Dalam dunia modern, keberlanjutan telah menjadi kata kunci yang sering digunakan oleh perusahaan untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan. Salah satu kerangka kerja yang paling dikenal untuk mengukur keberlanjutan adalah Triple Bottom Line (TBL), yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun, dalam penggunaan TBL dalam laporan keberlanjutan perusahaan telah menjadi subjek kritik karena cenderung hanya mementingkan kelangsungan bisnis, tanpa benar-benar menjawab kebutuhan ekologis.
Bahkan bila menilik pada pedoman pelaporan seperti Global Reporting Initiative (GRI) yang menjadi standar global dalam keberlanjutan, maka dapat diasumsikan bahwa GRI lebih sering berfokus pada keterlibatan pemangku kepentingan dan akuntabilitas sosial ketimbang fokus pada penanganan persoalan ekologis yang mendasar.
Pada akhirnya, laporan keberlanjutan sering kali menjadi sekadar dokumen yang meyakinkan pemangku kepentingan, tanpa menawarkan solusi nyata untuk masalah lingkungan yang lebih luas. Padahal, di era krisis iklim semakin terasa nyata, laporan keberlanjutan menjadi salah satu instrumen penting bagi setiap perusahaan/industri, sebagai bentuk komitmen mereka terhadap penanganan persoalan iklim.
Laporan TBL, tak ubahnya hanya berorientasi pada pertumbuhan bisnis, keuntungan, dan keberlanjutan finansial mereka, dengan mengesampingkan isu iklim dan keberlanjutan lingkungan. Argumentasi tersebut semakin dibuktikan dengan sering kali ditemukan sejumlah fakta bahwa banyak perusahaan/industri mengabaikan fakta bahwa proses-proses industri ekstrakti yang mereka lakukan seringkali berdampak merugikan bahkan cenderung merusak lingkungan serta mengorbankan keadilan sosial.
Paradoksnya, praktik pelaporan keberlanjutan yang terkadang mengesampingkan aspek lingkungan ini sering kali digunakan untuk membangun citra perusahaan sebagai entitas yang peduli lingkungan. Padahal, kenyataannya, banyak dari laporan tersebut tidak lebih dari upaya menenangkan kekhawatiran masyarakat sambil terus menjalankan bisnis seperti biasa.
Kendati laporan keberlanjutan menimbulkan sejumlah paradoks, sayangnya masih banyak praktik di lapangan di mana banyak perusahaan yang lagi-lagi hanya menjadikankan pembuatan laporan keberlanjutan sebagai sarana penggugur kewajiban saja.
Meskipun belakangan ini beberapa industri/perusahaan mengupayakan beberapa inisiatif untuk meningkatkan keterlibatan pemangku kepentingan, pendekatan ini dirasa tetap memerlukan sejumlah upaya yang serius dari industri/perusaan dengan memperkuat pandangan bahwa bisnis—bukan ekosistem—harus menjadi fokus utama yang dipertahankan.
Secara mendasar, keberlanjutan adalah konsep yang berfokus pada sistem ekologis, bukan sekadar entitas organisasi. Namun, TBL sering disalahartikan sebagai analog dari keberlanjutan perusahaan. Laporan-laporan ini berfokus pada bagaimana bisnis dapat terus tumbuh dan menghasilkan keuntungan, tetapi jarang mempertimbangkan dampak nyata pada ekosistem. Dengan demikian, TBL sering kali hanya menjadi alat untuk mempromosikan “keberlanjutan perusahaan” yang sebenarnya dirasa lebih condong kepada efisiensi bisnis daripada/ketimbang tanggung jawab terhadap lingkungan.
Dalam praktiknya, laporan berbasis TBL gagal menghadapi kenyataan bahwa beberapa produk, proses, atau bahkan industri mungkin tidak berkelanjutan secara ekologis, bahkan jika dijalankan secara efisien (Milne & Gray, 2013). Sebagai contoh, banyak perusahaan mengklaim telah mengadopsi keberlanjutan hanya karena mereka telah meningkatkan efisiensi energi atau mengurangi limbah. Padahal, efisiensi semacam itu hanya menunda dampak ekologis tanpa berusaha menyentuh ke hal-hal yang dianggap lebih substantif, yaitu mengubah dasar-dasar operasional bisnis yang tidak ramah lingkungan menjadi lebih ramah lingkungan.
Kebutuhan untuk Beralih ke Perspektif Ekologis
Ironisnya, TBL yang dirancang untuk mendorong keberlanjutan justru menjadi hambatan untuk memahami keberlanjutan secara lebih dalam. Kerangka ini menciptakan ilusi bahwa keberlanjutan dapat dicapai melalui pendekatan parsial, tanpa benar-benar mengubah paradigma bisnis yang tidak selaras dengan ekosistem. Alih-alih mempromosikan literasi ekologis, TBL malah memperkuat pandangan bahwa keberlanjutan hanya sebatas efisiensi bisnis.
Sebagai contoh, laporan UNEP/SustainAbility pada tahun 1994 sudah mengakui bahwa beberapa industri, produk, dan proses mungkin tidak akan pernah berkelanjutan secara ekologis, bahkan ketika dijalankan secara efisien. Namun, pengakuan ini sering kali diabaikan dalam perkembangan model pelaporan keberlanjutan yang lebih baru, seperti GRI, yang tetap mempertahankan pendekatan berbasis TBL.
Jika keberlanjutan ingin benar-benar tercapai, maka perusahaan dan institusi harus berani mengambil langkah untuk mendefinisikan ulang pendekatan mereka. Inisiatif seperti GRI perlu kembali pada prinsip awal keberlanjutan yang berfokus pada ekologi, menjauh dari model pelaporan TBL yang tidak kritis, dan mulai mendorong perubahan besar dalam kerangka bisnis yang tidak berkelanjutan. Dalam formatnya saat ini, laporan keberlanjutan berbasis TBL sering kali menjadi alat untuk mempertahankan status quo, daripada mempromosikan perubahan ekologis yang diperlukan.
Pada akhirnya, dalam penerapan TBL yang kritis, perusahaan/industri akan dituntut untuk tak hanya melaporkan dampak lingkungan hanya untuk mengugurkan kewajiban dan pertanggungjawaban mereka terhadap dampak distruktif dari kegiatan mereka terhadap lingkungan, tetapi perusahaan/industri juga harus memiliki kontribusi nyata terhadap perbaikan dampak lingkungan dengan beralih dari industri dengan model bisnis yang tidak ramah lingkungan diubah atau bahkan dihapuskan dan menjadi industri yang ramah terhadap lingkungan.
Dunia bisnis harus menyadari bahwa efisiensi dan keuntungan finansial tidak dapat menggantikan kebutuhan untuk menjaga ekosistem. Perubahan sejati membutuhkan pendekatan yang mendalam, dengan keberlanjutan sebagai prioritas sistemik, bukan sekadar entitas perusahaan. Ini adalah panggilan untuk tidak hanya melaporkan keberlanjutan, tetapi benar-benar mewujudkannya.
Keberlanjutan sejati tidak dapat dicapai hanya dengan memperbaiki proses internal perusahaan atau meningkatkan efisiensi. Sebaliknya, keberlanjutan membutuhkan perubahan mendasar dalam cara bisnis diorganisasikan, dengan fokus pada ekologi sebagai prioritas utama. Alam tidak peduli dengan keberlangsungan bisnis kita; kitalah yang harus menyesuaikan diri dengan batasan-batasan ekologi yang ada.