Negara,” kata Dewan Penasihat Presiden Terpilih Prabowo, Burhanuddin Abdullah, dalam acara UOB Economic Outlook 2025, dikutip akun YouTube UOB Indonesia, Kamis (26/9/2024).
Pembentukan badan baru ini sebenarnya sudah tertuang dalam dokumen visi-misi Prabowo-Gibran. Ini menjadi salah satu strategi Prabowo-Gibran dalam mendongkrak penerimaan negara. Keduanya bahkan ingin rasio penerimaan ditargetkan dapat mencapai 23 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) selama lima tahun mendatang.
Juru Bicara Koalisi Indonesia Maju (KIM), Cheryl Tanzil, mengatakan Prabowo sejak awal telah berkomitmen memisahkan Badan Penerimaan dan Badan Kementerian. Karena, tanpa pemisahan tak mungkin rasio penerimaan ke depan dapat maksimal.
“Badan Penerimaan Negara itu fokusnya untuk menjaga tax ratio. Tax ratio paling tinggi itu, kan, zamannya Gus Dur (Presiden RI ke-4),” ucap Cheryl.
Jika ditarik mundur, rencana pemisahan DJP dengan Kemenkeu sebetulnya sudah lama digagas. Wakil Ketua MPR RI, Fadel Muhammad, termasuk yang ikut mendorong agar DJP dipisahkan dari Kemenkeu membentuk lembaga baru yang bernama Badan Keuangan Negara yang bertugas untuk menghimpun pajak sebagai pengganti atau perubahan nama dari DJP.
Inisiatif tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Perpajakan (RUU KUP) pada 2015. Dalam RUU tersebut, pada Pasal 95, disebutkan penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang perpajakan dilaksanakan oleh lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Disebutkan juga bahwa lembaga tersebut berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Namun, sampai berakhirnya masa jabatan DPR RI periode 2014-2019, pembahasan tersebut tidak tuntas. Pada DPR RI periode berikutnya (2019-2024), pemerintah mengajukan RUU KUP dengan draf baru pada Mei 2021. Akan tetapi, tidak menyebutkan mengenai posisi DJP menjadi lembaga di bawah presiden.
Beberapa negara pun sebenarnya sudah mengimplementasikan pemisahan otoritas pajak dari Kementerian Keuangannya. Contohnya Amerika Serikat (AS) dengan Internal Revenue Service (IRS), Singapura dengan IRAS (Inland Revenue Authority of Singapore), Malaysia dengan LHDN (Lembaga Hasil Dalam Negeri), dan Australia dengan ATO (Australian Tax Office).
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, dari sisi positifnya kehadiran Badan Penerimaan Negara ini akan memberikan kewenangan lebih leluasa untuk dapat membuat kebijakan pajak dan bea cukai ke depan.
Sebagai contoh, lewat badan baru ini Prabowo bisa menginstruksikan badan tersebut untuk memperluas basis pajak. Misalnya mengejar pajak orang kaya (wealth tax) sampai pajak anomali harga komoditas (windfall profit tax) dan perluasan objek cukai baru bisa kilat.
“Administrasi pajak juga bisa lebih simpel dan ada keleluasan anggaran untuk belanja IT untuk mewujudkan sistem perpajakan yang canggih. Kepatuhan pajak juga bisa didorong,” ujar Bhima kepada Tirto, Senin (30/9/2024).
Perlu Biaya Mahal
Meski kelihatannya positif, namun proses pembentukan Badan Penerimaan Negara dinilai oleh Bhima justru begitu kompleks. Pasalnya, pembentukan badan ini bukan hanya persoalan membentuk badan baru saja, akan tetapi terkait dengan reorganisasi internal Kemenkeu.
Bisa jadi, kata Bhima, dengan adanya badan baru ini justru menimbulkan masalah ego sektoral yang mungkin muncul antara lembaga di bawah Kemenkeu. Belum lagi soal anggaran untuk pendirian badan baru yang menurutnya perlu dikaji kembali karena membutuhkan biaya mahal.
“Bentuk badan baru pastinya mahal. Apalagi badan penerimaan negara yang bakal di isi Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai,” ujar Bhima kepada Tirto, Senin (30/9/2024).
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengamini bahwa biaya pembentukan Badan Penerimaan Negara pasti akan membutuhkan biaya tidak sedikit. Oleh karenanya, dia menyarankan jika lembaga tersebut akhirnya jadi dibentuk, maka perlu dibuat benar-benar agar optimal.
Fajry menuturkan, untuk dapat optimal, ada beberapa konsideran. Pertama, badan tersebut perlu keluar dari proses birokrasi yang kaku atau sceleriotic kalau istilahnya Talierco (2024) dan beroperasi menggunakan ‘business principle’. Kedua, bebas intervensi politik dari luar.
Ketiga, memberikan kebebasan dan fleksibilitas dalam pengelolaan manajemen dan keuangan (fiscal autonomy). “Dan Terakhir adalah komitmen politik dari pemerintah,” imbuh dia kepada Tirto, Senin (30/9/2024).
Tak Efektif Tingkatkan Tax Ratio
Di sisi lain, Peneliti ekonomi makro dan keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Riza Annisa Pujarama, melihat pembentukan Badan Penerimaan Negara belum tentu serta merta meningkatkan tax ratio. Apalagi jika di dalamnya tidak ada upaya reformasi yang benar-benar dilakukan untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas.
