Pada 2019 lalu, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis hasil survei dengan laporan bertajuk “Revenue Statistic in Asia and Pasific Economies 2019”. Hasilnya, Indonesia menempati urutan ke 21 dari 24 negara yang disurvei sekaligus menasbihkan diri sebagai negara dengan rasio pajak (tax ratio) terendah di dunia.
Dalam laporan dari sumber yang sama, tax ratio Indonesia pada 2021 hanya mencatatkan angka sebesar 11,56 persen atau lebih tinggi sedikit dari Laos dan Bhutan. Hal tersebut terbilang jauh di bawah rata-rata 24 negara Asia Pasifik yang masuk jajaran survei dengan rata-rata tax ratio mereka mencapai 21 persen.
Laporan OECD rupanya bukanlah isapan jempol belaka. Setiap tahunnya tax ratio (rasio pajak) Indonesia cenderung stagnan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, dalam siaran pers (2 Januari 2024) realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan tax ratio terhadap pajak domestik bruto (PDB) selama 2023 hanya sebesar 10,21%, lebih rendah dari capaian tahun sebelumnya (10,39%).
Selama 5 tahun ke belakang rasio pajak terhadap PDB di Indonesia menyentuh angka di atas 10 persen pada 2018 sebelum turun menjadi 9,77 persen pada 2019, dan terjun bebas di 2020 ke angka 8,33 persen.
Untuk tax ratio di Indonesia, komponen penerimaan pajaknya terdiri dari pajak pusat, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan (migas serta minerba). Untuk pajak daerah yang dipungut Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) tidak menjadi komponen perhitungan rasio pajak.
Terdapat dua faktor yang memengaruhi beasaran tax ratio, yaitu faktor makro dan faktor mikro. Faktor makro di antaranya adalah tarif pajak. Faktor ini telah ditetapkan melalui Undang-undang (UU) sehingga pemerintah tidak dapat mengubahnya. Untuk faktor mikro di antaranya adalah tingkat kepatuhan pajak, penggalian potensi pajak melalui data matching, dan sebagainya. Faktor mikro ini masih dapat diupayakan.
Perlu diketahui tax ratio merupakan perbandingan penerimaan pajak terhadap PDB. Rasio ini menjadi salah satu alat ukur untuk menilai kinerja penerimaan pajak di suatu negara. Meskipun demikian tax ratio tidak menjadi satu-satunya indikator untuk mengukur kinerja pajak, meskipun tax ratio dianggap dapat memberi gambaran umum atas kondisi perpajakan di suatu negara.
Peningkatan Pengawasan Kepatuhan (Ekstensifikasi dan Intensifikasi)
Dalam memaksimalkan peran ekstensifikasi, besarnya jumlah Wajib Pajak (WP) pribadi/badan yang terdaftar mutlak diperlukan agar potensi rasio penerimaan pajak dari sektor PPh juga meningkat. Banyaknya WP yang belum terdaftar plus minimnya pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak (DJP) terhadap subjek pajak yang telah memenuhi syarat objektif dan subjektif namun belum mendaftarkan diri dan belum memilki NPWP, tentu akan berdampak pada semakin menurunnya jumlah WP yang terdaftar. Hal tersebut akan menurunkan rasio penerimaan pajak.
Maka otoritas pajak dalam hal ini masing-masing KPP di berbagai tingkatan harus mampu mengefisiensikan proses ekstensifikasi dengan metode “jemput bola” atau mendatangi WP di tempat WP berdomisili. KPP juga wajib memaksimalkan data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh DJP untuk kemudian diolah menjadi Daftar Sasaran Ekstensifikasi (DSE). KPP juga dituntut untuk proaktif dalam memantik atensi WP guna menumbuhkan kesadaran WP mengenai pentingnya kontribusi pajak terhadap keberlangsungan pembangunan.
Kemudian, otoritas pajak juga dapat lebih fokus pada penambahan WP strategis di KPP Madya agar pengawasan kepatuhan pajak melalui data matching lebih optimal dan intensif.
