Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2020 (PMK 130/2020) tentang pemberian fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday) bagi perusahaan yang melakukan penanaman modal baru di sektor-sektor tertentu akan berakhir pada 8 Oktober 2024. Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan investasi di Indonesia, khususnya di sektor industri yang dianggap strategis dan memberikan dampak besar bagi perekonomian nasional.
Sebagaimana diketahui akan berakhir per 8 Oktober 2024, pemerintah belum memberikan aturan lebih lanjut atas peraturan tersebut. Bagaimana solusi ideal terkait tax holiday dengan akan diimplementasikannya global minimum tax? Adakah klausul yang bisa dimanfaatkan Indonesia dalam konsensus global?
Kedudukan PMK 130/2020 tentang Tax Holiday
Secara hierarkis, PMK 130/2020 tentang pemberian fasilitas tax holiday ke industri pionir tersebut merupakan aturan pelaksana dari Pasal 30 PP 45/2019 (yang sebelumnya mengubah PP 94/2010).
Sementara itu, kedua PP di atas merupakan aturan pelaksana dari UU Penanaman Modal (UU PM). Undang-Undang PM tersebut mengacu pada UU No. 25/2007 yang telah diubah dengan UU No. 6/2023 (UU Cipta Kerja 2023).
Berdasarkan UU PM tersebut, ada ketentuan tax holiday yang menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Dasar hukum hukum tentang tax holiday merujuk ke Pasal 18 ayat (5) UU PM. Akan tetapi, ketentuan tersebut telah dihapus melalui UU No. 6/2023.
Ketentuan yang telah dihapus tersebut (Pasal 18 ayat (5) UU PM) menyatakan bahwa pembebasan atau pengurangan PPh badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman modal baru yang merupakan industri pionir.
Sebagai gantinya, Pasal 18 ayat (4) UU PM menyatakan bahwa bentuk fasilitas yang diberikan kepada Penanaman Modal dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perpajakan. Dengan kata lain, fasilitas PPh harus mengacu ke UU PPh yang ada dan tidak lagi mengacu ke UU PM yang pada awalnya mengatur kebijakan tax holiday.
Fasilitas pajak diatur hanya di Pasal 31 ayat (1) UU PPh. Tidak ada tax holiday di ketentuan tersebut, namun hanya ada empat fasilitas PPh, yaitu:
- pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang dilakukan (investment allowance);
- penyusutan dan amortisasi yang dipercepat (accelerated depreciation/amortization);
- kompensasi kerugian yang lebih lama s.d. 10 tahun; dan
- pengenaan PPh atas dividen untuk Wajib Pajak luar negeri sebesar 10% jika tarif di tax treaty lebih tinggi dari 10%.
Dengan demikian, kebijakan tax holiday yang diatur di PMK 130/2020 sebenarnya sudah tidak lagi memiliki acuan hukum di atasnya karena sudah dicabut melalui revisi UU PM di UU Cipta Kerja 2023. Dengan demikian, untuk memberi kepastian hukum,
- kebijakan tax holiday yang sudah diberikan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat sampai fasilitas tersebut berakhir dengan sendirinya;
- kebijakan tax holiday tidak lagi diberikan dengan mengganti PMK 130/2020 karena acuannya di Pasal 18 ayat (5) UU PM telah dicabut melalui UU Cipta Kerja 2023.
- Fasilitas PPh pengganti tax holiday mengacu pada Pasal 31A UU PPh berupa investment allowance.
Kedudukan Hukum Global Minimum Tax (GMT)
Kebijakan GMT merupakan bagian dari consensus-based tax policies (kebijakan pajak berbasis kesepakatan) di Pilar Dua. Kebijakan GMT merupakan bagian dari Global Anti-Base Erosion (GloBE) rules.
Jadi, perusahaan multinasional (“MNE”) harus membayar a top-up tax (pajak tambahan) atas selisih dari GloBE effective tax rate di setiap jurisdiksi dan tarif minimum 15%. Jika GloBE effective tax rate secara domestik setara dengan 15% atau lebih, tidak akan ada utang GloBE top-up tax.
Saat ini, payung hukum tentang GMT sudah ada di Pasal 32A UU PPh dan PP 55/2022. Secara khusus, Pasal 54 PP 55/2022 mengamanatkan Menteri Keuangan (Menkau) untuk menerbitkan PMK tentang GMT. Akan tetapi, saat ini PMK sebagaimana dimaksud belum terbit.
Jika dilihat dari rujukan asli tentang GMT menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), tidak semua MNE akan terkena GMT di negara sumber penghasilan. Kebijakan GMT akan berlaku jika pendapatan grup usaha secara konsolidasian minimal sebesar € 750.000.000 atau setara dengan Rp 12.750.000.000.000 dengan kurs Rp 17.000 / Euro.
Dengan demikian, Indonesia akan dapat mengenakan pajak tambahan (top-up tax) jika tarif efektif rata-rata utk PPh (“TER”) di Indonesia kurang dari 15%. Misalnya. TER di Indonesia sebesar 11%, sedangkan GMT-nya sebesar 15%. Berdasarkan ilustrasi sederhana tersebut, Indonesia masih dapat mengenakan top-up tax 4% (=15% – 11%).
Tax Holiday atau GMT?
Mana potensi ekonomi yang lebih besar, memberikan tax holiday untuk investasi atau menghapus tax holiday dengan menerapkan global minimum tax? Jika dilihat dari potensi ekonomi, tax holiday masih dapat diberikan untuk investasi dengan dua syarat. Syarat pertama adalah bahwa aturan yang ada harus dibenahi agar ada kepastian hukum. Syarat kedua adalah bahwa gabungan pendapatan MNE masih berada di bawah € 750.000.000.
Sementara itu, GMT diberlakukan jika persyaratan gabungan pendapatan MNE sudah berada di atas € 750.000.000. Untuk itu, PMK tentang GMT harus memberikan panduan teknis dan administratif yang jelas rumusannya.
Lebih lanjut, potensi penerimaan pajak mana yang lebih besar, antara memberikan tax holiday untuk investasi atau menghapus tax holiday dengan menerapkan global minimum tax?
Jika dilihat potensi penerimaan pajaknya, GMT dapat memberikan tambahan penerimaan pajak. Sementara itu, tax holiday difokuskan untuk menarik foreign direct investment (FDI) sehingga target awalnya bukan untuk penerimaan (revenue productivity). Akan tetapi, targetnya adalah memberi daya tarik kepada investasi asing.
Dengan demikian, kebijakan GMT bagi Indonesia berpotensi mendorong penerimaan pajak tambahan dari perusahaan asing di Indonesia. Namun, tax holiday tetap relevan untuk menarik investasi asing di sektor-sektor tertentu dengan penyesuaian aturan. Solusi ideal adalah mengintegrasikan kebijakan GMT dan insentif investasi agar keduanya saling mendukung. Hal ini penting untuk menjaga daya tarik investasi sekaligus meningkatkan penerimaan pajak