Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, menyatakan bahwa presiden terpilih, Prabowo Subianto, tidak akan menaikkan tarif pajak. Sebaliknya, fokus pemerintah baru adalah memastikan seluruh wajib pajak memenuhi kewajiban mereka, yang diharapkan mampu berbanding lurus dengan peningkatan rasio pajak Indonesia menjadi 18 hingga 23 persen, setara dengan Kamboja dan Vietnam. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menurunkan tarif PPh Badan.
Tarif pajak PPh Badan sendiri diusulkan turun dari 22 persen menjadi 20 persen, mendekati tarif di Singapura dan Hongkong. Harapannya, kebijakan ini mampu mendorong iklim usaha yang lebih kompetitif dan mendorong pengusaha untuk lebih patuh terhadap kewajiban perpajakan mereka. Rencana menurunkan PPh Badan juga diharapkan mampu menutup kebocoran kekayaan yang lari ke luar negeri agar berbanding lurus dengan meningkatnya penerimaan negara.
PPh Badan Turun, Apakah Kepatuhan Naik?
Kebijakan fiskal Prabowo yang berorientasi pada peningkatan kepatuhan secara sukarela (voluntary compliance) menuai ragam perbincangan. Ada yang berpendapat kebijakan ini ideal untuk mendorong kepatuhan secara sukarela, namun tidak sedikit juga yang mengkritiknya karena dianggap terlalu spekulatif.
Voluntary compliance merupakan sikap di mana wajib pajak dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan mematuhi kewajiban perpajakan mereka. Faktor-faktor yang mendorong kepatuhan sukarela biasanya terkait dengan kepercayaan wajib pajak terhadap sistem perpajakan dan pemerintah, persepsi tentang manfaat pajak yang dibayarkan, serta adanya tarif pajak yang dianggap adil dan proporsional.
Dalam konteks ini, penurunan tarif PPh Badan dari 22% menjadi 20%, seperti yang diusulkan Prabowo, bertujuan untuk menciptakan insentif bagi wajib pajak untuk lebih patuh tanpa merasa terbebani. Dengan tarif yang lebih rendah, wajib pajak cenderung merasa lebih nyaman dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan jumlah pelaporan dan pembayaran pajak secara sukarela.
Sebaliknya, kepatuhan secara terpaksa (enforced compliance) terjadi ketika wajib pajak mematuhi kewajiban perpajakan karena adanya ancaman sanksi atau pengawasan yang ketat dari pihak berwenang. Dalam hal ini, pemerintah mengandalkan mekanisme penegakan hukum seperti audit, pemeriksaan, atau penalti untuk memaksa wajib pajak mematuhi aturan perpajakan.
Meskipun efektif dalam jangka pendek, kepatuhan terpaksa cenderung menciptakan suasana yang kurang kondusif bagi hubungan jangka panjang antara pemerintah dan wajib pajak. Di Indonesia, pengawasan terhadap kebocoran kekayaan beserta pengusaha nakal,, merupakan salah satu upaya penegakan hukum yang bertujuan menutup celah-celah pelanggaran pajak. Namun, keberhasilan jangka panjang dalam meningkatkan rasio pajak tetap bergantung pada peningkatan kepatuhan sukarela dibandingkan dengan hanya mengandalkan paksaan melalui instrumen hukum.
Satu sisi penanganan melalui kepatuhan sukarela dengan cara menurunkan tarif PPh Badan menjadi 20 persen memang berpotensi meningkatkan kepatuhan sukarela. Dengan tarif yang lebih rendah, wajib pajak mungkin merasa lebih ringan dalam memenuhi kewajiban pajak mereka, yang pada gilirannya dapat meningkatkan tingkat pelaporan dan pembayaran pajak secara sukarela. Kondisi ini juga menciptakan suasana kepercayaan antara pemerintah dan wajib pajak. Selain itu Ketika lebih banyak wajib pajak yang patuh dan melaporkan kewajiban pajaknya dengan benar, penerimaan pajak pun akan meningkat.