Tak cukup sampai ekstensifikasi, proses intensifikasi juga harus dimaksimalkan. Walaupun data WP terus meningkat di tiap tahunnya, namun belum berbanding lurus dengan target penerimaan yang diharapkan. Untuk menjawab problematika tersebut, hal yang perlu dilakukan ialah memaksimalkan peran intensifikasi pajak. Otoritas pajak wajib menemukan formulasi dalam hal membangun kepatuhan sukarela WP melalui sosialisasi dan peningkatan pelayanan dengan harapan kepercayaan WP akan meningkat dan akan berbanding lurus dengan kesukarelaan mereka dalam membayar pajak.
Peran Kunci Stabilitas dan Pertumbuhan Ekonomi
Belum lama ini pemerintah merilis dokumen Informasi APBN 2024 yang berisikan laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk 2024. Dalam dokumen tersebut pemerintah mencatatkan penerimaan selama 2023 sebesar Rp2.802 triliun, di mana sektor pajak masih jadi tumpuan sumber penerimaan. Sektor penerimaan perpajakan masih jadi yang paling dominan dengan menyumbang Rp2.309 triliun dari total penerimaan APBN.
Untuk sektor pajak, PPh masih jadi penyumbang terbesar dengan sumbangsih Rp 993 triliun, dan Rp 764,3 triliun dari sektor PPN/PPNBM, diikuti dengan penerimaan cukai dan pendapatan lainnya. Melihat pada besarnya penerimaan di sektor PPN/PPNBM, rasa-rasanya sektor ini tentu dapat dimaksimalkan sekaligus menjadi sinyal dari pulihnya perkonomian Indonesia.
Sejalan dengan pulihnya perekonomian, menjadikan sektor PPN/PPNBM sebagai sumber penerimaan utama cukup masuk akal. Menjaga iklim perekonomian yang stabil mutlak dibutuhkan mengingat stabilitas penerimaan PPh dan PPN/PPNBM bergantung pada situasi perekonomian yang stabil.
Pemerintah juga harus mulai mencari formulasi atas problem-problem yang mungkin akan muncul di 2024, seperti kemungkinan menurunnya konsumsi dan perlambatan ekonomi. Satu hal lainnya yang utama adalah pemerintah harus mulai mencari stimulus ekonomi yang jitu di luar kebijakan insentif pajak yang malah akan semakin menurunkan rasio penerimaan pajak.
Perdagangan dan Manufaktur
Salah satu penyebab merosotnya rasio pajak ialah akibat bergantungnya Indonesia terhadap komoditas sumber daya alam (SDA) yang cukup sensitif terhadap fluktuasi harga komoditas di pasar international. Indonesia telah lama mengandalkan hasil mentah dari komoditas SDA terutama dari hasil pertanian untuk keperluan ekspor.
Satu sisi komoditas ini mampu menggerakkan perekonomian nasional, namun di lain sisi rentan terhadap penurunan permintaan yang mengakibatkan pelemahan harga komoditas ekspor Indonesia di pasar internasional. Hal semacam ini akan berdampak negatif terhadap penerimaan pajak.
Belum lagi kontribusi sektor pertanian terhadap pajak hanya 1,9 persen dari total penerimaan pajak sehingga hanya menciptakan efek minimum terhadap rasio pajak. Hal tersebut dikarenakan sebagian pelaku usaha atau mereka yang berkecimpung pada sektor pertanian atau sektor hasil SDA lainnya adalah mereka yang sebagian besar tergolong usaha mikro.
Industri manufaktur, perdagangan, dan jasa dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan rasio pajak. Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, sektor perdagangan menyumbang sebesar 18,67 persen terhadap rasio pajak, dan sektor manufaktur mencatatkan kontribusi sebesar 27,4 persen.
Demi menjaga momentum tersebut, pemerintah wajib melakukan pembenahan administrasi dan penyederhanaan regulasi dengan harapan dapat menciptakan iklim yang ramah bagi industri sehingga menaikkan capaian penerimaan pajak.
Idealnya jika kontribusi suatu sektor usaha terhadap perpajakan lebih besar daripada pertumbuhan PDB itu sendiri maka akan berdampak signifikan pada keuangan suatu negara. Dalam hal ini, setidaknya perlu diupayakan rasio penerimaan pajak yang melebihi pertumbuhan PDB karena pendapatan pajaklah yang kemudian menjadi instrumen negara mendistribusikan kemakmuran.
Penulis:
Editor: Ismail Khozen