“Dalam beberapa studi kasus dan penelitian empiris disebutkan bahwa keberhasilan badan pajak independen ini bergantung pada kebijakan dan framework management-nya, struktur-nya, hubungan dengan pemerintah bagaimana,” ujar dia kepada Tirto, Senin (30/9/2024).
Ekonomi Celios, Nailul Huda, mengatakan, hadirnya Badan Penerimaan Negara memang tidak akan membantu banyak dalam mengerek penerimaan negara. Terlebih saat ini juga masih banyak pekerjaan rumah internal DJP dan DJBC yang harus dibenahi tanpa perlu membentuk badan baru.
“Kebijakan ini merupakan kebijakan yang menurut saya pribadi tidak esensial dalam meningkatkan penerimaan negara,” ujar Huda kepada Tirto, Senin (30/9/2024).
Menurut Huda, pembentukan badan baru yang langsung di bawah Presiden justru akan menguatkan oknum-oknum yang ada di DJP ataupun DJBC. Kekhawatiran ini berdasarkan pada kasus yang baru-baru ini terjadi di mana internal mereka masih sangat keropos.
“Pembentukan badan tanpa dibenahi terlebih dahulu internal-nya hanya akan memperkeruh badan,” ujar dia.
Di sisi lain, lanjut Huda, keluarnya DJP dan DJBC akan menurunkan wewenang dari Menteri Keuangan yang dipilih nantinya. Sebab jarang ada tokoh kaliber yang mau untuk menukangi Kementerian Keuangan tanpa ada DJP-DJBC. “Khawatirnya akan diisi oleh politikus yang nantinya menurunkan kepercayaan masyarakat dan investor. Ini tidak boleh terjadi,” jelas dia.
Sementara itu, Fajry Akbar mengatakan, pembentukan badan baru Semi Revenue Authority (SARA) memang bukanlah menjadi sebuah solusi masalah perpajakan. Bahkan jika merujuk pada studi Junquera-Varela, Awasthi, Balabushko, dan Nurshaikova (2019), disebutkan kalau pembentukan SARA untuk meningkatkan tax ratio adalah tidak tepat.
“Dia harus diposisikan sebagai alat untuk reformasi institusi bukan sebagai cara untuk meningkatkan tax ratio,” ujar dia kepada Tirto, Senin (30/9/2024).
Dalam konteks tax ratio, lanjut Fajry, masalah utama rendahnya rasio pajak lebih dikarenakan basis penerimaan yang rendah. Karena jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) sebagian besar penduduk Indonesia masih di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) alias tidak kena PPh 21. Padahal, di negara maju, penerimaan PPh Orang Pribadi (OP) itu yang paling besar.
“Belum lagi masalah deindustrialisasi yang membuat kinerja penerimaan kita semakin loyo. Bisa kita lihat, penerimaan pajak kita sangat bergantung sekali pada sektor pengolahan,” ujar dia.
Maka, sambung Nailul Huda, jika ingin meningkatkan tax ratio, pemerintah sebenarnya cukup mengejar dua hal. Pertama pajak di sektor pertambangan yang masih sangat minim kontribusinya terhadap penerimaan perpajakan, mengingat kontribusi ke PDB sendiri cukup besar.
“Kejar pengusaha-pengusaha tambang penggemplang pajak plus ubah aturan perpajakan bidang tambang,” ujar dia.
Kemudian kedua, pajak untuk orang pribadi harus ditingkatkan karena kontribusinya masih di bawah 1 persen. Dalam hal ini, maka pemerintah selanjutnya bisa menerapkan wealth tax yang bisa menaikkan kinerja perpajakan Tanah Air.
“Tanpa Badan Penerimaan Negara pun, pemerintah sudah dapat meningkatan penerimaan pajak, bahkan di tiga tahun terakhir terjadi hattrick pelampauan target. Meskipun demikian, tax ratio tak kunjung meningkat,” timpal Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, kepada Tirto.
Untuk diketahui, pada 2019 rasio pajak Indonesia terhadap PDB berada di 9,76 persen. Kemudian turun di titik terendahnya di level 8,33 persen pada 2020. Pergerakannya mulai meningkat kembali di 2021 mencapai 9,12 persen.
Sementara jika melihat data terakhir pada 2023, angka tax ratio kita sudah kembali ke level dua digit, yakni 10,21 persen (angka sementara). Posisi ini pun sebenarnya masih turun dari tahun sebelumnya 2022 sebesar 10,4 persen.
Penurunan tax ratio tersebut, menariknya justru terjadi di balik torehan memuaskan dan prospek cerah penerimaan pajak dalam tiga tahun terakhir. Selama 2021-2023 realisasi penerimaan pajak berhasil melewati target 100 persen dari APBN.
Pada 2021 misalnya, realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp1.278 triliun (104 persen). Kemudian pada 2022 mencapai Rp1.716 triliun (115,6 persen) dan teranyar pada 2023 Rp1.869 triliun (102,8 persen).
Namun sayangnya, hattrick penerimaan pajak yang melampaui target tersebut belum cukup mendongkrak rasio pajak. Kondisi ini membuat posisi tax ratio Indonesia masih sedikit tertinggal di bawah dibandingkan negara-negara lain.
Artikel ini telah tayang di Tirto.id dengan judul “Menimbang Untung Rugi Ide Badan Penerimaan Negara Ala Prabowo” melalui laman berikut:
https://tirto.id/menimbang-untung-rugi-ide-badan-penerimaan-negara-ala-prabowo-g4gf