Namun, di sisi lain peningkatan kepatuhan sukarela ini sangat mungkin berdampak langsung pada penerimaan pajak negara. Dengan tarif yang lebih rendah, ada potensi peningkatan aktivitas ekonomi yang mendorong lebih banyak transaksi kena pajak.
Penerimaan Pajak dan PDB
Peningkatan penerimaan pajak dapat terjadi melalui berbagai upaya, termasuk penurunan tarif pajak yang diiringi dengan peningkatan kepatuhan sukarela, penutupan celah-celah penghindaran pajak, serta penguatan pengawasan terhadap wajib pajak. Secara konsep, idealnya ketika penerimaan pajak meningkat lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan PDB, rasio pajak akan mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mampu memaksimalkan potensi pajak dari kegiatan ekonomi yang ada.
Sebaliknya, jika pertumbuhan PDB lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan penerimaan pajak, rasio pajak akan cenderung menurun. Meskipun ekonomi tumbuh, pemerintah tidak dapat sepenuhnya menangkap potensi perpajakan yang ada. Oleh karena itu, strategi peningkatan rasio pajak tidak hanya bergantung pada kebijakan fiskal seperti penurunan tarif, tetapi juga pada efektivitas pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan pajak dan mengoptimalkan basis pajak.
Usulan untuk menurunkan tarif PPh Badan dari 22% menjadi 20% dapat berjalan efektif jika dibarengi dengan peningkatan penerimaan pajak secara keseluruhan. Peningkatan ini bisa dicapai dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan dari para wajib pajak. Apabila pertumbuhan penerimaan pajak lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan PDB, rasio pajak akan meningkat, yang menjadi tanda positif bagi kestabilan fiskal negara.
Dengan demikian, penurunan tarif PPh Badan dari 22% menjadi 20% diharapkan mampu mendorong peningkatan rasio pajak, namun hal ini hanya akan tercapai jika beberapa faktor penting terpenuhi. Perlu diketahui, rasio pajak adalah perbandingan antara penerimaan pajak dan Produk Domestik Bruto (PDB), yang menggambarkan seberapa besar kontribusi sektor perpajakan terhadap ekonomi nasional. Untuk meningkatkan rasio pajak, dua komponen utama yang harus diperhatikan adalah penerimaan pajak dan PDB itu sendiri. Untuk itu diperlukan beberapa upaya dalam meningkatkan penerimaan pajak dan PDB.
Pertama, diperlukan adanya peningkatan kepatuhan sukarela dari para wajib pajak. Dengan tarif pajak yang lebih rendah, wajib pajak mungkin merasa lebih terbantu dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, yang pada gilirannya akan meningkatkan jumlah pelaporan pajak secara sukarela. Kepercayaan terhadap pemerintah dan sistem perpajakan juga perlu diperkuat agar wajib pajak merasa bahwa beban pajak yang mereka tanggung sesuai dan adil. Selain itu, langkah-langkah seperti penutupan celah penghindaran pajak dan pengawasan terhadap pengusaha yang tidak patuh juga berperan penting dalam mendorong tingkat kepatuhan secara keseluruhan.
Kedua, peningkatan penerimaan pajak merupakan syarat utama untuk mengoptimalkan rasio pajak. Dengan tarif pajak yang lebih rendah, pemerintah harus memastikan bahwa basis pajak diperluas, dan wajib pajak membayar pajak lebih tinggi dari sebelumnya. Jika penerimaan pajak dapat tumbuh lebih cepat dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka rasio pajak akan meningkat. Hal ini akan menciptakan dampak positif bagi keuangan negara, karena menunjukkan kemampuan pemerintah dalam memaksimalkan potensi pajak dari aktivitas ekonomi.
Terakhir, pertumbuhan PDB harus lebih rendah dibandingkan pertumbuhan penerimaan pajak untuk menghasilkan rasio pajak yang lebih tinggi. Jika pertumbuhan PDB lebih cepat dari peningkatan penerimaan pajak, rasio pajak justru akan menurun, meskipun ekonomi secara keseluruhan mengalami perkembangan.